Monday, February 02, 2004

KESUNYIAN HUJAN



[dalam empat komposisi]

I

Desember memberi basah pada udara Jakarta yang kering. Hujan menitik di atap seng. Seorang penyair tergeragap di muka jendela. Hujan begitu ngungun. Selalu ada jeda di antara rintik hujan. Sebuah keheningan yang masif. Keheningan yang tak tercatat. Kesunyian yang abadi, yang tak terlindih oleh rintik-rintik berikutnya. Jeda yang pendek. Ada peristiwa apakah di setiap jeda dua buah rintik? Ia tak seperti garis. Ia hanya titik. Rintik selalu berdiri sendiri. Memberi kelonggaran pada rintik yang lain. Ada sebuah tanda di sana. Seorang penyair hendak mengabadikan jeda itu dalam kata-katanya. Penyair yang duduk di muka jendela dengan takjub yang tak terdefinisi.


II

Ia memandang rintik-rintik itu. Tak berkedip mengikuti setiap keclak hujan yang jatuh dari atap seng sice tanpa lampu. Ia mengambil pinsil, bersiap menangkap ada peristiwa apa gerangan di setiap jeda rintik hujan. Tatapnya takzim. Rautnya terpesona. "Sebuah pesona yang ...," desisnya. Tapi bukan kalimat itu yang kemudian ia tuliskan di secarik kertas yang digenggamnya. Kalimat itu tak cukup melukiskan peristiwa yang telah ia tangkap tapi tak kunjung mengendap. Ia ingin menemukan sebuah kata yang pas, yang bisa menggambarkan ketakjubannya pada jeda rintik hujan.

III

Seorang penyair yang ingin mengabadikan peranjat, bukankah ia sedang menggamit sebuah peristiwa dahsyat? Satu rintik telah lewat. Air itu hancur dan menimpa kayu berlumut yang menyangga kamar di loteng rumah itu. Sang penyair menunggu rintik berikutnya. Bulir air yang menakjubkan. Ia menggumpal di atap seng. Mencari tempat genangan. Mengalir perlahan-lahan. Tapi tak ada lekukan di atas seng yang mengkilap. Bulir itu melorot dan jatuh di tepi atap. Penyair tergeragap. Begitu cepat bulir itu jatuh. Ia, untuk kedua kali, gagal mendefinisikan sesuatu yang tersimpan dalam jeda dan rintik hujan.

IV

Kertasnya masih kosong.