Thursday, December 21, 2006

SURAT DARI BAPAK

Bapak berkirim surat. Tumben. Sudah lama ia tak berkabar lewat tulisan. Dulu ia rajin mengirim atau bertanya kabar lewat surat. Sekarang ada sandek, tapi ia belum mahir memencet tombol ponsel yang kecil dengan pandangan yang sudah lamur.

Tulisannya masih sama: tulisan sambung yang rapi. Khas orang-orang tua. Bentuk tulisannya habis-habisan saya tiru, sewaktu baru kenal a-b-c. Tapi yang muncul adalah tulisan cakar ayam. Saya, mungkin kita, tak lagi diajari menulis sambung seperti zaman sekolahnya dulu. Tapi bukan itu yang utama. Yang pokok adalah isi suratnya. Saya kutip yang penting-pentingnya saja. Tentu ini sudah disadur. Aslinya ia menulis dalam Sunda halus.


"Hari ini Bapak sedih. Untuk yang kesekian kali. Pak Lurah pidato berapi-api di balai desa soal proyek bendungan itu. Ia baru dapat duit subsidi dari kecamatan. Warga bergotong royong mengerjakan. Di sela pidatonya itu ia bercerita. Pak Lurah jengkel. Sejak proyek itu mulai berjalan hampir setiap hari ada datang orang ke rumah. Berbondong-bondong. Mereka mengaku wartawan. Entah surat kabar apa.

"Mereka bertanya ini-itu soal proyek bendungan. Pak Lurah sampai kewalahan meladeninya. Pertanyaan mereka aneh-aneh. Padahal, ini pembangunan yang wajar. Warga butuh air untuk mengairi sawah saat kemarau. Mereka malah bertanya berapa jatah untuk pamong desa. Yang menyebalkan, sebelum pulang mereka minta duit untuk ongkos. Bayangkan, ada 10 orang dalam satu rombongan yang datang pagi-siang-sore. Diberi 100 ribu tidak mau. Tidak cukup, kata mereka. Padahal ongkos ke kota tak menghabiskan 5.000 seorang. Mereka minta satu juta.

"Setelah sengit tak mau memberi, Pak Lurah luruh karena diancam. Para wartawan itu akan menulis bahwa Pak Lurah telah menilap uang proyek. Tentu saja Pak Lurah takut. Jika benar ditulis, Pak Lurah telah dituduh oleh perbuatan yang tak dilakukannya. Kamu pasti tahu, jika sudah dituduh si tertuduh harus menjelaskan dan membuktikan bahwa tidak benar tuduhan itu. Dan itu merepotkan. Serombongan petugas kecamatan akan datang. Dan mereka tentu tak mau pulang tanpa ongkos kedatangan. Efeknya akan berantai. Sementara proyek bendungan itu benar-benar membutuhkan duit.

"Maka Pak Lurah harus rela beberapa juta diberikan kepada mereka. Di ujung pidatonya dia berkata yang membuat Bapak sedih. 'Saya berdoa, semoga tak ada keluarga dan kerabat saya yang menjadi wartawan'. Dada Bapak berdesir mendengar ucapan itu. Kalimat Pak Lurah seolah ditujukan pada Bapak. Ia seperti menuduh bahwa kamu juga berbuat seperti para wartawan itu.

"Bapak tahu kamu tidak melakukannya. Bukan begitu cara kerja wartawan, kan? Bukankah wartawan seharusnya menyampaikan kabar tentang sesuatu yang seharusnya diketahui umum. Bukan meminta-minta duit begitu. Wartawan juga kan seperti karyawan perusahaan biasa lainnya. Mereka digaji atas kerja mencari informasi itu.

"Sejak kamu memberitahu akan bekerja jadi wartawan, Bapak sudah mengingatkan ini pekerjaan yang aneh. Bapak sendiri tak kunjung mengerti bagaimana bekerja jadi wartawan. Apakah ada sekolah menjadi wartawan? Jam 23 kamu masih di kantor. Jam 8 sudah di kantor lagi. Kapan tidur? Kapan punya waktu untuk keluarga. Kapan punya waktu untuk diri sendiri. Toh, kerja rodi begitu kamu tetap miskin...

Desember 2004



Bapak, saya juga tak tahu bagaimana menjelaskan pekerjaan ini. Aneh memang. Ada banyak orang yang mau bekerja seperti itu. Dalam bursa kerja di Senayan beberapa bulan lalu pekerjaan yang paling diminati mahasiswa yang baru lulus adalah menjadi wartawan. Ajaib. Mungkin saya hanya menikmati. Dan ada perasaan senang jika tahu ada orang yang jadi "pinter" setelah membaca berita. Juga, ada kebanggaan setiap kali saya menolak amplop. Ah, ini mungkin hanya romantisme saja.

Saya juga tidak bisa merumuskan apa nama perasaan-perasaan aneh seperti ini. Barangkali, ini salah Bapak juga. Dulu, sebelum saya bisa membaca, kepala ini sudah penuh dengan kisah-kisah, dongeng-dongeng, legenda-legenda, yang Bapak ceritakan sebelum tidur. Sejak itu saya jadi suka cerita dan ingin membaginya dengan orang lain...

Sunday, December 03, 2006

SURAT UNTUK AA GYM

Aa Gym, saya tak kaget ketika mendengar gosip anda kawin lagi. Saya kecut ketika anda mengakuinya. Saya muak mendengar alasan anda bahwa perkawinan kedua itu untuk menghindari zina. Daripada teman tapi mesum, katamu. Astaga. Sudah sebegitu mesumkah anda jika berteman dengan perempuan?

