Wednesday, August 16, 2017

OMONG KOSONG YANG MENYENANGKAN

OMONG kosong selalu menyenangkan, apalagi jika dibukukan menjadi novel 500 halaman. Demikianlah The 100-Year-Old Man Who Climbed Out The Window and Disappeared merangkum sejarah dunia lewat Allan Emmanuel Karlsson yang ajaib dan jenaka dan selalu meyakinkan dengan segala omong kosongnya.



Ia laki-laki Swedia berusia seabad yang ingin mati tapi doanya tak kunjung dikabulkan. Maka ketika petugas Rumah Lansia Malmköping menyiapkan perayaan ulang tahunnya yang ke-100, Allan memanjat jendela kamarnya untuk kabur lalu bertemu pemuda ceroboh di terminal bus yang membawa koper hasil transaksi narkoba senilai 50 juta krona.

Petualangan Allan selama sebulan di usia 101 pun dimulai dengan membawa koper itu, diburu para polisi karena kematian anggota-anggota gengster narkoba yang mengubernya, bertemu orang-orang bodoh yang sedikit memakai akal tapi menghasilkan kejadian-kejadian logis yang mengelabui jaksa dan para penyidik.

Allan berpetualang seumur hidup, sebagai ahli pembuat bom. Kisah hidupnya dikocok bolak-balik antara masa kini dan masa lalu Allan yang selalu menghadirkan ledakan-ledakan bak dinamit yang dibuatnya dan meleduk di luar kontrolnya.

Serangkaian peristiwa membawanya berkeliling dunia: membantu Jenderal Franco menjadi penguasa Spanyol, bertemu Presiden Harry Truman dan membangun pusat nuklir di Las Palmas, menyelamatkan istri Chiang Kai-shek, bertemu Kim Il Sung, menjadi asisten Joseph Stalin, menyeberangi Himalaya dari Tiongkok untuk tiba di Teheran dan merencanakan pembunuhan Winston Churchill yang membantu revolusi Iran, dan seterusnya dan seterusnya. Hingga ia tiba di Bali karena melarikan diri dari gulag Vladivostok dengan uang pemberian Harry Truman yang dititipkan kepada Mao Tse-Tung!

Jonas Jonasson membuat jenis novel untuk dibaca sekali duduk. Maka semua kejadian selama 100 tahun itu dibuat padat, semua kejadian saling kait dengan kejadian lain, dialog dan peristiwa tak mubazir, dengan kelucuan dan kekacauan yang tak mudah dilupakan. Kita akan puas menertawakan kebodohan intel-intel KGB, atau tentara Korea Utara yang gampang dikelabui, juga ahli-ahli fisika Amerika yang percaya saja mendengar kombur-kombur Allan Karlsson tentang menyusun rumus pelik bom atom.

Allan sejenis orang yang berhati ringan, yang tak gugup ketika berhadapan dengan situasi paling genting. Maka segala kejadian yang jumpalitan di sekitar peristiwa penting di dunia di abad 20 ini, bersama tokoh-tokoh penting itu, selalu membuatnya punya celah untuk lolos. Dialah orang di balik batalnya perang nuklir Soviet-Amerika dalam puncak Perang Dingin, karena mengirimkan berita-berita palsu untuk kedua belah pihak.

Novel ini berakhir di Bali di tahun 2005. Allan menikahi perempuan Bali, bekas istri kawan sepelariannya, Herbert Einstein. Herbert diculik intel KGB dari Austria yang menyangka laki-laki jabrik yang bloon itu kakaknya, Albert Einstein, untuk dibajak membuat bom atom agar Uni Soviet bisa menyamai kemajuan nuklir Amerika. Perempuan Bali itu pernah menjadi Gubernur lalu menjadi Duta Besar Indonesia di Paris.

Dan inilah omong kosongnya: Ni Wayan Laksmi atau Nyonya Einstein itu menjadi Gubernur Bali karena menyuap partai dan pemilih dalam sebuah pemilu langsung. Jonas agaknya kurang riset, atau sengaja memelesetkan karena ia terlihat memahami dengan baik soal-soal Bali, tentang Indonesia di tahun 1960-an. Tentu saja Gubernur tak dipilih langsung waktu itu dan Suharto tak menunjuk seorang kepala daerah seorang perempuan sipil bukan siapa-siapa. Tapi siapa peduli, bukan?

Agaknya, Jonas memerlukan adegan dan peristiwa itu untuk menunjukkan olok-olokannya tentang Indonesia yang seperti surga tapi orang-orangnya korup sampai ke sum-sum. Ia, misalnya, membayangkan Richard Nixon akan tetap jadi presiden seandainya ia warga negara Indonesia meski terkena skandal Watergate.


Selebihnya, novel ini jenis bacaan yang tak boleh dilewatkan dalam menempuh hari senggang. Misalnya, saat pergi-pulang kerja naik komuter....

Wednesday, July 26, 2017

AKAR PENINDASAN: PRASANGKA

Pemisahan penduduk kulit putih dan hitam
di Alabama tahun 1930-an.
Foto oleh Getty Image
PENINDASAN berasal dari prasangka. Kalimat ini diucapkan Bu Gates, guru sekolah dasar di Desa Maycomb—kampung fiktif yang diciptakan Harper Lee dalam novel To Kill A Mockingbird. Ini kampung kumuh dengan orang-orang yang akrab tapi saling curiga di dekat sungai Alabama di selatan Amerika. Di tahun 1933 itu, depresi hebat yang menghunjam dunia akibat malaise sampai juga di kota ini.

Dan penindasan itu menimpa Tom Robinson. Negro yang malang ini dituduh menganiaya dan memperkosa perempuan muda kulit putih pada 21 November 1934. Di tahun 1930-an, negro di Amerika belum dianggap sebagai manusia seutuhnya. Rasialisme di sana berkembang bahkan jauh setelah R.A Kartini menyuarakan persamaan hak penduduk tanah jajahan nun di Jepara. Dan Tom diajukan ke peradilan karena ia seorang negro.

