Sunday, November 16, 2014

TAKUT HANTU

Tuhan, mengapa kita bisa bahagia?
~ Goenawan Mohamad dalam Dingin Tak Tercatat

Dan, Tuhan, mengapa kita bisa takut? Pada apa yang belum kita temui, pada yang belum kita lihat. Mengapa takut selalu datang lebih dulu, tak seperti bahagia yang selalu datang belakangan dari pengalaman.


Saya punya anak, yang sejak bisa membaca, gemar sekali melahap novel-novel tentang hantu. Buku koleksinya, antara lain, Jakarta Penuh Hantu 1, 2, 3, 4. Nightmare 1, 2, Midnight Story, Ghost Stories... Ia bisa dengan suka cita menceritakan kisah-kisah itu kepada temannya lalu mereka histeris rame-rame.

Dan itulah masalahnya. Anak saya ketakutan sendiri ketika membaca, atau tak berani tidur sendiri (karena itu sering diledek adiknya yang belum sekolah), gamang jika melintas jalan gelap... Saya tidak tahu kapan ia mulai takut pada hantu.

Sebelum ia sekolah, lima tahun lalu, ia belajar mengaji setiap lepas magrib. Suatu ketika listrik satu perumahan mati, jadi jalan gelap, ia dan teman-temannya pulang dari rumah guru ngajinya tanpa ketakutan, kecuali satu orang. Teman-temannya ini menghibur anak yang ketakutan itu dengan mengingatkan pesan gurunya: jika takut hantu melafalkan Quran saja. Anak itu menurut dan ia membaca bagian akhir juzz amma--kitab alfabet Arab yang baru mereka pelajari: alif, ba, ta, tsa, jim, kha, kho, sepanjang jalan....

Barangkali di situlah titik balik anak saya takut kepada hantu. Pesan "jika takut hantu" begitu menghantuinya sehingga ia percaya bahwa hantu perlu ditakuti. Sebab, rasanya, saya tak penah menanamkan ia takut pada hantu--karena konsep ketakutan seperti itu yang ditanamkan orang tua dulu sangat keliru. Di kampung dulu, orang tua melarang anak-anak menyelinap ke tempat gelap dengan mengatakan di sana ada genderuwo, atau menyuruh anak masuk rumah ketika magrib dengan bilang, "nanti dibawa kelongwewe".

Seperti umumnya orang tua zaman sekarang, penjelasan saya kepada anak soal hantu adalah bahwa ia mahluk juga, hanya tak terlihat, dan ada di sekitar kita. Jika roh-roh itu mewujud berarti ia roh sakti karena bisa mengumpulkan energi sangat besar untuk menunjukkan diri.

Penjelasan seperti itu jadi terasa sia-sia kini. Anak saya tetap takut hantu untuk alasan yang tak bisa ia jelaskan, dan kapan mulai punya ketakutan semacam itu. Mengapa ketakutan itu berwujud bulu kuduk yang berdiri, menjerit, bahkan terkencing-kencing, padahal ia tak melihat sesuatu yang menyeramkan. Konon, anak-anak bisa melihat mahluk tak kasat mata. Tapi ketika saya tanya melihat apa sewaktu ketakutan, ia bilang tak lihat apa-apa. Hanya takut saja: takut kalau hantu yang ia bayangkan menyeramkan itu benar-benar menampakkan diri dan akan mencelakainya.

Sebab di Toraja pikiran anak-anak tak dibentuk takut pada hantu. Di sana orang yang meninggal bisa terbaring di kamar dua bulan jika ada anak yang belum pulang karena melaut. Anggota keluarga lain melakukan keseharian yang rutin seperti biasa di antara mayat itu. Jika mereka makan, ada satu piring yang disediakan untuk roh yang meninggal. Mayat itu baru dikuburkan jika sanak-saudara sudah melihatnya, dan suatu kali mayat itu digali lagi untuk diganti bajunya. Anak-anak bisa turut serta dalam upacara Ma'nene itu. Tak ada konsep takut pada mayat atau hantu dari mayat itu.

Ma'nene, membersihkan mayat dan mengganti bajunya di Toraja
Jadi, seorang Toraja di kantor saya merasa aneh dengan film-film tentang hantu yang marak belakangan ini. Hantu digambarkan sedemikian menyeramkan, jahat, dan bisa membunuh dengan tangannya sendiri. Ia sendiri tak kenal rasa takut pada hantu karena sejak kecil tak pernah diajarkan soal hantu yang bisa menakutkan. Orang-orang tua di sana, kata dia, mengajarkan takut pada yang terlihat. Misalnya, pada orang yang kemungkinan punya teluh sehingga sebaiknya menghindari berpapasan dengannya agar tak celaka.

Film-film itu membuat pemahaman akan hantu di benak anak-anak pun kian kacau. Dan, agaknya, saya belum bisa mengembalikan konsep ketakutan dan hantu pada anak saya seperti sebelum ia takut hantu.