Beristri lebih dari satu tentu tidak dilarang, seperti kau sebut-sebut kepada banyak wartawan. Agama Islam membolehkan dengan syarat yang ketat. Anda tentu merasa bisa memenuhi syarat itu sehingga memutuskan berpoligami, tiga bulan lalu. Tapi guru-guru ngaji saya di dusun, yang tentu tak sepopuler anda, menceritakan bukan dengan alasan takut zina Rasulullah menikahi perempuan lebih dari dua. Rasulullah menikahi perempuan yang suaminya gugur di medan perang dalam menyebarkan ajaran Islam. Ia hidup di zaman perang yang mengancam nyawa dan keselamatan. Lagipula dia berpoligami setelah Siti Khadijah, istri pertamanya, meninggal. Yang saya tahu, begitulah alasan Nabi memperistri banyak perempuan.

Poligami diatur dengan jelas dalam Surat Annisa. Anda pasti tahu, surat ini turun sesaat setelah Perang Uhud. Sebanyak 70 orang, dari 700 kaum muslimin, meninggal dalam perang itu. Banyak janda dan anak yatim karenanya. Surat itu kemudian mengatur bagaimana kaum muslimin memperlakukan anak-anak yatim dengan, antara lain, menikahi ibunya. Agar anak-anak itu terlindung dan mendapat warisan sebagai masa depannya. Karena itu syarat pertama poligami adalah keadaan darurat. Calon istri terutama janda yang ditinggal mati syuhada oleh suaminya. Syaratnya berat. Tak heran Nabi kurang sreg ketika Ali, menantunya, minta izin menikah lagi. Anda, Aa Gym, hidup di Indonesia yang mulai damai. Bahkan anda hidup di Bandung, sebuah kota yang menjadi tujuan wisata akhir pekan.

Saya tak akan menyoal perdebatan poligami. Sebab, dalam kasus anda, yang jadi soal bukan dilarang atau tidaknya poligami oleh ajaran agama. Tindakan anda legal di mata hukum apapun. Tapi tidak di mata "hukum" sosial. Anda seorang ustad yang tiap hari berkotbah tentang nilai-nilai moral di televisi, di masjid, menulis di koran, radio, bahkan lewat telepon seluler. Anda merangsek begitu jauh ke dalam hidup setiap orang. Banyak orang, dengan begitu, menjadikan anda sebagai panutan. Inilah soalnya. Anda mungkin cuma manusia biasa yang bisa salah. Tentu saja. Anda bukan nabi. Tapi perbuatan anda itu sudah dipikirkan benar bahkan sejak lima tahun lalu. Anda tentu sadar sepenuhnya melakukan poligami. Ada banyak orang, memang, yang juga tak puas dengan satu istri. Tapi mereka tak saya kenal. Mereka tak berkotbah tentang nilai-nilai luhur dan amal soleh.

Dulu, saya pernah juga ikut latah menjadi pelanggan SMS tausyiahmu. Lima kali dalam sehari saya membaca omong kosong tentang kebajikan, sampai saya menghentikannya ketika profil anda dimuat berseri-seri di media massa. Saya berhenti setelah membaca laporan wartawan Time yang menyebut anda Holyman, orang suci, yang berpose dengan motor gede dan gantole. Ganteng benar anda dengan semua kemewahan itu. Nabi Muhammad, orang yang paling anda kagumi dan kisah bajiknya sering kaukutip dalam ceramahmu, hanya punya sandal dari jerami yang ia jahit sendiri jika sobek.

Anda tak salah menikmati semua kekayaan dari hasil kerja sendiri itu. Tapi menjadi tak relevan ketika dipamer-pamerkan untuk semua orang. Bukankah memamerkan itu satu perbuatan kecil dari riya? Maka saya berhenti berlangganan tausyiahmu. Saya merasa tak ada gunanya membaca pesan moral dari orang yang suka berpamer-pamer harta. Sesekali saya masih ikut menonton kotbahmu di televisi, bersama anak dan istri saya--ketika tak punya pilihan acara televisi saat libur--seraya berdoa semoga orang lain mengikuti apa yang kau anjurkan. Di televisi, anda "berusaha" berpose mesra dengan istri pertama. Ah,...

Istri anda mungkin sudah bisa ikhlas setelah mendengar semua argumen anda dengan tameng semua ayat dan hadits juga janji sorga. Tapi, bagaimana perasaan orang lain yang menjadi korban poligami ayah dan suami mereka? Inikah hikmah yang ingin kaudapat? Anda harusnya tahu, dengan pro-kontra yang beredar di jamaahmu yang sedih dan kecewa di Bandung itu saja, hikmah itu sudah pupus. Anda ingin belajar adil dan ikhlas dengan poligami. Tak adakah cara lain belajar tentang dua hal itu dan menunjukkannya kepada orang lain? Anda ingin mengubah pandangan orang yang tak setuju. Tak bolehkah orang tak setuju? Poligami adalah pilihan, bukan tuntunan.

Keputusan anda berpoligami itu, Aa Gym, makin menyempurnakan runtuhnya kepercayaan saya kepada semua pengkotbah agama. Saya kian tak percaya apa yang diomongkan para pengkotbah yang merampas hak saya menikmati tontonan bagus di televisi. Menjadi ulama itu sulit, tapi kenapa begitu mudah orang berkotbah hanya dengan mengutip satu dua ayat plus lawakan yang sering terasa garing, lalu menjadi kaya dengan itu. Saya lebih senang menonton pertunjukan Oprah Winfrey, atau Extravaganza, atau Srimulat. Mereka tak berusaha memberi pesan muluk, tapi saya terhibur.

