Wednesday, December 26, 2012

SUNAT



SETELAH dua tahun tak mempan dibujuk dengan aneka jurus, Mikail tiba-tiba mau diajak ke dokter sunat. Ia termakan omongan Jarjit di serial Ipin-Upin yang bilang bahwa disunat lebih sakit daripada digigit harimau. Tiap kali dibujuk, lalu ia sendiri berkonsultasi dengan puluhan orang tentang rasa sakit itu, kesimpulan akhir selalu sampai pada digigit harimau itu. 

Kemarin tiba-tiba ia mau dan dengan sukarela masuk ruang operasi. Malam sebelumnya ia tegang sampai tak bisa tidur. Ketegangan berlanjut begitu ia melihat jarum suntik di kamar operasi. Setelah obat kebal itu bekerja ia ketawa-ketiwi ketika mengobrol dengan dokter tentang hadiah yang dijanjikan. Ia sendiri yang menentukan hadiahnya, saya tak pernah mengangguk menyetujui.

Operasi selesai 15 menit. Dokter memotong kulup dan memasang helm di penisnya, tanpa rasa sakit, rapi, dan tanpa upacara ini-itu. Sewaktu saya seumurnya, disunat adalah sebuah peristiwa menakjubkan dengan ritual. Dan disunat adalah kerelaan, juga sebenar-benarnya kemaluan. Sebab anak-anak yang belum disunat tak bisa mengaji apalagi memegang Al Quran, belum sah bergaul dengan anak-anak lain yang sudah dikhitan, atau belum boleh main petak umpet di tempat gelap. Kelongwewe akan mencari anak-anak berkulup di sudut-sudut kampung yang belum terpapar listrik. 

 Saya harus mandi pagi sekali, dalam udara dingin, agar kulit sedikit kebal. Anak-anak sebaya sudah berkumpul menunggu mantri sunat, mantri tua yang sudah lamur. Mereka, tentu saja, menunggu saweran setelah pemotongan itu--dan, ini yang tak enak, mereka akan bersaksi apakah saya menjerit atau tidak. Sebab menjerit atau tak menjerit akan dikenang oleh semua orang. Anak yang menangis saat sunat akan diejek dalam permainan sehari-hari. Dan tahun 1980-an obat kebal hanya obat semprot, karena suntik perlu teknik khusus. Dalam keremangan pagi di bawah petromak itu, mantri sunat sering tak pas menyemprot kulit yang akan dipotong. Saya meleset kena selangkangan. Ketika ritual dimulai, saya menahan sakit amat sangat di balik sarung yang dirungkupkan ke kepala.

 Bagian tubuh paling berharga itupun menjadi tontonan orang sekampung. Yang tak melihat hanya satu orang: saya sendiri karena mata ditutup sarung, di pangkuan seorang uwa. Dan tontonan tak berhenti sampai di situ. Setelah bagian tubuh itu dipisahkan lalu dilempar ke atap rumah karena akan menjelma penjaga gaib yang setia, saya mesti memamerkannya di ruang tengah. Semua orang datang melihat, berkomentar tentang luka itu, ada yang menghibur, tak sedikit yang meledek. Setiap anak sunat hanya terhibur ketika para pelayat itu melemparkan uang ke peci yang diletakkan terbalik. Saya mendapat Rp 120.000, cukup untuk membeli sepeda mini-Benz, dan dua kambing betina.

 Pada Mika, di tahun 2012, ia menjalaninya sambil mesem-mesem. Tak ada mata yang menonton, tak ada anak-anak sebaya yang menyaksikan dan akan bercerita kelak bahwa ia tak tahan menerima rasa sakit. Sunat bagi dia adalah sebuah ruang privat yang tak mesti dipertanggungjawabkan kepada siapa-siapa. Dokter dan perawat itu pasti lupa penis siapa saja yang sudah dipotong. Pagi itu saja ada sepuluh anak yang mengantri.

 Sampai di rumah, obat kebal itu rupanya berakhir masa tugasnya. Dua jam Mikail jerit-jerit. Sumpah serapah ala Kapten Haddock telontar tak beraturan. "Pokoknya, aku kapok disunat!" Ya, tentu saja, saya juga tak akan mengulangnya. 

Friday, December 07, 2012

PAK IDRIS DARI BONE-BONE



DI Bone-Bone kabut tak hendak beringsut. Ini sebuah desa di lereng Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan, di ketinggian 1.200 mdpl. Jaraknya sekitar 100 kilometer dari pusat Kabupaten Enrekang. Dari desa paling dekat, kita harus menempuhnya satu bukit lagi, dengan sepeda motor karena jalanan berlumpur. Bagi orang luar, ongkos ojek dipatok Rp 100 ribu.

 Bone-Bone terkenal karena Pak Idris, kepala desa sejak 2008. Pak Idris orang asli sana. Ia menggagas desanya bebas asap rokok sejak 2000, ketika masih kepala dusun saat Bone-Bone belum memekarkan diri jadi desa mandiri. Upayanya berhasil dan Bone-Bone jadi desa terbaik tingkat nasional tahun ini. Cerita tentang bagaimana dia membebaskan Bone-Bone dari rokok hingga tak ada lagi anak-anak putus sekolah, makanan pewarna, kebisingan penjaja makanan, dan kewajiban bagi pengantin baru menanam sepuluh pohon, saya tulis untuk majalah Tempo dan dicuplik di sini.

 Saya tertarik pada--dan ini yang akan kita bincangkan--bagaimana ia dan warga Bone-Bone memandang sekolah.

 Desa ini nyaris terputus dari dunia luar, kecuali jika jalan beton yang sedang dibangun sekarang sudah bisa menembusnya. Kontur Bone-Bone curam. Sekitar 200 rumah panggung itu seperti menempel pada dinding gunung, membentuk terasering yang menakjubkan. Hampir semua penduduknya bertani kopi dan nilam dan beternak kerbau juga sapi. Tapi bangunan sekolah di sana permanen dan tak ada anak yang tak sekolah. Usaha Idris membebaskan desanya dari rokok juga awalnya karena banyak anak putus sekolah dengan alasan tak ada biaya sementara orang tua mereka merokok tak henti-henti.

 Idris sendiri sarjana syariah lulusan IAIN Alauddin Makassar. Di papan-papan pengumuman di balai desa, sekretaris desa menulis namanya diawali titel Doktorandus. Tapi titel itu sesuatu yang biasa saja. Tak ada yang menyanjungnya sebagai seorang lulusan perguruan tinggi di ibukota provinsi. Tapi ia sangat dihormati karena kepemimpinannya. Di Bone-Bone sekolah dan berpendidikan tinggi sama seperti kewajiban makan dan minum sehari-hari. Tak ada yang istimewa.