Bagi orang kulit putih, negro berarti bersalah, picik, jahat, bejat. Maka Tom yang tangan kirinya buntung diajukan ke muka hakim dengan tuntutan vonis mati. Atticus Finch, seorang pengacara berhati malaikat, membelanya. Ia bisa membuktikan negro 24 tahun itu tak bersalah karena luka-luka di tubuh perempuan kulit putih itu khas akibat pukulan orang kidal. Atticus berhasil mengungkap penganiaya perempuan itu tak lain ayahnya sendiri.

Dengan prasangka dan curiga yang sudah mengakar di masyarakat Maycomb, pembuktian Atticus itu sia-sia. Para juri tetap menyatakan Tom bersalah dan ia dikirim ke penjara. Di sana ia dibunuh sipir dengan alasan negro itu hendak melarikan diri. 17 peluru membolongi tubuhnya yang hitam. Prasangka berubah jadi pembantaian.

Guru muda di Maycomb itu tengah menjelaskan kekejaman Hitler di Jerman ketika menjelaskan soal kecurigaan dan demokrasi. Maka Jean Louise Finch, anak perempuan 8 tahun yang menjadi pencerita dalam novel ini, bertanya kepada guru itu: mengapa orang Maycomb bisa kompak membenci Hitler yang jauh sementara bisa menindas Tom yang menjadi tetangga mereka sendiri? Mengapa orang Maycomb setuju Hitler bersalah karena memburu Yahudi di saat bersamaan mereka membenci para negro yang membantu kerja-kerja kasar di kampung ini?

Guru itu tak bisa menjawab. Di Maycomb yang rudin hanya orang seperti Atticus yang bisa menjelaskan pertanyaan pelik itu dengan jitu, lewat perbuatannya. Ia tak ragu membela Tom lalu menolong jandanya yang harus bekerja menghidupi tiga anak kecil. Atticus menerima saja diludahi Bob Ewell—ayah yang menyiksa putrinya itu—karena tak terima dipermalukan di pengadilan. Atticus malah meminta adik Bob jadi juri di salah satu sidangnya.

Bagi Atticus tak ada manusia yang jahat. Bagi dia, hanya ada manusia yang belum sadar. Dalam hidupnya yang menduda, ia selalu mengingatkan kedua anaknya bahwa penilaian buruk terhadap orang lain adalah akar ketidakadilan. Ia tak pernah menilai orang atas pikiran dan perbuatannya. Alih-alih menerima pengaduan anak-anaknya yang mendapat perlakuan jahat dari tetangga yang usil, Atticus malah menyarankan keduanya meminta maaf. Bagi dia, tak ada akibat tanpa sebab.

Soalnya, kata Atticus, penindasan bisa dilakukan siapa saja. Ketika ia dihujat semua orang kulit putih di Maycomb karena membela Tom, pada saat yang sama orang-orang negro juga menolak dua anaknya masuk gereja mereka. Para negro itu marah atas prasangka dan kesemena-menaan orang kulit putih kepada mereka. Atticus percaya pada hukum sosial ini: penindasan kepada orang lain akan berbalas penindasan juga. Demikian seterusnya.

Dalam seluruh novel yang alurnya dihidupkan dengan dialog ini kita menyaksikan betapa suci orang seperti Atticus. Ia tak pernah salah meski dianggap keliru oleh orang lain. Dan Atticus tak pernah mempedulikan anggapan orang kepadanya. Ia menanamkan jalan pikiran seperti itu kepada anak-anaknya. Karena prasangka, katanya, bisa membunuh akal sehat.

Jean Louise, yang dipanggil Scout, dan James Finch (kakaknya yang lebih tua empat tahun) membuktikan itu. Di akhir cerita, Jem yang hendak dibunuh Bob Ewell diselamatkan oleh Boo Ridley, orang yang mereka curigai sebagai laki-laki aneh dan asosial karena tak pernah keluar rumah selama 25 tahun. Prasangka, pada tokoh-tokoh yang baik, akan berbalas kebaikan.

Harper Lee memang tak menjelaskan lebih rinci soal ini. Tapi dari ceritanya—yang mirip kisah hidup Lee karena banyak peristiwa dan tokoh nyata yang mirip (Dill digambarkan sangat mirip Truman Capote)—ada upaya membedakan prasangka rasial dan kecurigaan wajar dalam hubungan sosial.

Toh, Atticus Finch mengingatkan anak-anaknya ketika Scout, Jem, dan Dill berusaha menelisik profil Boo Readley: jangan ganggu dia karena betapa pun anehnya ia telah memilih jalan hidup dengan mengurung diri di dalam rumah. “Kita tak bisa memaksakan apa yang kita anggap benar kepada orang lain,” kira-kira begitu katanya.

Alangkah indahnya jika semua orang seperti Atticus Finch.

Monday, July 10, 2017

RAWA-RAWA JEPANG



JEPANG seperti rawa-rawa: menyedot habis ideologi yang datang kepadanya hingga tunas apa pun tak akan tumbuh. Shūsaku Endō membuat tamsil ini untuk melukiskan periode paling gelap sejarah Jepang yang menolak Kristus dan iman Katolik di abad 16 dalam novel Chinmoku, yang diindonesiakan menjadi Hening dari versi Inggris oleh Gramedia. Martin Scorsese mendaur-ulangnya menjadi film,dengan bintang Andrew Garfield dan Liam Neeson, yang rilis akhir tahun lalu.

Garfield berperan sebagai Sebastian Rodrigues, padri Portugal yang dikirim gerejanya untuk menyelidiki kemurtadan Christovao Ferreira. Rodrigues adalah murid Ferreira. Ia tak percaya berita yang dibawa para pelaut Inggris dan Belanda yang Protestan dengan menyebut gurunya itu telah mengkhianati imannya karena tak tahan mendapat siksaan dari para samurai.