Kita sudah jenuh dengan retorika. Anda tampil menambahnya, seolah-olah memberi resep dalam hidup sehari-hari yang sumpek. Saya terkesima, mula-mula. Kotbahmu mengena. Anda, sepertinya, tak mencari kekayaan bermodal pengetahuan ayat dan hadist. Anda sudah kaya sebelum jadi ustad, meskipun saya tak tahu berapa rupiah anda dibayar satu kali tampil di mimbar.

Anda benar, tak mudah memang menjalankan 3M yang sering anda ulang-ulang: mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai sekarang juga. Saya pernah mencoba dan tak bisa. Kini anda sendiri gagal menjalankannya. Anda tak bisa memulai dari diri sendiri karena anda sendiri tak menganjurkan orang lain berpoligami. Anda juga lupa bahwa kesenangan duniawi kerap mengerangkeng akal sehat dan menyilapkan ingatan terhadap zaman hidup susah, ketika nasib ada di bawah, seperti katamu.

Aa Gym, seperti katamu lagi, memang gampang merumuskan sebuah kebajikan tapi berat menjalankannya. Anda bukti paling sempurna untuk itu. Anda sering menganjurkan agar jangan menyakiti orang lain, jika tak ingin disakiti orang lain. Ketika anda meminta izin menikah lagi, istri anda terguncang dan meriang. Anak-anak marah dan kecewa. Perempuan mana sih yang mau cinta suaminya terbagi-bagi? Tindakan anda makin mengukuhkan kesimpulan para pengkritik Nabi Muhammad yang dituding menyebarkan ajaran tak memberi tempat pada perasaan perempuan. Tindakan anda itu mengguncang saya sebagai ayah dan suami. Saya khawatir anak saya mencerna salah tindakan anda itu.

O, ya, saya juga dipanggil Aa di rumah. Dua adik saya memanggil begitu, istri saya mengikuti. Ketenaran anda ikut mempopulerkan panggilan khas di keluarga-keluarga orang Sunda. Saya malu menyandang panggilan itu kini.

Saya doakan semoga berat badan anda pulih dan tak berjerawat lagi.

Sunday, July 16, 2006

ORANG-ORANG SAKIT

Lampung Post, 16 Juli 2006

Cerpen: Bagja Hidayat

IA duduk agak ke sudut: perempuan yang berteman dengan bayangannya sendiri. Perempuan yang selalu mengajak bayangannya sendiri bercakap-cakap. Ia selalu duduk di kursi itu mulai pukul 17.30, setiap Jumat. Ini pemandangan biasa sejak setahun terakhir. Pramusaji juga sudah paham, pada jam itu, secangkir kopi harus dihidangkan sebelum perempuan itu menjentikkan jarinya ke udara. Kopi yang tak terlalu manis. Gula jangan lebih dari seujung sendok.

Aku pengunjung baru di sini. Cerita tentang perempuan yang bercakap dengan bayangannya sendiri hanya kudengar dari mulut orang-ke-orang. Tentu saja cerita yang sudah dibumbui gosip dan rekayasa agar terdengar lebih dramatis dan meyakinkan. Kata orang, kopi di kedai ini akan meninggalkan magnet di lidahmu. Lidahmu akan tertarik kembali ke sana jika sekali saja kau mencicipi adonan kopinya yang khas dan pas. Aku akan menjajal magnet itu sore ini. Maka aku memesan kopi paling spesial.

Aku harus sepakat dengan pengunjung lain agar jangan brisik dan sekali-kali mengganggu perempuan itu. Juga jangan sampai ia tersenyum. Kau akan menyesal telah melihatnya tersenyum. Kau menyesal kapan lagi akan bisa melihat senyum yang ramah dan teduh.

Dulu, pasti sebelum satu tahun belakangan, ia seorang penyanyi. Ini cerita yang kudapat fragmen-fragmennya dari setiap pengunjung. Seorang penyanyi yang tak cukup terkenal di kota ini tapi memberi kesan bagi sesiapa yang pernah menonton dan mendengarkan lagu-lagunya. Ia tidak menyanyikan lagu-lagu yang umum, nyanyian yang dibawakan atau diciptakan penyanyi-penyanyi lain. Ia menyanyikan puisi-puisi. Ia memainkan sendiri gitar—kadang-kadang piano—dan bernyanyi melagukan syair-syair yang ia ciptakan sendiri atau memungut sajak penyair lain.

Ia selektif memilih puisi. Ia tak pernah menyanyikan puisi yang berisi marah dan teriak. Puisi-puisi demonstrasi tak masuk dalam daftar sajak yang ia nyanyikan. Bukan pula sajak cinta yang cengeng, platonis atau melankolis. Ia melagukan puisi-puisi cinta yang bersahaja. Puisi-puisi cinta yang tenang. Kata-kata yang tak garang. Bait-bait yang meninabobokan.

Selalu ada puisi baru yang ia nyanyikan. Para pengunjung pun belum pernah membaca puisi itu sebelumnya. Sebelum bernyanyi, perempuan itu akan menerangkan sedikit tentang puisi-puisi itu: diciptakannya sendiri atau dari seorang penyair yang hidup di negara yang jauh. Ia juga menerangkan bagaimana sebuah puisi berhasil ia temukan nada-nadanya. Para penonton jadi tahu bagaimana sebuah nada tercipta sehingga setiap ruh kata tetap tersimpan. Asosiasi bunyi tetap mendekam di setiap frasa dan kalimat. Ia mampu menghadirkan lirisnya puisi-puisi itu lewat nada-nada dan irama. Penonton juga bertambah paham bagaimana kesusahan yang ia temui dalam menemukan rangkaian nada-nada itu, membunyikan musik di belakang puisi-puisi itu.