Mereka tak menganggap sekolah sebagai sebuah batu loncatan untuk menaikkan status sosial atau menggapai kecukupan materi. Karena itu tak ada yang mencemooh jika ada seorang sarjana dari kota pulang kampung dan jadi petani. Dari delapan anak, lima saudara Idris tamat S1 dari universitas negeri. Ada yang jadi guru, petani kopi, atau pegawai di kabupaten. Dengarlah kutipan Pak Idris yang saya comot dari ingatan:

"Bagi kami sekolah adalah cara agar bisa panjang akal dan panjang pikiran. Karena itu orang yang sekolah tak akan hidup susah. Jika karena sekolah akibatnya materi dan harta jadi berlimpah, itu bonus saja. Yang utama sekolah membuka wawasan kita tentang hidup."

 Saya tak bisa membayangkan kutipan ini lahir dari seseorang yang hidup di Jawa, dengan segala kemudahan dan kecukupan infrastruktur. Di Jawa, praktis sekolah dipandang sebagai sebuah teknik menaikkan prestise. Maka para sarjana ogah pulang kampung. Mereka memenuhi kota agar diberi label "orang sukses". Kampung selalu identik dengan keudikkan dan ketertinggalan. Kompetisi antar manusia, karena itu, tak bisa dihindari. Kita jadi sejenis mahluk yang saling memangsa satu sama lain.

Maka dengan cara pandang Pak Idris dan orang Bone-Bone pada pendidikan seperti itu, saya tak heran desa itu--kini diikuti tiga desa lain--bisa sukses membasmi rokok yang menguras kantong dan menyemburkan virus dari kampung mereka. Pertanyaan saya kepada Pak Idris adalah  kenapa keinginan dan peraturannya bisa diikuti? Di belahan dunia mana orang mau turut pada seorang kepala desa?

Pak Idris tak bisa menjawab. Ia hanya mesem-mesem. Mungkin ia juga tak tahu kenapa perintahnya dipatuhi. Jawaban jitu saya dapat justru dari tukang ojek, yang saya sewa ketika berkunjung ke sana dua pekan lalu. Tukang ojek dari kampung sebelah Bone-Bone ini perokok berat. Tapi selama dia di Bone-Bone menemani saya, ia tak berani mengeluarkan bahkan korek api. Ia bertahan tak ngebul dalam suhu dingin hari hujan. Ia, misalnya, tak turun satu kilometer ke batas desa tempat di mana siapapun bebas dari peraturan Pak Idris. Atau merokok saja di pos ronda toh tak akan ada orang yang tahu ia menghisap tembakau ketika para kepala keluarga terjebak hujan di kebun dan sawah.

 Tukang ojek yang umurnya kira-kira sebaya dengan Pak Idris ini memberi jawaban yang mengejutkan. "Bukan saya tak berani, tapi saya menghormati Pak Desa. Dia sudah kami pilih sebagai pemimpin kami. Tak baik melawan para pemimpin, apalagi yang punya niat baik untuk hidup kami. Di sini kami diajarkan bagaimana cara menghormati orang yang dituakan."

Jika saya terharu mendengarnya, barangkali karena saya orang Jakarta, tempat di mana saling percaya antar manusia lambat laun memuai, tempat di mana kita tak lagi percaya kepada mereka yang tampil di pucuk kekuasaan--modal sosial yang memberi ruh dan merekatkan setiap orang dalam komunitas yang dibayangkan bernama "bangsa". 

Dengan modal sosial yang tumbuh di setiap orang Bone-Bone seperti itu, plus cara pandang mereka terhadap arti penting punya akal dan pikiran, tak heran jika aturan yang dibuat Pak Idris--betapapun tak disukai pada awalnya--dipatuhi. Dan dengan kebajikan hidup semacam itu orang Bone-Bone menjalani keseharian secara wajar dan tertib, di bawah kabut yang tak lekas kisut.

Tuesday, October 30, 2012

SENJA DI PANTAI KRUI

Cerpen Bagja Hidayat 
Dimuat di Lampung post  26 Maret 2006


KAMI adalah orang-orang asing. Ia datang sebagai turis yang baru datang dari Bugis. Sedang aku setengah-turis-setengah-peneliti. Ia mungkin datang dengan sebuah harapan: akan ada lagi pantai yang nyaman untuk berselancar. Sedangkan aku datang ke pantai ini dengan sebuah hipotesis dan sehimpun pertanyaan. Kami adalah orang asing yang dipertemukan senja Pantai Krui.

Jika pantai tempat mempertemukan orang-orang asing maka losmen mengukuhkannya.

Di pantai itu, di senja itu, aku melihatnya tertegun, di sebuah pelabuhan lama yang bacin karena bersebelahan dengan pasar ikan. Ia membiarkan kakinya yang putih tertampar sisa ombak yang mulai pasang. Rambutnya digerai; pakai tank-top yang tak ketat. Dan celana pendek setengah paha. Ia menjinjing sandal jepitnya. Kutebak usianya tak lebih dari 30.

Lalu ia menyusuri panjang pantai ini. Seolah ingin melihat di mana matahari bersembunyi, usai memancarkan cahaya keemasannya yang anggun. Setiap pantai selalu merangsang pendatang dengan cahaya senja. Apalagi di sebuah pelabuhan kecil yang menyisakan jangkar abad lalu. Di antara gudang, rumah tua, pada cerita, tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut, menghembuskan diri dalam mempercaya mau berpaut. Aku merasakan, Chairil Anwar sedang tertegun di sini ketika menuliskan larik-larik itu.

Senja sudah meredup ketika kulihat lagi ia di beranda losmen yang kutempati: sebuah losmen paling mewah sekaligus paling murah. Hanya 25 ribu perak semalam. Kami ternyata tetangga kamar. Maka ini bukan hanya sebuah kebetulan, atau sekadar pertemuan, ini sebuah peristiwa yang mungkin akan menyusun sebuah cerita.

Dan cerita itu tersusun tanpa kehendakku sendiri. Kami jadi manusia asing yang asyik hidup di sebuah pelabuhan kecil di ujung pulau ini. Senja selalu saja kami nanti selain waktu-waktu yang lain. Sebenarnya matahari terbit bagus juga. Hanya saja, kemunculan matahari sebuah tanda pantai ini memulai hari dan sambutan para nelayan juga pasar yang bacin. Tidak seperti senja yang menutup hari lalu melepas para nelayan dan gerimis yang mempercepat kelam. Di sebuah pelabuhan, gerimis menyimpan pesonanya sendiri. Karena laut akan berpaut, karena pasir menghentikan langkah para pasasir.

Begitulah. Cerita ini kutulis untuk mengenang seseorang. Karena sebuah cerita yang terlampau lama mengendap akan menguap. Maka kutuliskan cerita ini untuk mengenang senja yang berkesan dalam sebuah ingatan yang cepat lekang. Tapi cerita yang kutulis ini hanya dua episode saja dari banyak episode yang tak bisa kutolak. Aku dan ia pelakon utamanya.