Ia pun berlayar ditemani dua padri lain. Mengitari Afrika menuju Goa di India untuk mendarat di Makau. Perjalanan mereka kurang lebih dua tahun. Dari Makau mereka harus menyelundup memakai jung bocor karena para gubernur Jepang telah memutus hubungan dagang dan diplomatik dengan Portugal.

Tak pernah terlacak dengan jelas penyebab pemutusan itu. Gejala xenophobia mula-mula terbit pada 24 Juli 1587, ketika Shogun Hideyoshi mengusir semua padri dari tanah Jepang saat mabuk. Sejak itu, meski surat pengusiran itu dicabut beberapa hari kemudian, sejarah gelap Katolik di Jepang dimulai. Hideyoshi benar-benar menetapkan pengusiran orang Kristen dan padri sepuluh tahun kemudian karena tersinggung oleh bualan para pelaut Spanyol yang menyebut besarnya kerajaan mereka tersebab jasa-jasa para misionaris.

Sebanyak 26 orang Kristen dan padri disalibkan pada pagi dingin Februari 1597. Kini, kita bisa menemukan tugu peringatan kematian mereka di dekat stasiun Nagasaki. Padri-padri lain diburu untuk agar mereka mengingkari iman Katolik, termasuk Ferreira. Ia sudah 33 tahun tinggal di Jepang dan punya pengikut sekitar 200 ribu, 10 persen penduduk Jepang yang menganut shinto ketika itu.

Ferreira ditangkap dan ia menyerah setelah menjalani hukuman ana-tsurushi—badannya diikat hingga sedada lalu digantung terbalik dan kepala dimasukkan ke dalam lubang kotoran hingga lutut. Agar tak cepat mati, jidatnya disilet sehingga darah yang berbalik menetes pelan-pelan ke telinga dan mulutnya. Mereka yang disiksa dengan cara ini akan mendengkur sepanjang waktu menahan kesakitan, lalu mati setelah sepekan. Rekor terlama adalah seorang perempuan Jepang yang menolak mengkhianati imannya terjungkir selama 14 hari sebelum sekarat.

Ferreira hanya bertahan enam jam. Ia menyerah dan menyatakan berhenti mengimani Yesus, menginjak-injak gambar Maria, dan berkhotbah bahwa ajaran Kristus penuh kepalsuan. Untuk membuktikan aib terbesar itu, Rodrigues berlayar ke Jepang. Juan de Santa Marta sampai ke Makau karena meninggal akibat malaria. Hanya ia, yang berusia 27, dan Fransisco Garrpe yang berhasil mendarat di Tomogi, sebuah dusun miskin dekat Nagasaki.




Investigasi Rodrigues dan misinya menyebarkan ajaran Yesus secara sembunyi-sembunyi di Jepang menjadi cerita menegangkan sepanjang novel ini. Ia dibantu Kichijiro, orang Jepang yang hidup tersaruk-saruk di Makau, bertemu dengan komunitas Kristen di Nagasaki. Hubungan Kichijiro dan Rodrigues digambarkan sebagai hubungan Yudas dengan Yesus menjelang penyaliban. Ia membantu, ia membual, tapi ia juga yang melaporkan persembunyian Rodrigues kepada para pejabat provinsi untuk imbalan 300 kepeng.

Lewat cerita dari mulut ke mulut, pelan-pelan Rodrigues mendapatkan cerita utuh biografi Kichijiro. Sebetulnya ia orang Katolik, tapi menyerah ketika dihukum gantung-terbalik bersama keluarganya. Hanya ia yang dibebaskan, lalu kabur ke Makau dengan perasaan bersalah yang tak tertanggungkan. Hidupnya yang miskin dan jiwanya yang lemah membuat ia menyerah pada uang dan ketakutan.

Rodrigues pun ditangkap. Namun, tak seperti yang ia dengar soal penyiksaan para padri, Gubernur Inoue—shogun yang memerintah Nagasaki ketika itu—memperlakukannya dengan baik. Di dalam sel, Rodrigues diberi makan tiga kali sehari, diajak masuk istana, dan diizinkan membantah pernyataan Inoue yang terkenal kejam. Rupanya itu perangkap agar ia lemah secara psikis sehingga gampang ditaklukkan ketika disiksa.

Rodrigues berpindah-pindah tempat tahanan. Setiap kepindahan ia dihadapkan pada adegan penyiksaan yang brutal penganut Kristen. Umatnya di Tomogi diikat dengan tikar jerami lalu dicemplungkan ke laut dalam. Pengikutnya di Nagasaki disalibkan di tepi laut hingga air pasang menghantam dan memakannya. “Lihatlah, Tuhan kalian tak menolong mereka,” kata seorang samurai. “Anda yang harusnya berkorban untuk mereka juga diam saja.”

Rodrigues menghadapi dilema paling menyakitkan dalam hidupnya sebagai padri. Pikirannya terseok-seok antara rasa bersalah tak bisa menolong umatnya dan keteguhannya memegang iman Katolik. Para algojo itu hanya meminta satu hal saja sebelum eksekusi: ingkari imanmu, wahai Bapa, maka semua siksaan ini akan berhenti. Orang-orang Kristen akan terbebas dari perburuan dan siksaan yang menyakitkan. “Katanya Anda datang ke sini untuk berkorban bagi mereka,” kata samurai yang lain. “Tapi justru merekalah yang berkorban untuk Anda.”

Rodrigues terdiam. Hatinya runtuh. Tapi ia diam. Ia tetap bungkam ketika menyaksikan Garrpe, yang berpisah di Tomogi untuk menghindari pengejaran samurai, mati tenggelam. Padri ceking itu memilih mengejar umatnya yang dicemplungkan ke laut lalu mati digulung gelombang. Garrpe memilih iman ketimbang mengingkarinya. Sementara Rodrigues hanya diam, tak berbuat  apa pun.