Para pengunjung bercerita, mereka bisa betah duduk berlama-lama mendengarkan nyanyian puisi perempuan itu. Padahal mereka tak pernah menyukai acara pembacaan puisi, oleh para penyairnya sekalipun. Mereka tak menikmati puisi yang dibacakan. Pembacaan puisi justru memperkosa pengalaman mereka menyesap kata-kata dalam sebuah sajak. Puisi yang dibacakan kebanyakan gagal menyampaikan apa yang ingin disampaikannya.

Membaca puisi adalah pengalaman pribadi. Ekstase yang dinikmati sendiri. Ketika aku berkunjung ke sebuah pantai yang menyimpan jangkar abad lalu, aku merasakan Chairil Anwar sedang menuliskan larik-larik Senja di Pelabuhan Kecil di tempat aku duduk memandang ke lautan. Tapi ketika puisi itu dibacakan di sebuah panggung dalam sebuah acara yang kuhadiri, kata-kata yang dibacakan tak meruapkan bau pantai, tiang serta temali.

Barangkali itulah yang mengesankan bagi sesiapa yang pernah menontonnya bernyanyi. Perempuan itu mampu menghadirkan nyawa kata-kata dalam puisi lewat lagu-lagu. Para pengunjung mendengarkan dan menikmati. Mereka menikmati tafsir puisi lewat nada. Lagu-lagu perempuan itu telah berdiri sendiri bukan lagi sebagai sajak yang ditulis oleh pengalaman para penyairnya. Tapi sebagai lagu, sebagi musik.

Perempuan itu menolak mengalbumkan lagu-lagunya itu ketika seseorang menawari merekam suaranya dalam kaset atau cakram padat. Lalu dijual dengan kewajiban harus pentas ke beberapa kota. Ia memilih tetap bernyanyi di kedai itu dengan satu alasan agar orang mau datang menonton, tak perlu keluar duit ganda karena harus menonton dan membeli kaset lagu-lagunya.

Meski begitu, ia jadi cepat tenar. Berita seputar kemahirannya menyanyikan puisi cepat menyebar. Sesuatu yang tak ia harapkan, sebenarnya. Ketenaran, begitu ia pernah beralasan, candu dalam setiap penciptaan. Tapi, aku menerka, itu satu akibat yang tak bisa ditolak karena ia menyanyi begitu cakap. Bagi pemilik kedai ini, ia telah jadi iklan yang efektif. Orang-orang datang ke kedai, semula, untuk menonton perempuan itu menyanyi. Kemudian banyak yang jadi pelanggan tetap dan menghabiskan malam-malamnya di sini. Lidah mereka telah tersangkut magnet.

Orang-orang sepakat, musik-puisi telah menjadi obat bagi segala macam penyakit. Ada seorang insomnia bisa sembuh ketika mulai membiasakan mendengarkan lagu-lagu perempuan itu. Para tualang malam rela tidur di kedai sampai pagi. Mereka tak ingin menyia-nyiakan kesempatan bisa tidur tanpa dipaksa, tanpa obat, tanpa terapi.

Sebagian yang lain merasa tenang hati ketika mendengar perempuan itu menyanyi. Tak perlu melihatnya memainkan gitar di panggung kecil yang dibuat seadanya. Mereka hanya perlu mendengar nada-nada yang bisa mengusir kegundahan. Maka di kedai ini, yang muncul adalah suasana ayem dan damai. Seperti ada sebuah tenaga yang mengalir-menjalar ke setiap kepala dan jiwa para penonton ketika lagu-lagu mulai terdengar. Tenaga yang mampu menyingkirkan segala kegundahan dan keluh-resah. Para pengunjung tak perlu mengerti puisi-puisi itu. Mereka hanya perlu mendengar lalu menikmati setiap lagu tanpa harus tahu arti kata-kata sajak yang dinyanyikan perempuan itu.

Seorang pemarah berubah jadi pendiam dan ramah setelah agak lama jadi pengunjung kedai ini. Para pemarah telah menghentikan terapi mengendalikan emosi ke klinik-klinik langganan mereka. Seseorang lain bercerita, para pemuda yang patah hati tak perlu berlama-lama mengutuki diri dan bisa menepiskan cinta-cinta fana.

Tapi itu sudah berlalu. Kini para pengunjung datang ke kedai bukan untuk melihat perempuan itu bernyanyi. Panggung kecil yang dibuat seadanya itu juga sudah dirombak jadi tempat lain: diisi bangku dan meja baru. Tudung piano dibiarkan menutup dan berdebu. Perempuan itu sendiri memilih duduk di sudut yang tak terlalu terang, tapi cukup cahaya sehingga bayangannya jatuh persis di mejanya. Para pengunjung datang ke sini untuk melihatnya duduk dan bercakap dengan bayangannya sendiri. Seperti aku.

Ia bercakap tanpa suara. Kadang-kadang menggeleng-gelengkan kepala. Kami tak pernah tahu apa yang sedang mereka (ia dan bayangannya) cakapkan. Seorang pengunjung membisikkan (percakapan antar pengunjung selalu dilakukan berbisik-bisik karena takut mengganggu perempuan itu) sebuah puisi yang menceritakan sesuatu yang sedang dilakukannya yang pernah ia nyanyikan :

aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di
antara kami yang harus berjalan di depan*)


Benar juga. Apakah ia sedang bertengkar dengan bayangannya sendiri tentang, misalnya, apakah bayangannya mengklaim tubuh perempuan itu bayangannya juga. Mereka tak tahu harus bersyukur atau bersedih dengan perilakunya itu. Mereka sedih karena bayangan selamanya tak bisa bercakap. Mereka bersyukur karena perempuan itu sudah menemukan teman setianya. Maka yang bisa mereka lakukan hanya menonton percakapan perempuan dengan bayangannya sendiri.