***

IA duduk di beranda losmen memandangi jalanan yang mulai lengang karena terik yang amat menyengat. Keberadaannya mengundang mata beberapa orang yang lewat meliriknya. Dari penjaga losmen ini kutahu ia baru tiba. Orang Kanada, katanya. Tapi kulitnya sudah gelap, merah di pipinya hampir lenyap. Mungkin ia terlalu lama berdiang di bawah matahari. Setiap turis yang datang ke tanah tropis selalu punya tujuan yang sama: memburu matahari. Aneh juga. Kami di sini amat menghindari matahari, meski terik itu sudah jadi akrab. Kami tak ingin matahari karena khawatir kulit menjadi bersisik dan gelap, meski para nelayan amat membanggakan kulit semacam itu. Kulit legam menunjukan bahwa laut sudah menyatu dengan darah mereka: satu zat satu urat. Tapi legam kulitnya menunjukkan sebuah kasta, bahwa ia pernah berkunjung ke sebuah negeri yang pantainya tersimbah panas matahari.

Kusapa, dari mana, sepertinya kau sedang berduka. Ia tersenyum. Lalu ia bercerita–kami begitu saja langsung akrab, mungkin karena ia juga menangkap isyarat bahwa aku juga orang asing di sini–ia baru datang dari tanah K. Bisa juga. Di peta, pulau Sulawesi memang mirip huruf “K” yang berkepala (guru sekolahku dulu mengajarkan menulis huruf itu dengan kepala yang terlihat seperti ekor). Kamu datang sendiri? Tidak, katanya. Kupikir memang begitu. Ia tersenyum. Temannya, ya, peta itu. Boleh juga. Kamu punya selera humor juga rupanya.

Dan selera itu yang mendekatkan kami. Ia jadi sering bertanya tentang pantai dan pelabuhan ini yang menghidupi para nelayan di sebuah kota yang seperti bangkit dari masa lalu. Harus kuakui, aku sendiri menyimpan pertanyaan itu. Kota kecil ini terasa mistis. Bangunannya terbuat dari kayu-kayu pohon yang jenisnya sudah punah dan tak ditemukan lagi. Jangkarnya seperti terpancang dengan jarak yang amat panjang. Pasir menguburnya seperti sejak sebelum masehi. Kamu berlebihan, katanya.

Ia seperti menemukan sebuah dunia baru. Setiap pagi, ia akan bangun dan berjalan menyusuri jalan yang tembus ke bibir pantai yang bacin. Ia terus berjalan hingga menemukan sebuah oplak dengan ombak yang menjulang. Di sebuah ceruk yang tak terlalu dalam, ia meluncur di sana. Sendirian. Dia mengajakku juga. Tapi, maaf, aku tak kenal papan seluncur sejak kecil. Maka aku hanya bisa memandanginya bermain air dari bibir pantai sini. Kupandangi ia yang kuyup ditelan ombak ditingkahi suara camar sayup-sayup.

Setelah itu aku yang pergi, ke gunung, menemui para petani yang menuai getah-getah damar. Getah-getah itu telah menghidupi orang-orang sini sejak entah turunan ke berapa. Pohon-pohon itu seolah tumbuh dan ditakdirkan untuk orang-orang sini. Sebab pohon damar tak ditemukan di daerah lain, kecuali di Gunung Gede. Itu pun bukan karena proses alam. Seorang peneliti membawa bibit damar itu ke sana dan menanamnya. Tapi tak sehebat getah di sini, kata seorang petani dengan bangga. Getah itu telah menyelamatkan penduduk di lereng Bukit Barisan Selatan bertahan dari membumbungnya nilai tukar dolar yang menyengsarakan hidup orang-orang di pusat kota. Krisis ekonomi, kata para petani yang tak mengerti arti sebenarnya frase itu, telah memberi berkah karena mereka bisa membeli parabola, sepeda mesin, dan mobil. Sebab, getah damar setimpal dengan harga dolar. Jika dulu, di zaman ayem, sekilo getah damar sama dengan sekilo beras, kini sekilo damar bisa menghasilkan puluhan kilo beras. Para petani mendapat rezeki nomplok.

Aku mendatangi mereka di saung-saung bertiang tinggi di kebun. Musuh para petani bukan pencuri bukan pula babi. Tapi gajah. Jika sedang lapar, gajah-gajah dari Bukit Barisan Selatan sering turun ke kebun dan merusak tanaman. Para petani tak bisa berbuat apa-apa jika gajah telah datang. Berbuat apa berarti mati. Banyak sudah petani yang gugur diamuk gajah karena berusaha menghalau hewan besar yang lapar. Yang bisa dilakukan para petani adalah membuat penakut agar gajah tak semakin merangsek masuk ke permukiman. Agar para gajah kembali ke hutan.

Ia juga terpesona oleh temuanku. Kadang-kadang, setelah berselancar, ia sering ikut naik gunung karena di sana para petani dengan gratis memberi durian atau dukuh. Setelah itu, kami akan menyusuri lembah-lembah yang cantik sepanjang Pesisir Krui. Dari ketinggian, kami bisa melihat Samudera Hindia membentang hijau tak bertepi. Di antara bukit dan laut itulah Pesisir Krui terhampar. Sebuah perpaduan yang sungguh sempurna. Jalan raya yang menghubungkan Krui ke Bengkulu berkelok-kelok di bibir tebing pantai, melingkar seperti ular. Seekor ular besar yang hanya hidup dalam fabel.

Atau menyeberang ke pulau Pisang, sebuah pulau kecil yang tak berpenghuni, sambil berusaha melafalkan huruf “grha”, huruf “R” yang dikumur. Sehingga pelafalan Krui yang benar bukan mengikuti kata yang tercetak dalam Latin, tapi “Ke-grh-ui”–sangat susah untuk lidah seperti kami yang mengenal huruf R dalam alfabet. Anehnya, jika bicara dalam bahasa Indonesia biasa, orang Krui melafalkan “R” sama dengan kebanyakan orang Indonesia lainnya. Ia sempat berniat meneliti dengan serius pelafalan huruf itu dari sejarahnya, susunan huruf dalam aflabet cikal bakal orang Lampung, hingga pengaruhnya ke budaya baca tulis. Tapi niat itu selalu terhalang oleh keanggunan senja yang lebih memikat hatinya.

“Seandainya pulau ini terpencil, maukah kamu hidup di sini?” tanyanya tiba-tiba, setelah memotret sebuah mercusuar dan ranggon yang rimbun.

“Tidak.”

“Tidak? Ah, betapa menyenangkannya hidup di sini. Sunyi. Kita bisa melakukan apa saja.”

“Maksudku, aku tidak mau tinggal sendiri,” kataku. Agak terkejut dengan kalimatnya yang menyelipkan kata “kita”. “Jadi kamu mau tinggal di sini?”

“Sayangnya, pulau ini tidak terpencil, masih bisa dijangkau orang-orang. Padahal aku sudah lama ingin tinggal terpencil.”

“Untuk apa?”