Hingga ia bertemu Ferreira di istana Inoue. Padri tua itu benar telah murtad. Ia bahkan tengah menulis buku dalam bahasa Jepang tentang kepalsuan ajaran Yesus. Tapi bukan di sini suspens novel yang mendapat Penghargaan Tanizaki ini. Ferreira dan Rodrigues terlibat debat sengit tentang iman, tentang Tuhan, tentang penyelamatan derita manusia. Argumen-argumen Ferreira sangat kokoh sehingga orang Katolik Nagasaki marah setelah membaca novel itu. Endo seperti merayakan ketidakhadiran Tuhan dalam derita manusia.

Di luar Rodrigues, nama-nama dalam novel ini bisa dilacak dalam buku sejarah Jepang dan catatan-catatan para pelaut Inggris dan Belanda. Kejadian-kejadian utama dalam novel ini juga tersimpan di museum-museum di Tokyo atau Kyoto. Agaknya, Pak Endo mendasarkan profil padri muda Rodrigues pada sosok Giuseppe Chiara, padri Italia yang menyebarkan ajaran Katolik di Jepang pada periode itu.

Dalam pelbagai wawancara, Endo, yang meninggal pada 1996 di usai 73, menyebut novelnya yang terbit pada 1966 ini sebagai karya sastra, bukan kitab teologi. Ia tak ingin mengkritik kelemahan iman Ferreira atau kepercayaan Jepang menolak Katolik. Ia ingin menguji tarik-menarik antara tradisi Jepang dan iman Katolik yang berkelindan dalam pikiran dan hatinya sejak lahir. “Saya harus mendamaikan konfrontasi rawa-rawa Jepang dan iman Katolik dalam diri saya,” katanya.

Meski akhir cerita novel ini tak sesuai harapan, saya membacanya dalam sekali duduk....

Saturday, July 01, 2017

CATATAN MUDIK (2)

KAMPUNG-kampung selalu mengejutkan setiap mudik Lebaran. Jalan-jalan makin sibuk dengan sepeda motor dan mobil, berkode polisi B atau D atau F. Tak ada yang naik sepeda atau jalan kaki. Anak-anak muda dengan rambut dicat dan model spike serta telinga ditindik mengebut di jalanan kecil yang kini beraspal.

Pada hari kedua Idul Fitri tahun ini para tetangga saling berkunjung dengan keluhan yang sama: tak ada gas sehingga tak ada bahan bakar untuk memasak. Gas-gas melon 3 kilogram sudah habis isinya untuk menanak ketupat dan obor juga sayur cabe hijau sehari sebelum Lebaran. Sementara warung-warung kehabisan stok gas karena pemasoknya di pasar kecamatan masih tutup.

Seorang tetangga menertawakan keluhan akan kebutuhan pokok itu. Katanya, ketika masih memakai hawu mereka tak mengeluh tak ada gas. Ketika butuh untuk memasak mereka tinggal ke hutan mencari kayu bakar. Kini hawu sudah ditinggalkan karena orang-orang kampung mengikuti program pemerintah beralih memakai gas yang konon ramah lingkungan. Dan program itu punya konsekuensi tak sedikit.

Gas membutuhkan uang tunai karena bahan bakar ini tak bisa diproduksi sendiri. Dan uang tunai tak cocok dengan sistem hidup orang kampung. Saya baru sadar kakek-nenek dulu bahkan tak punya dompet untuk menyimpan uang. Simpanan mereka adalah huma dan sawah, juga kebun di hutan, yang dipanen bergiliran selama setahun.

Setiap kali mendapat uang dari hasil menjual palawija—karena padi disimpan di lumbung untuk makan sehari-hari—uang panen itu dijadikan deposit di toko-toko alat pertanian. Ketika membutuhkan pupuk untuk musim tanam berikutnya mereka tinggal ambil dari toko itu. Sisanya disimpan di bawah bantal untuk membayar upah nyangkul. Itu pun jika ia dan menantunya tak cukup punya tenaga menggarap semua ladang.

Hidup sehari-hari pun nyaris tak perlu uang tunai. Padi mengambil di lumbung, sayuran memetik di kebun, ikan mengambil di balong dekat rumah, atau menyembelih ayam dari kandang, bahan bakarnya mengambil ranting-ranting di hutan sambil lalu pulang dari ladang. Hari-hari berjalan dengan rutin, kenyang, tanpa beban pikiran.

Kebutuhan akan uang tunai di zaman sekarang itu mendorong orang kampung tak lagi bertani. Mereka lebih senang pergi ke kota: ke Depok, Bandung, Jakarta, Cikarang, Cibitung. Jika bukan berdagang es cingcau keliling, mereka tetap punya pekerjaan karena kota membutuhkan tenaga mereka saat membangun infrastruktur dengan menjadi buruh bangunan. Tiga-empat bulan penghasilannya melebihi pendapatan satu musim bertani.

Menanam kacang tanah atau jagung perlu waktu tiga bulan dengan hasil panen tak seberapa. Ayah saya punya 500 bata atau sekitar 7.000 meter persegi sawah yang ditanami jagung dan kacang tanah. Sekali panen hanya menghasilkan Rp 7 juta. Setelah dikurangi modal (ongkos pekerja, biaya pupuk), untungnya cuma Rp 2 juta. Ia tak pernah menghitung tenaganya sendiri mengontrol ladang saban hari.

Untung Rp 2 juta itu bisa dihasilkan dalam waktu satu hingga dua bulan bagi buruh kasar. Penghasilan lebih besar lagi dari berdagang asongan atau bergiliran menjaga warung gerobak di Jakarta. Uang tunai itu pun bisa dipakai untuk membeli gas buat memasak bagi keluarganya di kampung. Jika gas habis mereka tinggal jajan. Untuk pertama kali sejak tahun lalu, ada tetangga yang membuka warung nasi dan lauk-pauknya!