Setelah agak lama mengamati, muncul penilaianku: sesungguhnya ia perempuan yang cantik. Meski parasnya tanpa teriakan-teriakan rias, tapi di mataku memancarkan keteduhan dan ketenangan. Mungkin bukan keduanya yang terpancar dari wajahnya. Sesuatu yang entah apa, tapi aku bisa menikmatinya. Mungkin wajah yang menarik. Mungkin. Aku kini setuju, jangan pernah membuatnya tersenyum.

Karena itu selain menonton percakapan perempuan dengan bayangannya, jika nanti aku datang lagi ke sini alasannya sudah bertambah : aku datang untuk menikmati wajahnya juga. Aku telah tertarik oleh keberadaannya: wajahnya, postur tubuhnya, gerak-geriknya. Dan, tentu saja, menebak-nebak apa gerangan yang bersarang dalam kepalanya? Apa yang dipikirkannya?

Selain bercakap ia juga menuliskan sesuatu di secarik kertas lalu menunjukkan pada bayangan di depannya. Seorang pramusaji pernah mengintip apa yang tertulis di atas kertas tisu itu.

Sebuah puisi, bisiknya ke setiap pengunjung. Sebuah puisi, bisik pengunjung itu ke pengunjung yang lain.

Sebuah petisi, samar-samar aku mendengar.

Seseorang yang lain pernah meminta sobekan tisu yang telah ditulisinya, namun, seperti biasa, cuma sekulum senyum yang lembut dan teduh yang ia berikan. Setelah itu tak pernah ada lagi yang berani mendekatinya. Seseorang yang berdekatan dengan perempuan itu, ya, pramusaji kedai ini saja. Pengunjung lain hanya bisa melihat perempuan itu dari kursinya masing-masing.

Tak jarang juga ia hanya duduk termangu di sana. Ia biarkan bayangannya sendiri jatuh diam di meja. Ia duduk melamun di sana. Sesekali tangannya menopang dagu lalu memegang kepala dengan dua tangannya. Atau menempelkan kening ke sisi meja. Tapi, apapun yang dilakukannya, ia tetap saja tak beranjak dari sekitar tempat duduknya.

Sebuah cerita hinggap di telingaku bahwa tabiatnya bercakap dengan bayangannya sendiri mulai dilakukannya setelah seseorang yang tak dikenal mencuri suaranya, setahun lalu. Seseorang pengunjung kedai ini. Pencuri itu menyamar sebagai penonton lalu mengambil suara perempuan itu diam-diam ketika perempuan itu lengah karena lelah sehabis menyanyi.

Berhari-hari kemudian polisi menyergap si pencuri suara itu. Tapi para polisi tak menemukan pita suara perempuan itu. Dari interogasi yang lama, polisi memberitahu pita itu telah diberikan si pencuri kepada kekasihnya sebagai kado ulang tahun. Pencuri itu mengaku nekat mencuri pita suara perempuan itu karena kecintaan pada kekasihnya yang menginginkan suara perempuan itu setelah si pencuri bercerita telah terpesona oleh suara perempuan di sebuah kedai setiap akhir pekan.

Si pencuri mengaku tak tahu keberadaan kekasihnya. Setelah ia menyerahkan pita suara dalam kado yang dibungkus dan diikat pita merah, kekasihnya tak pernah muncul kembali. Para pengunjung kedai hanya bisa geram mendengar laporan para polisi.

Mereka pernah berinisiatif membuat iklan yang dimuat koran atau ditempel di setiap sudut jalan. Iklan tentang pencarian pita suara milik perempuan yang menyanyikan puisi-puisi cinta bersahaja. Iklan itu memuat ciri-ciri dan foto kekasih pencuri itu.

Hadiahnya adalah minum kopi gratis seminggu di kedai ini. Tapi tak satupun orang yang berhasil menemukan kekasih pencuri itu dan membawa kembali pita suara perempuan itu ke sini. Para pengunjung kedai sudah habis asa bisa kembali mendengar suara merdu milik perempuan yang menyanyikan puisi-puisi syahdu.

Para pengunjung akhirnya tahu kebenaran penolakan perempuan itu ketika ditawari rekaman. Ketenaran bisa mengancam sesuatu yang dikagumi orang. Para penggemar ingin memiliki dan bersatu dengan sesuatu yang digemarinya. Para pengunjung menyesal telah menyebarkan kecakapan perempuan itu menyanyi. Padahal, perempuan itu sendiri tak pernah meminta kemahirannya disebarkan.

Maka para insomnia kumat lagi. Banyak orang kembali jadi pemarah. Para pemuda tak punya obat ketika patah hati. Orang-orang kembali sakit.

Sebuah cerita yang absurd!

Aku bangkit. Kandung kemihku sudah penuh. Toilet ada di sudut sana. Siapapun yang akan kencing harus melewati meja perempuan itu.

Aku berjalan pelan, setengah mengendap. Mataku tak lepas menatapnya hingga tiba persis di sampingnya. Tanpa kuduga ia menoleh. Aku terkesiap. Rautnya setenang telaga.

Hallo, ia tersenyum.

Aku tertegun, lupa hendak ke toilet.