“Untuk menghidari dunia”

Lalu ia bercerita, itulah kenapa ia meninggalkan negerinya. Ia ingin mencari sebuah negeri yang tak terjangkau oleh masa lalunya. Sayang sekali, ia tak menyebut apa masa lalunya itu. “Kadang-kadang aku ingin menjadi Robinson Crusoe atau Ada Blackjack*), pergi jauh, jauh sekali dan mati atau bertahan di alam,” katanya.

Itulah akhir cerita episode pertama. Hanya sampai di situ aku bisa mengingat. Selebihnya biarlah menjadi catatan diriku sendiri saja. Bisa juga menguap tanpa sempat kucatat atau tersimpan dalam bawah sadar, yang akan muncul suatu saat entah kapan, terpancing oleh senja dan aroma hutan. Kini aku ingin menulis episode kedua, episode terakhir dalam cerita ini.

***

EPISODE kedua masih diawali oleh sebuah senja, pelabuhan lama, pasar ikan yang bacin, jangkar dan gudang-gudang tua, juga kenangan yang berkesan dalam ingatan yang cepat lekang.

Ia duduk di bibir pantai itu seperti memendam sebuah duka. Aku tidak tahu apakah itu duka atau raut gembira. Ia baru saja menerima surat entah dari mana. Orang Kanada mungkin selalu tahu alamat sanak keluarganya. Karena mereka selalu berkirim kabar, melalui surat atau telepon. Aneh juga, pikirku. Bukankah ia ingin menghilang dari negerinya? Tapi, kenapa masih mengabarkan jejak? Ah, ini bukan wilayah pengetahuanku. Yang ingin kutahu adalah surat apakah yang bisa menyebabkan ia berduka atau bergembira. Maka kuhampiri ia. Kukecup punggungnya yang terbuka dan kepalanya yang menunduk. Tanpa menoleh, ia pegang tanganku, mengecupnya, lalu menyandarkan kepalanya. Kupeluk ia dari belakang. Hening. Hanya ombak itu saja yang terdengar, mengisi setiap relung-relung hati kami: orang-orang asing yang dipertemukan oleh senja.

Kemudian aku tahu, surat itu dikirim oleh ibunya, melalui perantara entah siapa. “Sebuah surat duka,” katanya. Ayahnya meninggal sebulan lalu oleh kanker yang menggerogoti paru-parunya. Ibunya hanya mengabarkan itu, dan sebuah wasiat terakhir dari ayahnya, “Maafkan aku.” Hanya itu. Dan kalimat itu yang membikinnya berduka. Jika saja tak ada kalimat itu, katanya, hatinya tak akan terusik oleh kabar yang dikirim ibunya. Toh, dalam surat itu, ibunya tak menyuruhnya pulang. Kalimat terakhir ayahnya itu pula yang meluruhkan seluruh pertahanan niatnya untuk tak pulang. Ia sudah bersumpah tak akan pulang sebelum ayahnya minta maaf atas semua dosa yang kini membekas dalam ingatannya.

Akhirnya ia bercerita juga tentang masa lalu itu.

Ayahnya adalah seorang agen pemerintah. Ayahnya pula, oleh sebuah keteledoran yang sepele, membocorkan pengetahuan yang serba sedikit tentang aktivitas anak perempuan satu-satunya itu. Ayahnya membocorkan bahwa ia terlibat dalam satu gerakan radikal yang akan merongrong kekuasaan. Tapi, ayahnya pulalah yang kemudian memberitahu bahwa nama anaknya masuk dalam daftar hitam pencarian orang. Polisi dan intel sudah memasang mata dan telinga di setiap sudut dan celah yang memungkinkan orang ke luar dari negerinya. Dengan memalsukan identitas dan pertolongan seorang teman, ia bisa keluar melalui sebuah biro jasa yang menawarkan tur gratis ke Asia lewat internet dengan sejumlah kuisioner yang harus tepat dijawab. Aku juga terperanjat, bahwa sebenarnya, ia bukan dari Kanada. Ia mengaku dari Irlandia. Dan ia terbang ke Thailand sebelum singgah di Singapura, yang akhirnya mendarat di Bali lalu ke pulau-pulau lain di Indonesia.

“Aku harus pulang,” katanya.

“Kenapa harus?”

“Ibuku pasti ingin aku di sampingnya saat ini.” Ia mengendurkan pelukannya. Kuseka sisa air matanya. Kami jadi duduk bersisian, memandang ke arah senja laut. Camar beterbangan di sana.

Sesaat hening. Debur ombak makin keras terdengar. Angin laut makin terasa kencang. “Pulanglah, meski aku tak rela,” kataku, mencoba memecah sunyi. Dia masih diam dalam duduknya. Tatapnya kosong memandang ke arah laut yang mulai menyemburat keemasan. Angin pantai menebas-nebas rambut kami.

“Tapi…” ia menghela napas. Sebentar matanya melirik ke arahku, lalu berpaling lagi ke arah semula.

“Tapi? Tapi apa?”

“Bisakah kita berpisah?”

“Ha-ha-ha. Bisa. Toh untuk satu-dua minggu kan?”

Ia menggeleng. “Aku kira bisa lebih. Mungkin tidak tentu.”

“Kenapa?”

Ia menarik napas. “Kautahu bagaimana nasib seorang buron. Aku sendiri tidak tahu apakah bisa bertemu ibuku. Keadaan politik di sana sudah berubah memang, tapi aku sendiri tidak bisa menjamin apakah aku bisa bebas masuk ke sana, dan keluar lagi”.

“Hmm". Aku menerka-nerka situasi politik apakah yang sedang terjadi di sebuah negeri. Aku sudah lama tak terhubung dengan berita. Aku tidak yakin apakah benar ia dari Irlandia, seperti diakuinya. Mungkin dari sebuah negeri entah di mana. Bukankah seorang buron bisa rapat menutupi identitasnya? Aku telah terpedaya oleh pikiranku sendiri. Ia tak pernah cerita asul-usulnya sebelum ini. Aku sendiri yang menebak-nebak dan telanjur percaya cerita penjaga losmen itu bahwa ia orang Kanada. Dan bagaimana pula seorang aktivis bisa menitikkan air mata? Tapi bertanya soal air mata dalam situasi seperti ini bisa-bisa merontokkan romantisme yang sudah terbangun senja itu.

“Di sana juga ada anak laki-lakiku.”

“Apa?”

“Kamu kaget?”

“Hmm, ya ya. Tapi kukira pulang memang jalan paling baik.” Aku mencoba bersikap tenang.

Dia menarik napas panjang, sebelum wajahnya menghadap ke arah wajahku.

“Tapi…tapi bagaimana dengan bayi ini?” ia mengusap perutnya.

“Bayi? Bayi siapa?” Aku makin terkejut dengan setiap pernyataannya.

“Bayi kita. Benihmu sudah jadi bayi.”

“Apa?” Setengah tak percaya kutatap matanya. Tapi ia menghindar tatapanku.