Maka bertani bukan pilihan dengan gaya hidup seperti itu. Apalagi bertani zaman sekarang jauh lebih berat. Saat malam takbir, orang-orang malah menginap di sawah karena cemas tanaman mereka diserbu babi yang lapar dari gunung.

Karena hutan tak lagi digarap, bukit-bukit jadi rimbun akibat tak terjamah manusia. Babi bersarang di sana dan turun ke ladang mencari makanan ketika malam. Kini Pasir Muncang nyaris tak bisa disambangi karena jalan setapak yang dulu licin tak ada lagi. Jalan Rupit sepi seperti dihuni kembali oleh hantu-hantu.

Dulu tak ada babi karena orang kampung menggarap kebun hingga bukit-bukit di jauh hutan, yang perjalanannya saja menghabiskan dua jam jalan kaki. Babi-babi pun terhadang tak bisa masuk kampung. Kini hutan-hutan itu tak digarap, atau dibiarkan dengan hanya ditanami jati atau jabon, menjadi habitat babi yang kian dekat dengan persawahan. “Sekarang gunung-gunung sudah dijual ke investor dari Jakarta,” kata seorang tetangga. Tak ada orang kampung yang tak paham arti kata “investor”.

Di sawah dan hutan memang tak terlihat lagi anak-anak muda. Soalnya, selain tak ada mereka yang menggarap sawah, tak ada lagi remaja selepas SD menjadi gembala kerbau atau sapi. Teman-teman SD saya punya siklus hidup yang bisa ditebak: sekolah untuk bisa baca-tulis, lalu menggembala kerbau milik orang lain, kawin dengan pekerjaan sebagai petani, dan menjalani hidup nyaris tanpa gelombang.

Upah menggembala kerbau itu bukan uang, tapi anak kerbau. Dengan sistem bagi hasil itu, dalam lima atau tujuh tahun seorang remaja lulusan SD punya dua kerbau hingga ia siap kawin dan memulai hidup mandiri sebagai petani.

Siklus itu tak ada lagi kini. Mereka yang masih menggarap sawah bahkan membajak memakai mesin. Tak ada lagi kandang kerbau atau sapi di ladang yang mengepulkan asap sepanjang malam meruapkan bau jerami kering yang dibakar oleh gembala yang pulang menjelang magrib. Tak ada lagi cahaya cempor yang kelap-kelip dari kadang kerbau di punggung-punggung bukit.

Mereka yang masih giat ke kebun adalah orang-orang beruban dengan kulit keriput dan mata lamur, generasi seangkatan bapak saya. Orang-orang tua kian sadar pentingnya sekolah untuk anak-anak mereka, selain pemerintah kian banyak mendirikan sekolah menengah dan atas di kampung-kampung. Dan agaknya bukan zamannya lagi sepulang sekolah anak-anak itu mencari rumput untuk makan kambing.

Sepulang sekolah mereka bermain game, di telepon seluler atau kios PlayStation. Lagi-lagi main games membutuhkan pulsa dan uang tunai. Bisnis paling laris di kampung sekarang adalah berjualan pulsa dan nomor telepon.


Setelah lulus SMA atau SMK anak-anak itu mencari pekerjaan di kota. Jika tak mendapat pekerjaan formal di perusahaan di Cikarang atau Cibitung, mereka berdagang. Beberapa yang lain sukses membuka bisnis dengan ratusan karyawan di kota kabupaten. Mereka pulang ke kampung tiap Lebaran dengan mobil dan sepeda motor.

Saya menjadi bagian dari gelombang urbanisasi itu, yang mengutuk macet di balik kemudi, seraya mencemaskan kejutan-kejutan dari kampung setiap mudik Lebaran...

Thursday, April 27, 2017

TOLERANSI DI GUNUNG KAWI


Jalan masuk pasarean Mbah Djoego.
JIKA berkunjung ke Gunung Kawi, di Jawa Timur, keinginan para demagog agama yang sedang populer lewat demo-demo besar di Jakarta, rasanya sulit diterapkan. Di makam Mbah Djoego dan Mbah Iman Sudjono ini toleransi antar manusia begitu tinggi.


Masjid Iman Sudjono bersebelahan dengan kelenteng dengan lilin-lilin setinggi dua meter. Puji-pujian dalam bahasa Arab di masjid diiringi karawatian. Orang-orang Tionghoa berkalung salib berdoa di makam berisi dua jasad pengikut Pangeran Diponegoro itu.

Atau di masjid dekat makam, mereka yang datang berdoa bersama perempuan-perempuan yang memakai jilbab atau laki-laki berpeci. Juga anak-anak yang dibawa ibu-bapak mereka. Dan kedua jenazah yang terbaring di sana semasa hidup adalah para ulama, kyai yang menyebarkan ajaran Islam hingga ke luar wilayah Mataram di Yogyakarta.

Mbah Djoego adalah Kyai Zakaria II, penasihat spiritual Diponegoro. Ia lari ke Timur setelah Diponegoro ditangkap pasukan Belanda seusai makan malam dengan Gubernur Jenderal de Kock di Magelang pada 1830. Djoego menolak takluk. Sampai di Malang ia menetap di desa yang ia beri nama Dusun Djoego.

Kemudian ia mendirikan padepokan di lereng Gunung Kawi karena ingin dikubur di sana ketika meninggal. Salah satu murid kepercayaannya adalah Iman Soedjono. Mereka meneruskan ajaran anak Sultan Hamengkubuwono III yang menolak jadi raja dan lebih senang mengembangkan pesantren itu. Siar Islam pun berkembang di bekas wilayah kekuasaan Ken Arok ini.