[2005]

*) dari puisi Sapardi Djoko Damono, Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari.

Monday, July 10, 2006

PENALTI

Sepakbola berduka. Italia menjadi juara Piala Dunia dengan menyingkirkan Prancis lewat adu penalti. 5-4 untuk pasukan Marcello Lippi. Prancis menangis karena mereka kurang beruntung. David Trezeguet sedang sial hingga bola yang ditendangnya membentur mistar.

Sepakbola berduka. Dari sudut manapun tak ada nilai bagus untuk permainan Italia. Tim ini hanya mampu bertahan. Karena itu pemain terbaik Italia adalah Gianluca Buffon, kiper tangguh itu. Bagi Buffon lebar gawang masih terlalu sempit untuk ia amankan. Sepanjang Piala Dunia 2006 di Jerman, gawangnya tak sekalipun bobol. Dua bola bersarang di jaringnya oleh gol bunuh diri dan tendangan penalti Zainuddin Zidane.

Italia harusnya sudah pulang sejak melawan Australia di babak perdelapan. Pasukan Guus Hiddink jauh lebih baik permainannya dibanding Cannavaro dan kawan-kawannya. Mark Viduka dan Tim Cahill harus pulang karena wasit memberi hadiah penalti kepada Italia untuk kesalahan yang tak dibuat bek mereka di menit 92. Grosso sukses mengelabui mata wasit dengan pura-pura jatuh dan kesakitan.

Capello, bekas pelatih kkub Juventus itu, tak urung meradang. Ia menyebut diving sejenis dosa besar dalam sepakbola. Diving, barangkali, seperti fitnah, sebuah dosa tidak langsung yang menyebabkan orang lain celaka. Pemain yang berpura-pura jatuh dan mengerang di kotak penalti itu bukan meminta dikasihani wasit, tapi ingin agar orang lain dihukum, agar orang lain celaka oleh dosa yang tak diperbuatnya. Pemain yang doyan diving, mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Kepura-puraan, bagaimanapun, telah mencoreng fair-play.

Dalam partai final di stadion Berlin itu, Italia kembali ke permainan aslinya: bertahan sepanjang waktu. Prancis, dengan pasukan tuanya, terus menggempur. Mereka menghibur. Inilah inti permainan sepakbola. Di lapangan bukan soal kemenangan itu yang penting, tapi kepiawaian bermain. Johan Cryuff akan menangis setiap melihat permainan Italia. Dialah yang mempelopori total-football, sejenis postmodernisme dalam sepakbola di tahun 1966. Apapun strateginya, sepakbola akan enak dilihat jika pemain saling menyerang, meski bukan gol itu yang utama. Karena itu Belanda selalu menjadi tim juara tanpa piala. Mereka mempertontonkan permainan yang asyik kendati tak pernah bisa mencapai partai final.

Cattenacio benar-benar dilaksanakan dengan baik oleh Cannavaro dan sepuluh pemain Italia lainnya, 9 Juli kemarin. Hasilnya, Prancis bisa dipaksa beradu untung lewat adu penalti. Mereka tahu Barthez, kiper Prancis itu, tak lagi lincah seperti tahun 1998 ketika mereka menang 3-0 melawan Brasil. Barthez selalu kalah cepat dari bola yang bisa ia baca arahnya. Buffon--seperkasa apapun dia--takluk oleh adu penalti. Ia selalu salah membaca arah bola. Seandainya bola Trezeguet tak melambung hasil akhir penalti masih sama.

FIFA harus segera menghapus adu tendangan penalti untuk menentukan pemenang setelah 120 menit. FIFA harus kembali kepada kebijakan lama, ke pusaran waktu 14 abad yang lalu. Pauckakowohog dimainkan berhari-hari oleh 1.000 orang di padang-padang Indian jika skor masih imbang. Tak ada adu penalti. Pemenang harus muncul dengan fair, meskipun lawan kalah karena kelelahan. Tapi itulah permainan: tenaga juga dipertandingkan.

Sebaliknya bagi orang-orang suku Gahuku-Gama di Papua. Dari laporan ahli strukturalis Prancis, Jean-Claude Levi Strauss, kita tahu permainan bola dimainkan oleh orang Gahuku juga berhari-hari. Mereka terus bermain justru agar skor tetap imbang. Permainan bola adalah ritual, karena itu tak boleh ada yang kalah. Permainan semacam ini pun, tak mengenal adu penalti. Mengalahkan lawan itu perlu, tapi menerima kehebatan lawan jauh lebih penting.

Di Indonesia, hingga 1930, tendangan 12 langkah itu masih tabu dan dianggap tidak sopan. Para pemain akan dengan sengaja menendang ke arah samping gawang atau memelankannya jika menendang bola dari titik putih. Para algojo akan dikutuk sebagai orang tak tahu adat jika sukses menunaikan tugasnya dengan menyarangkan bola ke jaring kiper lawan.

Sejarah, karena itu, memang seringkali terasa bijak. Kini ketika sepakbola tak lagi brutal--seperti di Eropa abad 8--wasit gemar sekali menghukum pemain dengan kartu kuning dan merah. Selama Piala Dunia di Jerman sekurangnya 400 kartu dipakai wasit menghukum pemain yang dianggap melanggar peraturan.

Dunia yang modern semakin ganjil. Penalti dipakai untuk menentukan kemenangan. Efeknya, sesungguhnya, jauh lebih brutal. Bola memang bundar, tapi jika strategi permainan yang hebat harus pupus oleh tendangan penalti, bukankah bisa mengakibatkan orang jadi gila? Penalti, karena itu, cukup diberikan wasit untuk mengganjar mereka yang berbuat dosa: melakukan pelanggaran di dalam kotak penalti. Selain itu, silahkan membuat gol dengan susah payah, dengan strategi, karena di sana nilai utama permainan ini.