“Bagaimana aku meninggalkan kamu, meninggalkan Indonesia, sementara ada manusia dalam rahimku,” suaranya lirih, frekuensinya hampir tak mencapai gendang telingaku karena lindap oleh debur-debur ombak.

Aku masih diam. Tak sanggup berkata apa pun. Aku senang mendengar kabar ia hamil. Itu berarti keturunanku tak punah. Riwayat hidupku akan abadi. Tapi, saat itu juga dadaku sesak, bagaimana memutuskan status bayi itu.

Senja makin tua. Matahari yang bulat emas sudah separo tenggelam ditelan ufuk barat. Kami masih saling diam. Angin senja mempermainkan rambut kami, mempermainkan kecamuk pikiran dan hati kami: orang-orang asing yang dipertemukan senja di Pantai Krui.

Pesisir Krui, 2000-Jakarta, 2004

Catatan:

*) Ada Blackjack dijuluki “Robinson Crusoe perempuan” karena kemampuannya bertahan dalam dingin dan asing Pulau Wrangel, Samudera Artik, Kutub Utara. Blackjack terdampar di pulau itu dalam suatu ekspedisi untuk menetapkan klaim Artik yang diperebutkan Amerika Serikat dan Inggris pada 1921. Dia satu-satunya anggota yang selamat dari lima anggota tim yang semuanya laki-laki. Adapun Crusoe adalah tokoh dalam karya fiksi Daniel Defoe yang bertahan hidup di sebuah pulau terpencil.

Tuesday, October 09, 2012

MBAH MAN


NAMANYA Rahman. Kami semua memanggilnya Mbah Man. Januari tahun depan ia genap 70. Di data warga yang tercatat di berkas RT ia mencantumkan pekerjaannya: buruh, dengan huruf kapital. Setiap hari ada saja warga kompleks ini, tetangganya sendiri, membetulkan ini-itu. Waktu kami membangun masjid, ia menggali tanah untuk pondasi. Daya tahannya mengalahkan kami semua, anak-anak muda 30-an. Anaknya enam, cicitnya tiga.

Badan Mbah Man kecil. Rambutnya memutih semuanya. Giginya tinggal empat. Makanan utamanya: kopi dan rokok. "Saya jarang makan," katanya. Selain gigi, di tubuhnya hanya mata yang kalah oleh usia. Selain itu Mbah Man tak pernah mengeluh sakit. Sekali masuk rumah sakit ketika menyetir sepeda motor diseruduk mobil yang mengantuk.

Tidurnya sedikit sekali. Di kompleks ini, dialah orang terakhir yang tidur, selain satpam. Kalo tak ada musuh ngadu gaple, ia nongkrong di pos satpam mengobrol, lalu keliling-keliling kompleks mengecek sudut-sudut yang gelap. Ia baru merem selepas subuh dan bangun lagi pukul 6. Setelah itu ia bekerja. Menukang, mencangkul, membetulkan genteng bocor. Jika ada pekerjaan di Jakarta ia bisa tahan menempuh Bogor-Jakarta bolak-balik dengan sepeda motor. Dan malamnya begadang main kartu.

Kami curiga ia tidur sedikit itu karena umur. Semakin tua tubuh kita semakin tak mengantuk. Kian ujur, tubuh kita tak membutuhkan istirahat berlebih sekaligus membutuhkan gerak sedikit, kecuali Mbah Man. Katanya, ia sudah tidur sedikit sejak di pesantren di Sumenep. Remaja ia pindah ke kampung ibunya di Situbondo. Lalu kawin dan merantau ke Jakarta di usia 40. Bekerja apa saja, terutama kerja otot memanggul beban jadi kuli angkut.

Sampai hari ini ia makan apa saja. Sore makan duren malamnya tak segan menyantap gulai kambing. Dan ia tak limbung karena kolesterol mencuatkan tekanan darah setelah itu. Bergelas-gelas kopi manis setiap hari itu seolah tak menyumbat pembuluh darahnya. "Setelah makan yang enak-enak itu saya makan pepaya, itu saja penawarnya," katanya, tadi malam, sewaktu kami mengobrol di pos satpam.

Tentu saja bukan cuma pepaya yang membuat tubuhnya liat di usia senja begitu. "Oh ya, yang bikin saya sehat itu karena saya tak pernah membebani pikiran," katanya. Mbah Man memang selalu gembira. Ia suka becanda dengan siapa saja. Setua itu, dia bisa tiba-tiba bilang, "Terus gue harus bilang wow, gitu?" Dan, saya kira, ini yang penting: "Saya tak pernah menilai orang lain."

Dengan menilai, pikiran akan membuat standar untuk diri sendiri dan orang lain itu, lalu akan timbul iri, kemudian menjadi dengki, arkian benci. Setelah itu pikiran kita akan terus memikirkan keburukan orang lain, membanding-bandingkan. Cara pikir seperti ini, kata Mbah Man, membuat pikiran dan hati tak lagi bebas. Hati dan pikiran akan terbebani, penyebab utama daya tahan tubuh kita melemah. Penyakit karena itu akan mudah datang.
  
Mbah Man tak pernah sakit hati karena disakiti orang lain. Jika ia dipecat dari pekerjaan karena dinilai tak becus, ia akan menerima karena berpikir itu bukan rejekinya. Rejeki lain akan datang dengan caranya sendiri. Dengan pola pikir begitu, Mbah Man banyak teman. Sebab itu pintu rejeki terbuka lebar di mana-mana. Enam anaknya ia sekolahkan, sudah mandiri dan punya pekerjaan tetap. Di sini ia tinggal dengan anak bungsu dan menantunya yang kerja di perusahaan Jepang.

Tapi, saya kira, selain tak mengizinkan urusan dunia membebani pikirannya, Mbah Man disokong istrinya yang sangat pengertian. Sejak kawin, Mbah Putri itu hanya sekali mencarinya, ketika ia tak pulang tiga hari karena keasyikan main gaple. Mbah Putri sangat percaya jika ke luar rumah, berapa lama pun, Mbah Man bekerja mencari uang untuk menghidupi ia dan anak-anaknya. "Kalau ada saya layani, kalau tak ada saya tak mencari," kata Mbah Putri. 

Sikap istrinya itulah, kata Mbah Man, yang membuat pikiran dia bebas. Ia tak rungsing oleh tuntutan ini-itu dari orang rumah. "Mungkin kalau dia banyak menuntut saya pusing juga," katanya. "Saya baru kepikiran sekarang, jangan-jangan kami awet berumah tangga itu karena Mbah Putri tak pernah menuntut apapun."

Mata Mbah Man masih menyala ketika saya menguap berkali-kali menjelang pukul 0, lalu pamit karena besok hari Senin. Saya, yang belum sampai 40 ini, butuh tidur setidaknya 5-6 jam sehari agar besok masuk kantor untuk rapat berjam-jam tak tersiksa menahan kantuk. Saat pamit saya berdoa semoga Mbah Man panjang umur dan selalu sehat juga terus bergembira....