Kedua jasad itu dikubur dalam satu liang lahat. Mbah Djoego meninggal pada 1871 dan Iman Soedjono lima tahun kemudian. Pada 1954 kuburan di bukit setinggi 800 mdpl itu tak terawat hingga datanglah Ong Hok Liong. Pengusaha klobot di Malang ini sedang rungsing karena usahanya menurun. Ia pun menenangkan diri dengan tidur di dekat makam karena di sini hawanya sejuk.

Suatu kali ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang memintanya menjual talas jika ekonominya ingin kembali menggeliat. Hok Liong bingung karena ia tak punya pengalaman menjual hasil kebun. Tapi, ia tak kurang akal, ia ubah merk klobotnya dari namanya menjadi "Bentoel", nama lokal untuk talas. Sejak itu, hingga tiga generasi kemudian, Hok Liong menjadi orang terkaya di Indonesia lewat dagang rokok tersebut.

Sejak itu makam Kyai Zakaria jadi tempat ngalap berkah orang-orang dari seluruh Indonesia untuk memohon rejeki. Orang asing juga banyak yang datang untuk berwisata. Dan agaknya mereka yang memohon kesejahteraan lumayan berhasil. Menurut Nur Aji, seorang pemandu, kini kompleks makam tertata rapi dibanding sepuluh tahun lalu. Lantainya konblok dan jalan kampung dilapisi aspal. "Ini semua sumbangan dari mereka yang pernah datang ke sini dan berhasil," kata dia. Aji menyebut nama pemilik sebuah salon terkenal di Jakarta dan Om Liem. Liem Sioe Liong alias Sudono Salim.

Keluarga Salim pula yang kemudian membangun kelenteng dan masjid. Adapun Bentoel pengembang pertama kompleks seluas 1 hektare ini yang dilanjutkan keluarga pemilik Gudang Garam.


Saya berkunjung ke Gunung Kawi, 35 kilometer ke Barat dari Kota Malang, menemani napak tilas Amarzan Loebis pada Ahad pekan lalu. Ia pertama ke sini tahun 1987 lalu 1997. "Jadi kunjungan ketiga ini tetap dalam interval, 2017," katanya.

Dalam kunjungan kali ini, ia mengunjungi tempat-tempat yang dulu didatanginya. Restoran Djakarta masih ada. Juga penginapan Indah Jaya. Warung-warung kian padat. Sayangnya, para peramal di kios-kios tutup karena kami datang terlalu malam. Padahal Amarzan ingin menemui orang yang dulu meramalnya sebagai "kuda lepas dari kandang", yang sekali lepas tak akan kembali.

Sejak usia 22, Amarzan ke Jakarta untuk kuliah di UI tapi batal karena menjadi wartawan Harian Rakjat Minggu dan menjadi penyair anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat. Usia produktifnya habis di Pulau Buru bersama 1.000 tahanan politik lain seusai huru hara G30S pada 1965.

Kembali ke Jakarta pada 1978 ia bergabung dengan majalah Tempo yang dipimpin Goenawan Mohamad, penandatangan Manifesto Kebudayaan, kubu seniman yang bentrok dengan Lekra. Amarzan tak pernah kembali ke kota kelahirannya di Tanjung Balai di Asahan, Sumatera Utara, sejak itu. Amarzan dan Goenawan kini bersahabat.

Sepulang dari Buru, Amarzan melihat dunia dengan kacamata canda. Berkawan dengan dia penuh dengan cerita-cerita yang memantik gelak tawa. Yang faktual dan fiktif jadi lebur dalam cerita-ceritanya. Mendengar Pulau Buru dari dia, kita jadi membayangkan pulau di Maluku itu bukan gulag penyiksaan tapi sekadar tempat singgah pelesiran.

Kepada Nur Aji, misalnya, ketika pemandu ini menerangkan apa yang boleh dan tak boleh dibawa, Amarzan berseloroh tentang nasib pistolnya. "Perlu dititip?" katanya. Aji belingsatan karena tak ada tempat penitipan pistol di Gunung Kawi. Kami tertawa mendengarnya karena, tentu saja, Amarzan tak punya pistol.

Pada 1987, penujum di sini meramal Amarzan tak akan pernah pensiun. Di usia 79 ia memang masih mengajar para penulis menulis artikel dengan baik, benar, dan hidup. Jabatannya kini Redaktur Senior di Tempo. Amarzan ingin bertemu lagi dengan peramal itu untuk bertanya kapan kira-kira ia mati. Sebab tahun 1987, penujum itu meramal ia akan mati di atas usia 70.

Pada 1997, Amarzan mengenang, warung-warung di sini terbakar hingga ludes. Empat mobil branwir didatangkan hingga api padam. Namun, ketika mobil-mobil itu akan turun sopirnya tak bisa mengemudikannya. Gangnya terlalu sempit sehingga empat rumah harus dirobohkan untuk jalan pulang. "Itu satu kejadian aneh di Gunung Kawi," kata Amarzan. "Betul itu, aneh sekali, kenapa mereka bisa naik tapi tak bisa turun," timpal Nur Aji.

Di makam Mbah Joego orang antri. Mereka mendatangi juru kunci, anak buyut Kyai Djoego, membawa kembang dan hio. Mereka menyampaikan doa dan permintaan. Bagi yang bernazar, mereka membawa daging ayam atau kambing sebagai tanda syukur sudah dikabulkan doanya.

Menurut Amarzan, dulu dinding makam tak terlihat karena tertutup jam. Orang yang berhasil setelah berdoa di sini membeli jam dinding sebagai ucapan terima kasih karena barang ini paling gampang dibeli dan sebagai simbol waktu pencapaian usaha mereka. Kini jam masih ada di sekeliling dinding tapi rapi karena berupa jam berdiri. Dindingnya juga kaca dengan kusen kayu yang diukir kokoh. Ruang makam ini mirip masjid yang disangga delapan tiang kayu.