Kemenangan menjadi tidak elegan karena adu penalti hanya soal keberentungan. "Di kotak penalti, segalanya jadi tak berarti," pantas saja jika Jacques Derrida--filsuf Prancis itu--sudah lama mengecam adu penalti.

Argentina pun harus pulang karena tendangan Ayala dan Cambiosso bisa dibendung kiper Jens Lehmann. Padahal mereka bermain lebih baik 120 menit sebelumnya ketimbang tim Jerman yang gugup dan berangasan. Seharusnya Prancis dan Italia melanjutkan permainan keesokan harinya begitu skor masih imbang. Mereka bisa beradu strategi dan taktik lagi untuk menjadi pemenang.

Adu tendangan penalti, sekali lagi, harus dihilangkan. Piala Dunia 2006 memberi bukti tim-tim yang baik dan tangguh harus pulang karena sedang tak beruntung. Sepakbola telah kehilangan tujuan dan manfaat purba yang ingin disuguhkannya: hiburan massal. Italia menjadi juara sungguh bukan tontonan yang menghibur.

Monday, June 12, 2006

BATAS

Albert Camus pernah bilang dirinya berutang kepada sepakbola karena permainan ini mempertontonkan soal moral dan tanggungjawab--dua topik kajian utama filsafat. Dalam Piala Dunia, tanggungjawab itu bertolak dari nasionalisme. Bagaimana Didier Drogba kecewa dan marah karena Pantai Gading keok 1-2 dari Argentina. Salah satu penyarang gol Argentina dalah Hernan Crespo, seorang yang bersama Drogba bekerjasama membuat gol jika membela klub Chelsa. Dengan begitu moral bisa dibagi-bagi.

Sepakbola telah melintasi batas-batas geografi. Para pemain saling bertarung dengan kawan mereka di klub, tempat mereka merumput uang dan jadi kayaraya. Karena itu, mungkin, kejuaraan ini tak diberi nama. Hanya Piala Dunia. Piala apa dan dunia apa tak mendapat penjelasan yang cukup dari dua kata ini. Tetapi orang akan tahu jika dua kata ini disandingkan yang melintas bukan lagi pokok yang lain, tapi bola. Seolah inilah olahraga yang tak menuntut spesialisasi penyebutan. Ini olahraga milik kita semua.

Seorang wartawan Koran Tempo yang meliput ke Jerman kerepotan harus menjelaskan asal muasalnya ketika polisi heran ada orang Indonesia datang jauh-jauh ke Jerman hanya untuk meliput kejuaraan di mana negaranya tak ikut serta. Di manakah nasionalisme?

Barangkali hanya ada di sepatu para pemain yang berlaga di sana saja. Kita, di sini, toh bisa juga menjagokan Belanda atau Australia atau Amerika. Kita rela begadang hanya untuk melihat tim "kita" itu menekuk lawan-lawannya. Kita juga sudah tak peduli, bukan, kenapa Indonesia tak kunjung bisa mengirim sebelas orang ke setiap kejuraan ini. Ah, pertanyaan yang sudah klise! Mungkin karena kita tak kenal dengan olahraga ini. Masih untung ada kumpeni. Tapi, begitulah, sepakbola di Indonesia datang bukan oleh keinginan orang bermain dan menjadi bugar. Tapi politik. PSSI itu adalah organisasi politik. Jadi jangan berharap ada Indonesia dalam Piala Dunia.

Permainan bola sepak, konon, milik Eropa dan Amerika Latin. Bagaimana bisa? Olahraga ini pertama kali lahir di Cina pada tahun 2 sebelum masehi. Eropa mencurinya puluhan abad kemudian. Eropa tahu banyak dunia Timur menyimpan cikal bakal tapi tak pernah digarap serius. Merekalah yang mengembangkannya hingga sepakbola bukan lagi soal kemenangan. Johan Cruyff yang menemukan total-football mengatakan, dalam sepakbola kemenangan tak lagi penting, yang utama adalah keindahan. Pendeknya sepakbola telah menjadi bagian dari seni.

Bukankah, olahraga secara harafiah juga adalah sebuah proses: mengolah raga, mengolah jiwa. Eropa terlalu banyak mencuri hal ihwal dan tampil gemilang dengan itu. Dari agama, ilmu pengetahuan, filsafat, budaya, semuanya diolah dari Timur. Kita saja yang tak menyadarinya, lalu terpesona dengan tindak-tanduk orang yang ada di sebelah barat itu.

Geografi, bukankah dengan begitu, menjadi penting? Awalnya ya. Lalu kapitalisme mengaburkannya, dalam pelbagai segi, kini dengan Internet. Jika negara adalah semacam proyek bersama, nasionalisme yang membungkusnya toh menjadi abstrak, hadir hanya dalam kepala setiap orang yang hidup dalam batas itu. Dalam sepakbola, "batas" itu kian hilang.

Siapa tahu, sepakbola di tahun 3000 tak lagi medan pertempuran tim antar negara, tapi tim yang disewa negara. Negara sebagai sebuah teritori hanya hadir sebagai nama. Kita akan menyaksikan generasi Drogba atau Crespo tampil atasnama Indonesia, suatu waktu, jika kita sudah punya uang banyak. Tentu saja ini impian dari seseorang yang seumur-umur hanya menjagokan tim dari Belanda. Mimpi toh boleh saja, bukan? Mimpi dari tidur yang sebentar ini.