Friday, September 21, 2012

PADA SEBUAH NADA

pada sebuah nada
kenang-kenangan terjaga
ketika mata bertuba
cahaya redup tibatiba
Waktu kusut seperti kaset 1982

kitapun tak lagi di sana
hanya nada pada linimasa
bangkit bersama suara
di tiap deret lagu senja

tahukah engkau, cintaku
saat duka hinggap di cemara
dan angin menisik di beranda
aku melengas dalam nada-
nada kita

2011

Monday, July 02, 2012

BATAS-BATAS BOLA


Bagja Hidayat
Wartawan

Seorang komentator sepak bola mengatakan, hari-hari ini kita menyaksikan gelora nasionalisme di lapangan hijau. Patriotisme 90 menit, kata sosiolog Skotlandia, Grant Jarvie. Sepak bola adalah perang, kata pencetus total-football asal Belanda, Rinus Michel. 

Tapi pengertian-pengertian itu kini agak membingungkan ketika sepak bola telah melintasi batas-batas negara. Giovanni Trapattoni mengomandoi kesebelasan Irlandia untuk menahan gempuran tim Italia, negaranya sendiri, dalam penyisihan Piala Eropa. Italia menang, sementara Irlandia pulang dengan kekalahan.

Empat tahun lalu, Guus Hiddink juga berjingkrakan setiap merayakan gol Rusia ke gawang Belanda. Negeri asal Hiddink itu harus pulang lebih cepat dengan kekalahan memalukan. Sedangkan Rusia, tim yang ia latih, melaju ke babak berikutnya dengan mudah.

Atau Lukas Podolski. Penyerang Jerman asal Polandia itu adalah pemain yang dengan golnya menyingkirkan tim tanah leluhurnya dalam Piala Dunia 2010. Presiden Polandia ketika itu meradang dan menyatakan akan mencabut paspor Polandia milik Podolski.

Pemain Jerman lain, Jerome Boateng, lebih runyam lagi. Dalam Piala Dunia 2010, bek yang dalam Piala Eropa kali ini begitu tangguh hingga tak gampang dilewati Cristiano Ronaldo tersebut menghadapi kesebelasan adiknya, Kevin Prince-Boateng, yang memilih bermain untuk Ghana, negara asal orang tua mereka. 

Dalam pertandingan itu, Jerman menghentikan gaya impresif Ghana dengan skor 1-0. Di mana nasionalisme?

Sepak bola barangkali bukan sebuah “komunitas yang dibayangkan”. Tak ada bangsa, tak ada negara. Sepak bola telah melintasi batas-batas itu, kata Albert Camus. Ketika imigrasi tak terbendung dan naturalisasi menjadi tren, pemain sepak bola bukan lagi orang “pribumi”. Kesebelasan Prancis lebih banyak diisi oleh mereka yang berdarah Maroko atau Aljazair. Tapi apa yang pribumi, apa yang pendatang?

Dalam sepak bola, negara hanya geografi pada atlas, paspor sekadar sebuah penanda, selain kostum, bendera, dan lagu kebangsaan. Setelah itu, para pemain bahu-membahu membuat gol ke gawang lawan--tujuan utama permainan ini. Dan lawan itu bisa tanah kelahiran, asal-usul nenek moyang, atau sesama teman di klub. 

Tapi sejarah sepak bola telah menunjukkan bahwa kekacauan "tanah air" itu tak menimbulkan chaos. Hiddink masih bisa pulang dan ditawari pula menukangi Belanda kembali. Kemarahan orang Polandia tak sampai membuat Podolski takut mengunjungi neneknya. Dan di Senayan, 24 Mei lalu, penonton Indonesia lebih banyak memakai kostum Internazionale Milan ketimbang kaus merah. Mereka bersorak tiap kali para pemain klub Italia itu membuat gol. 

Kita pun menyambut Piala Eropa atau Piala Dunia selalu dengan antusias. Rela begadang untuk menonton tim dukungan kita, membela amat serius di Twitter atau Facebook. Padahal tak ada tim Indonesia dalam kejuaraan-kejuaraan itu. Kita sudah bosan bertanya mengapa tak ada 11 saja di antara 240 juta orang Indonesia yang jago menggocek bola hingga bisa tampil di kejuaraan dunia.

Hiddink dengan enteng mengatakan dirinya seorang profesional. Mungkin benar. Nasionalisme barangkali tak tepat benar dirumuskan dalam sepak bola modern. Toh, kita bisa mendukung kesebelasan Belanda tanpa harus repot mengingat pelajaran sejarah tentang penjajahan.

Suatu saat, tim sepak bola barangkali hanya perlu meminjam nama sebuah negara. Atau, negara nanti hanya perlu menyewa sebuah tim untuk berlaga. Negara hanya hadir sebagai nama, sekadar penanda dan pembeda.

Dimuat Koran Tempo edisi Euro 2012 edisi Kamis, 28 Juni 2012

Friday, June 22, 2012

GOOOOOLLLL.....


SEPAK bola mempersatukan dunia dengan satu kata yang menjadi inti permainan ini: gol. Dari Meksiko sampai Ceko, dari Rusia sampai Tasikmalaya, tak ada orang yang tak mengerti ketika berbarengan meneriakkan “Gooooooooool”.

Kita bisa berdebat apakah permainan ini lebih tepat disebut soccer atau football; sepak bola atau bola sepak seperti halnya tangkis bulu, meski ada juga bola voli. Gol bisa diterima di mana saja untuk menandai skor ketika bola telah melewati garis gawang. Kata ini telah meniadakan perbedaan ragam nama di seluruh dunia.

Gol atau goal dalam bahasa Inggris adalah evolusi dari kata “gal” atau “gol”, sebuah kata abad Pertengahan yang artinya “batas”. Sejak tsu chu atau kemari dimainkan di zaman Dinasti Tang di awal abad 2 sebelum masehi hingga pauckhakowohog atau calcio di Eropa, gol menjadi penanda jelas permainan ini. Pertandingan ini berhenti ketika salah satu tim memasukkan bola melewati garis di antara dua tiang atau apapun sasaran yang menjadi kesepakatan bersama untuk menandai skor.

Tsu chu dimainkan para tentara istana Cina kuno untuk berlatih fisik dan memahirkan kung fu. Tsu chu dimainkan seperti bola voli zaman sekarang. Sebuah jaring yang bolong tengahnya memisahkan dua tim. Setiap orang dalam tim harus berjuang agar bola tak menyentuh tanah lalu dengan akurasi jitu menendangnya ke bolong jaring itu. Tim yang paling banyak menyarangkan bola ke jaring adalah pemenangnya.