Dupa mengepul dari makam tapi tak bikin pengap karena ruangannya diatur sedemikian rupa agar tak menyesakkan pengunjung. Orang-orang menunggu upacara nazar yang dipimpin juru kunci pada pukul 11 malam.

Beberapa yang lain duduk di bawah pohon Dewa Ndaru (Eugenia uniflora) di samping makam menunggu daunnya jatuh. Daun ini dipercaya pembawa rezeki. "Malam ini agak longgar," kata Nur Aji. "Jumat malam kemarin sampai susah berjalan kaki karena Jumat legi. Penuh."

Longgar ini pun dua tempat parkir yang luas penuh oleh mobil. Kamar hotel dekat makam juga sudah dipesan orang sejak Sabtu kemarin. "Ini mulai ramai lagi setelah 3-4 bulan sepi," kata Endro, pemilik Omah Kopi Gayatri. Menurut dia peziarah banyak tapi mereka menginap di Batu atau Malang karena tempat hiburan lebih beragam.

Menurut Nur Aji mereka yang datang ke Gunung Kawi pasti orang-orang baik. Mereka datang ke sini dengan harapan dan permintaan tentang keselamatan dan kesejahteraan. Mereka berdoa tanpa dipisahkan suku dan agamanya. Dan mereka dibebaskan berdoa sesuai agama dan kepercayaannya.

Rasanya Indonesia akan berusia lama jika melihat para peziarah di makam Kyai Zakaria di Gunung Kawi ini...

Tuesday, April 18, 2017

COLDPLAY DAN MACET BANGKOK



Jalan Sukhumvit 31
DI Bangkok jarak 6 kilometer tercapai dalam waktu satu jam. Durasi itu bisa bertambah jika pagi atau sore pada jam ketika orang-orang pergi dan pulang kerja. Apalagi pada Jumat sore antara pukul 16-20. Dan kecepatan itu adalah perhitungan laju sepeda motor.

Maka pada 7 April 2017, ada kombinasi yang mengerikan di jalanan Ibu Kota Thailand itu. Hari Jumat dan Coldplay akan pentas pada pukul 21 di Stadion Nasional Rajamangala. Pintu masuk dibuka sejak pukul 17. Jalanan di sekujur Bangkok pun macet total mulai pukul 16 hari itu.

Di Jalan Sukhumvit, mobil dan sepeda motor sama sekali tak bergerak di kedua arah. Para sopir taksi tertawa sambil mengibaskan tangan ketika ada penumpang yang meminta diantar ke Rajamangala. Mereka buru-buru menutup kembali kaca mobil begitu ada orang yang membungkuk dan baru setengah jalan mengucapkan “Rajamangala”.

Pada Google Maps semua jalan menuju stadion ini merah saga. Lebih sial lagi karena tukang ojek juga menolak mengantarkan penumpang ke sana. Mereka menggelengkan kepala ketika disebut nama stadion ini. Bus-bus juga penuh sesak dan tak ada yang membuka pintu naik.

Hari itu, trotoar jalanan kota Bangkok dipenuhi anak-anak muda berkaos hitam bertuliskan “A Head Full of Dreams Tour Coldplay”. Band populer paling terkenal dari Inggris itu sedang berkeliling Asia menggelar konser. Anak-anak muda itu tak bisa menuju tempat konser karena tak ada transportasi umum yang bisa mengantar mereka ke stadion berkapasitas 65.000 orang itu.

Beberapa yang lain berjalan kaki. Saya melihat iring-iringan mereka dari atas sepeda motor karena tertolong oleh kebaikan Bain Bond—begitulah seorang pengojek yang lancar berbahasa Inggris mengenalkan namanya. “Call me Bond, like James Bond,” katanya. Saya duga awalnya ia bercanda. Tapi ketika lihat wajahnya yang serius, saya ragu ia tak serius dengan namanya.

Ia bersedia mengantar saya ke stadion berjarak 8 kilometer itu. Tentu saja ia tak mau dibayar dengan tarif normal 30 baht. Ia bersedia mengantar jika ongkosnya 150 baht atau Rp 60.000. “Macetnya parah tak ada kendaraan yang mau mengantar ke Rajamangala,” katanya. Bond tak tahu jika di stadion akan manggung Coldplay.

Bond makin terkejut ketika mulai melaju di antara mobil-mobil yang parkir berjamaah di jalanan kota Bangkok sepanjang 8 kilometer itu. “Ya, Tuhan, saya tak pernah melihat macet seperti ini,” katanya. “Ini macet yang sungguh sangat gila, tak bergerak sama sekali,” katanya. Pada Jumat biasanya, kata Bond, jalan memang macet tapi masih bisa diharapkan terurai mulai jam 8 malam.

Di Bangkok, ojek sepeda motor adalah transportasi umum resmi, seperti kereta, bus, taksi, bemo, kereta bawah tanah, perahu, dan kapal di sungai Chao Phraya. Agak aneh bahwa transportasi yang sudah terintegrasi itu tak membuat Bangkok bebas macet. Setiap bulan, orang Bangkok menghabiskan 64 jam di jalanan, paling tinggi di Asia. Dibanding Jakarta yang baru 47 jam. Ini karena panjang jalan Bangkok hanya cukup menampung 2 juta mobil sehari. Sementara jumlah mobil mencapai 5 juta. Dar!



Maka ojek jadi salah satu pilihan jitu menghindari macet. Tukang ojek mangkal di tempat-tempat keramaian dengan memakai rompi oranye. Harganya bisa ditawar. Tak banyak yang bisa berbahasa Inggris. Bond mengaku belajar bahasa Inggris dari penumpang-penumpangnya. “Saya tak belajar resmi di sekolah,” katanya.