Orang Jepang memindahkan jaring itu ke ujung lapangan ketika memainkan kemari. Satu jaring untuk tiap tim. Marco Polo yang melihatnya ini di abad 14 menularkannya sepulang di Italia dan Inggris menyempurnakannya di abad 18. Semua orang kini sepakat bahwa gol adalah masuknya benda bundar yang jadi rebutan para pemain melewati dua tiang itu. Jika ini terjadi, permainan berhenti dan diulang dari awal jika waktu yang disepakati masih tersedia.

Sebab, gol adalah tujuan utama permainan ini, batas permainan ini. Betapapun sengit para pemain berebut bola, betapapun jitu setiap taktik disusun, bagaimana pun hebatnya kerjasama antar pemain dalam satu tim, seluruh enersi dikerahkan untuk menciptakan gol sebanyak mungkin ke gawang lawan. Tanpa tujuan menciptakan gol, permainan ini hanya disebut “rebutan” bola belaka, perjalanan tanpa tujuan.

Suku Gahuku-Gama di Papua memang memainkan sepak bola agar skor tetap imbang. Sebab, di sana sepak bola adalah ritual tentang keseimbangan nafsu mengalahkan dan kebajikan menerima kekalahan. Orang Gahuku, seperti laporan perjalanan ahli strukturalis Prancis Claude Lévi-Strauss, akan bermain bola berhari-hari, terus tak berhenti, jika satu tim masih memenangi permainan.

Tapi sepak bola di lain tempat punya ciri sama yakni saling mengalahkan. Tim yang menang adalah tim yang membuat gol paling banyak dari lawannya. Karena gol ini pula permainan sepak bola jadi menarik—drama kolosal 2 x 45 menit, kata Milan Kundera. Tak harus menghitung poin seperti bola keranjang, sepak bola begitu digemari setiap orang di seluruh dunia karena praktis dan mudah.

Bahasa Inggris tak membedakan antara proses membuat, tujuan, hingga tiang sasaran bola. Bahasa Indonesia lebih spesifik. Proses dan hasilnya disebut gol sementara sasaran dua tiang itu disebut gawang. Dan bahasa Indonesia melahirkan kekayaan ragam istilah dalam permainan ini. Halaman-halaman olah raga di koran bertaburan metafora unik dan nyeleneh.

“Iker Casillas memetik bola”, “Spanyol mengandangkan Kroasia”, “Mario Gomes menanduk si kulit bundar”... Dan semua itu terhenti ketika kita bersama-sama meneriakkan “Goooooo0-l”.


Thursday, June 21, 2012

MENGAPA MEDIA HARUS INDEPENDEN? *)



Bagja Hidayat **)




Tiap kali ada godaan buat lembek dan menyeleweng,
tiap kali ia harus ingat ada orang lain yang mungkin sekali celaka,
atau tertipu, karena kebohongan beritanya.

[Goenawan Mohamad, 2009]




SEBAB tiap informasi yang disampaikan setiap wartawan segera akan menjadi milik publik, ditafsirkan, dipercakapkan, dikomunikasikan. Sebab informasi, susunan fakta-fakta, dalam sebuah berita bisa mempengaruhi keputusan-keputusan penting yang diambil para pembaca. Berita, informasi, fakta, yang salah atau bias karena itu bisa menyesatkan. Dan kemungkinan ada orang yang celaka akibat informasi yang sesat dan bias itu. Paling tidak berita yang bias itu menjengkelkan.

Independensi tak berbicara soal netralitas. Jurnalisme baru (new jurnalism) yang muncul sejak 1960 dimulai di Amerika Serikat membolehkan opini para wartawan masuk ke dalam berita, menyusup di antar fakta dan data yang mereka tulis. Anasir story behind the news dalam penulis majalah berita bahkan mencantumkan opini setelah unsur flashback, kronologi, kutipan, analisis, dan anekdot.

Dengan kata lain, dalam era jurnalisme seperti sekarang para wartawan tidak hanya menyajikan fakta begitu saja. Mereka memberinya interpretasi agar pembaca bisa memahami informasi yang mereka sajikan secara efesien. Jika begitu, apakah media dan wartawan yang seperti itu masih bisa kita anggap independen?

Independensi, sekali lagi, harus dibedakan dari netralitas. Jika netralitas diartikan tak berpihak kepada siapapun dan apapun, independensi dimaknai bebas dari kepentingan tertentu, kecuali kebenaran. Sebuah media, atau seorang wartawan, bisa saja tak netral dengan memihak satu pihak karena menilai keburukan akan terjadi seandainya mereka tak menyatakan keberpihakannya, karena publik yang buta tak menerima fakta yang benar dari pihak jahat di seberang pihak yang didukung mereka.


New York Times secara terbuka mendukung Barrack Obama menjadi presiden Amerika Serikat dalam pemilihan 2008 karena menilai membiarkan Republikan berkuasa lagi hanya melanggengkan kekerasan di Timur Tengah atas nama "perang terhadap terorisme". Tapi New York Times tetap independen karena keputusannya berpihak itu didasari oleh nilai-nilai yang lebih luhur, yakni kemanusiaan, ketimbang kepentingan pragmatis dalam politik, dan bukan atas dasar lobi dari tim kampanye Obama untuk mendukung calon yang mereka sokong. Jika netral tak menunjukkan sikap terhadap sesuatu, independen tak ada campur tangan pihak lain di ruang redaksi atas keputusan-keputusannya menulis sebuah berita dan menyajikan fakta.


Ada anekdot yang terkenal di kalangan wartawan bahwa seorang reporter tak dilarang berpacaran dengan seorang tukang sirkus, bahkan tidur dengan mereka, asal reporter itu tak menulis pertunjukan sirkusnya. Sebab ada kemungkinan bias dalam cara menulis wartawan terhadap pertunjukan sirkus tersebut. Para wartawan perlu menjaga jarak dengan objek yang mereka tulis. Seba para wartawan bekerja mencari dan mendekati kebenaran seakurat mungkin. Bias akan terjadi jika mereka telah menjadi bagian dari objek yang mereka tulis itu. Loyalitas pertama dan utama wartawan adalah kepada publik, kata Bill Kovach. Maka independensi adalah kebebasan yang tetap memihak, yaitu kepentingan publik yang lebih luas yang mengingikan pertunjukan sirkus secara akurat, bukan promosi terselubung sirkus tersebut karena si wartawan tahu betapa grup sirkus itu kesulitan uang. 

Dan tak ada yang netral dalam berita. Pemilihan judul dan lead, diksi, dan penyusunan cerita dalam berita itu saja sudah sebuah opini—opini wartawan yang dilandasi temuan fakta mereka.

Di Guatemala, wartawan tak cukup hanya menulis. Mereka berkampanye. Seperti yang dilakukan José Rubén Zamora. Ia pemimpin redaksi El Periodico, yang harfiah nama ini berarti "koran". Saya ketemu dengan pahlawan kebebasan pers 2006 ini sewaktu ia berkunjung ke Jakarta untuk mengajarkan teknik investigasi bagi wartawan Indonesia, dua tahun lalu. Ia dinobatkan sebagai "pahlawan" karena tak henti membongkar skandal di negerinya, dan selalu lolos dari upaya pembunuhan.