Umumnya tukang ojek tak menyediakan helm untuk penumpang. Sewaktu saya meminta helm kepada Bond, dia bilang penumpang tak perlu memakainya. “Lagipula ini macet, pasti tak bisa cepat,” katanya. Baiklah. Sewaktu saya tanya lagi apakah tak akan kena tilang jika bertemu polisi? Bond terdengar tertawa. “Tak akan!”

Dalam macet yang parah itu memang tak ada polisi terlihat di jalan mengatur lalu lintas. Empat hari di Bangkok hanya sekali saya bertemu polisi di perempatan. Naik motor berboncengan. Mereka tak peduli para ojekers membawa penumpang tanpa helm. Agaknya itu hal biasa saja. Bahkan polisi itu tak menegur tukang ojek yang membawa dua penumpang.

Di jalanan Bangkok, tukang ojek boleh membawa dua penumpang tanpa helm. Dan mereka melaju dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Wuedan.

Semua kegilaan itu terbayar oleh Chris Martin dan kawan-kawan di Rajamangala. Selama tiga jam, mereka memukau dengan 24 lagu. Pencahayaan panggung, kata teman yang menonton konser mereka di Singapura dan Manila sepekan sebelumnya, lebih bagus. Rajamangala malam itu banjir cahaya merah-hijau-kuning khas band paling populer asal Inggris saat ini.

Sebelum konser, langit mendung malah sempat gerimis. Penonton dari Vietnam di depan saya sudah memakai jas hujan. Tapi bulan perlahan-lahan nampak dan Bangkok berpesta bersama Coldplay. “Terima kasih,” kata Chris di panggung. “Malam yang luar biasa. Terima kasih untuk Anda semua yang sudah datang meski harus menempuh macet....” Rupanya, ia memantau jalanan juga.

Tak ada beda konser-konser Coldplay dengan negara-negara lain yang bisa ditonton di YouTube. Coldplay tampil prima. Musik dan vokal Chris Martin nyaris sama dengan suaranya di pita kaset. Dan lagu paling heboh, menurut saya, adalah “Hymn for The Weekend” dan “Something Just Like This”—single mereka bersama The Chainsmokers.

Lagu yang ditunggu-tunggu tentu saja “Fix You”. Tapi Chris tak membawakannya dengan sendu lewat intro piano. Ia memulai bernyanyi sambil tiduran sehingga pasangan di depan saya tak menyadari itu lagu romantis yang mereka nantikan.  Maka alih-alih berpelukan, mereka mengangkat tangan sambil bernyanyi histeris.

Ada dua panggung tempat mereka bernyanyi. Panggung di tengah penonton lebih kecil. Mereka memainkan “In My Place”—lagu pertama yang membuat mereka terkenal—“Dont Panic” dan “Till Kingdom Come” secara akustik. Di panggung itu, Chris mengenalkan tiga anggota bandnya: Jonny Buckland pemain gitar, basis Guy Berryman, dan drumer Will Champion. “Kami sudah 21 tahun bersama dan saya bersyukur kami masih jadi teman baik,” katanya.

Sepanjang konser di bangku penonton nyaris tak terdengar bahasa lain selain bahasa Indonesia. Juga saat mengantri di loket penukaran tiket. Orang Indonesia banyak sekali. Seorang teman mengatakan Bangkok mirip Lebaran hari itu. Di jalanan, di kereta, mal, atau pasar kaget, selalu ketemu dengan orang yang bercakap memakai bahasa gaul Indonesia.

Orang Indonesia sudah terdeteksi sejak di pesawat dan saat antri panjang melewati meja imigrasi di bandara Dong Mueang. Mereka berbincang dan saling menyapa dengan pertanyaan menembak, “Jamaah Coldplay Indonesia, ya?”

Agak aneh bahwa penyelenggara konser tak melampirkan Jakarta sebagai tempat persinggahan tur Asia dengan antusiasme penonton Indonesia seperti itu. Sebelum Singapura dan Manila, Coldplay konser di Australia. Sebab di Rajamangala malam itu setidaknya ada Rp 100 miliar yang tumpah ke sini. Dari penjualan tiket, souvenir, hingga makanan di sekitar stadion. Belum lagi tiket pesawat, hotel, dan jajanan, serta oleh-oleh.

Konon karena di Indonesia masih banyak pelanggaran hak asasi manusia yang belum terselesaikan, seperti syarat umum yang diajukan band-band asal Inggris. Aneh juga, karena Thailand dan Filipina kurang apa dalam soal kebebasan dan perlindungan hak asasi manusia dibanding Indonesia.

Menurut seorang teman, alasan hak asasi itu gimmick promotor saja. Coldplay selektif memilih promotor dan negara tempat konser karena tuntutan mereka sangat tinggi, terutama soal tata panggung dan pencahayaan yang rumit. Gelang bercahaya yang dipakai penonton yang dikendalikan dari jauh jadi ciri khas konser mereka. Gelanggang juga butuh yang luas karena penontonnya selalu membludak.

Syarat terakhir seharusnya bisa dipenuhi. Gelora Bung Karno di Senayan berkapasitas 80.000 orang. Syarat lain bisa dipenuhi karena teknologi toh bisa mereka bawa. Jadi mungkin ini hanya soal kemahiran melobi dan bernegosiasi promotor dari Indonesia.

Di lihat dari penonton Indonesia yang datang, penggemar Coldplay punya rentang usia yang panjang. Dari 16 hingga 50 tahun. Seorang penonton datang berombongan 15 orang bersama keluarga besarnya. Satu keluarga yang menggendong bayi dan bendera Indonesia tersorot kamera ketika di Rajamangala. Seorang kawan punya teman yang datang bersama mertuanya.

Maka ketika Chris Martin dkk undur diri dan lampu-lampu padam menjelang tengah malam, stadion Rajamangala mirip GBK. Dan jalanan penuh oleh orang Indonesia yang berduyun jalan kaki karena tak ada taksi atau ojek yang bersedia mengantar mereka pulang ke penginapan. Dan jalanan masih macet...