Barangkali riwayat hidup semacam itu tak lagi aneh. Di negara-negara berkembang selalu saja terdengar ada wartawan yang gigih membongkar keburukan pemerintahnya. Kita tak kekurangan jenis wartawan seperti dia. Yang membedakan adalah cara Zamora membongkar kebobrokan itu. Sebermula ia menetapkan tentara di negerinya sebagai musuh. Para tentara sering berkolaborasi dengan mafia narkotika mengeskpor mariyuana ke Meksiko, ke Amerika. Para tentara juga korup dan sering meneror wartawan di sana.

Kemudian, setelah selesai membongkar satu kasus, Zamora membuat iklan. Ia memajang foto para “tersangka” dari hasil investigasi para wartawannya. Tak hanya di korannya, tapi di media massa seluruh Guatemala, di sebar sebagai pamflet.

Di sana berita dan fakta saja tidak cukup, apatah lagi netral. Iklan itu tak berhenti sampai ada reaksi. Misalnya, tersangka itu mengundurkan diri dari parlemen, menteri, atau jabatan publik lainnya. Atau rakyat turun ke jalan berdemontrasi. Satu upaya yang tak ditemukan di Indonesia. Wartawan di Indonesia lebih beruntung, kita hanya menulis seuah penyelewengan yang sistemik maupun yang sementara lalu berharap perubahan akan datang.

Meski berkampanye dan bersalin rupa jadi jaksa, Zamora tak menanggalkan inti dan jantung jurnalisme: verifikasi. Verifikasi membuatnya begitu yakin akan temuan fakta dan data yang diperoleh dari hasil liputannya. Ia yakin informasi yang ia peroleh tak menyesatkan. Ia menyampaikan juga metode liputan agar publik tahu bahwa informasi yang ia peroleh tidak salah. Zamora tetap memegang teguh kredo jurnalistik di seluruh dunia: fakta itu suci, sementara interpretasi dan opini itu relatif.

Verifikasi juga membedakan kerja jurnalisme dengan hiburan, infotainment, propaganda, fiksi, atau seni. Sikap netral tanpa verifikasi bisa menjebak karena hanya akan menghasilkan liputan yang kosong. Wartawan yang memilih dan meminjam mulut narasumber untuk menyampaikan pikirannya agar terlihat objektif dan coverboth side sebenarnya sedang melakukan penipuan.

Karena itu wartawan yang tak bisa dibeli adalah mutlak dalam hidup media yang independen. Aliansi Jurnalis Independen terus menerus mengkampanyekan agar wartawan menolak amplop dan memberi kesadaran kepada para pejabat pemerintah agar tak usah repot membekali wartawan untuk ongkos taksi atau ojek. Hanya pers yang bebas yang bisa membongkar kebobrokan dan penyelewengan di lembaga-lembaga pemerintahan. Budaya amplop yang masih menjamur hingga hari ini telah menggerus dan memandulkan peran media dalam fungsi penting ini.

Bahkan wartawan dilarang terlibat dalam peristiwa, atau terlalu loyal kepada narasumber. Semakin ia terlibat dan tak bisa mengambil jarak dengan narasumber ia kian jauh dari fakta yang sebenarnya. Informasi yang dihasilkannya akan bias bahkan menyesatkan jika narasumbernya memberikan informasi yang menguntungkan dan menyembunyikan fakta yang merugikannya. Cek dan ricek dan verifikasi akan menjadi saringan dan senjata ampuh bagi para wartawan untuk tetap bebas dari pengaruh pembelokkan fakta dan kebenaran.

Independensi, karena itu, tak bisa ditawar lagi jika ingin media kita sehat dan berfungsi sebagaimana tujuan awal media dibuat pada awal abad 17 di kafe-kafe di Inggris: sebagai sarana komunikasi antara para pembuat kebijakan dengan publik. Ketika konsep negara dan masyarakat kian kompleks, peran media juga kian rumit yakni sebagai clearinghouse information agar tak terbit benih permusuhan dan perselisihan. Dan media berperan mengkomunikasikan dialog, bukan menyebarkan kebencian.

Dengan peran mulia seperti itu, media dituntut bebas dari segala kepentingan. Ia tak melayani faksi tertentu untuk menghantam faksi yang lain. Tantangannya, media kini sudah menjadi bisnis yang harus dikelola sama baiknya dengan perusahaan dan pabrik tegel. Kemampuannya membentuk opini publik seringkali dimanfaatkan oleh para pengusaha mendirikan media untuk menyuarakan kepentingan-kepentingannya.

Setelah reformasi, ketika “pers perjuangan” sudah lewat, media kita kian ditantang mempertanyakan independensi mereka sendiri. Sebab, jangankan wartawan harus bebas dari pengaruh para pemodal, para jurnalis harus bebas dari kepentingan-kepentingannya sendiri dan ideologinya.

Janet Steele, profesor di George Washington University, pernah meneliti berita-berita nasional di majalah Tempo antara tahun 1971 sampai 1980. Di awal-awal majalah ini terbit, begitu temuan Janet yang dibukukan dalam Wars Within (2007), berita-berita seringkali dimulai dan berpihak kepada korban, rakyat kecil. Tapi seiring membaiknya ekonomi dan oplah majalah ini kian banyak karena itu kesejahteraan wartawan kian bagus, berita-berita hanya cenderung menyuarakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang elitis. Untungnya para wartawan di Tempo segera sadar akan buaian kenyamanan ini.

Atau ketika Tempo tergoda mengembangkan bisnisnya. Ada pilihan apakah akan merambah bisnis selain media, misalnya, membuat hotel atau usaha lain yang lebih menguntungkan. Keinginan ini segera mendapat pertanyaan serius: apakah wartawan Tempo akan tetap menulis hotel mereka jika, misalnya, ada pembunuhan di hotel itu yang berimplikasi pada sepinya tamu setelah beritanya ditulis. Pilihan ini akhirnya ditinggalkan dan Tempo tetap setia pada bisnis media.

Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali orang tak percaya, atau pembaca curiga, wartawan menulis berita pesanan selamanya mereka tak akan percaya bahkan ketika para wartawan itu menulis berita yang objektif. Sebab atasan wartawan bukan redaktur, pemilik modal, atau pemimpin redaksi mereka. Atasan dan majikan para wartawan adalah publik. Sekali mereka membuat bias, akibatnya publik yang akan celaka.

*) Makalah pelatihan jurnalistis tingkat mahasiswa se-Jabotabek di Universitas Mercu Buana Jakarta, 14 Juni 2010
**) Wartawan majalah Tempo


Referensi

1.  Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom. 2004. Elemen-elemen Jurnalisme. Institut Studi Arus Informasi. Jakarta
2.  Steel, Janet. 2007. Wars Within. Dian Rakyat. Jakarta