Tuesday, June 06, 2006

KEPALA BAYI

BARANGKALI Tuhan bersemayam dalam setiap kepala bayi. Saya makin percaya Tuhan itu ada, hadir bersama manusia, karena ciptaannya begini sempurna.

Setiap hari ada saja keajaiban pada bayi. Mikail, misalnya, yang baru berumur 23 bulan, setiap akan tidur pasti bercerita apa yang dilakukannya sepanjang hari ini. Ia bisa bercerita dengan detail, terutama, reportase soal jenis-jenis mobil lengkap dengan aksesorisnya. Ia bisa tahu lebih banyak elemen mobil dibanding nenek yang menjaganya. Bukan hanya menyebut nama tetapi ia bisa menunjukkannya ketika saya minta. Saya masih menebak-nebak darimana ia tahu semua itu.

Dia mungkin menyerap hal ihwal terlalu banyak. Ketika saya ngobrol dalam bahasa Sunda dengan ibu saya ia ingat kata-kata lucu, yang baru ia dengar, yang saya ucapkan. Jika keisengannya muncul, seperti mengail benda-benda kecil di meja sambil lewat, saya marah dalam bahasa Sunda. Bukannya takut dia malah tertawa sambil menirukan omongan saya. Ah...

"Mika ngapain aja sehari ini?"
"Lihat mobin."
"Mobil apa aja ya?"
"Ada taksi, kijang, APV, jip, truk, sedan, sama mobin diselimutin."
"Wah, kenapa mobilnya diselimutin?"
"Kedinginan. Mobinnya bobo. Ada antenenya."
"Ada berapa antenenya ya?"
"Ada banyak."
"Coba hitung."
"Satu, dua, tiga, enam, tujuh..."
"Empat, limanya kelewat."
"Kapnya kebuka."
"Kenapa kapnya kebuka?"
"Mogok."

Mikail juga sudah hapal surat Al-Fatihah, doa makan, dan doa tidur. Ia selalu bilang alhamdulillah setiap kali habis menyedot susu dari botolnya. Ia ingat rute mencapai rumah kakeknya di Bandarlampung. Pertama-tama naik angkot, trus bus, trus berenang dulu, trus naik becak. Yang bikin kaget, ingatannya sampai jauh ke tahun yang lampau ketika ia mudik lebaran sewaktu umurnya baru setahun dua bulan.

"Mika, abah (kakek) ke mana ya?"
"Ke Kuningan."
"Mika mau ke Kuningan lagi?"
"Mau."
"Naik apa kalau ke Kuningan."
"Keneta."
"Di Kuningan ngapainnya ya waktu itu?"
"Naik bombom kan (car)."
"Sama siapa?"
"Sama siapa ya?"
"Sama Mih Ii. Mika inget gak sama Mih Ii?"
"Inget sih."

Biasanya saya rekam dialog-dialog lucu seperti ini. Tetapi ngobrol apapun akan terputus jika ia dengar jinggle sebuah iklan anak-anak atau iklan mobil. Dia suka nonton iklan di televisi dan hapal detail jingle, musik atau ucapan para bintangnya.

Tentu saja ia sedang menyusun konsep-konsep. Saya tidak tahu bagaimana ia membayangkan hutan Amazon yang punya tebing tinggiiiii sekali seperti diucapkan seorang anak dalam sebuah iklan susu. Baiknya saya biarkan saja imajinasinya yang bekerja merumuskan apa itu hutan, Amazon, dan tebing yang tinggi.

Saya sudah lupa bagaimana ketika menjadi anak-anak seumuran dia. Apa yang diserap apa yang ingin diketahui apa yang harus dilakukan. Saya hanya tahu dari cerita ibu atau bapak. Mungkin keajaiban juga bagaimana bertumbuh, karena Tuhan ada di sana. Ah, kenapa ingatan punya batas tertentu. Jika suatu hari Mikail membaca-baca tulisan-tulisan tentang dirinya, mudah-mudahan ia masih ingat.


Friday, June 02, 2006

PANCASILA

Indonesia selalu berada dalam persimpangan jalan yang tak mudah. Di manakah Pancasila?

Saya sudah lama tak mendengar lima sila itu dibacakan dengan takjub, lewat upacara bendera setiap hari Senin. Kita mungkin sudah lama lupa 36 butir yang dulu hapal dalam kepala sebagai syarat kelulusan anggota Pramuka atau mata kuliah Kewiraan. Pancasila surut sejak delapan tahun yang lampau.

Pancasila lahir, 61 tahun yang lalu, dalam sebuah masa yang rusuh oleh ide-ide besar. Sosialisme, kapitalisme, ah, semuanya tak berhasil membuat dunia tentram dan nyaman, di manakah Pancasila kita itu? Bung Karno bilang Pancasila digali seperti ubi, bukan wahyu yang datang dari langit untuk kita, begitu saja. Pancasila adalah sebuah simpul dari sejarah panjang Nusantara.

Agaknya orang kini semakin tak percaya akan kesakralan itu. Di setiap sudut orang menyuarakan ide-ide yang lain berbekal agama dengan semangat yang lebih purba. Politik identitas yang dulu amat dihindari dan ditakuti kini hadir seutuh-utuhnya di depan kita dan jadi bahan obrolan yang sedap di warung kopi. Apakah ini buah dari desakralisasi Pancasila yang digelorakan secara sembunyi-sembunyi oleh kita yang kini kembali mengkhawatirkan Indonesia yang seragam?

Sebuah persimpangan yang tak mudah, bukan? Ketika Pancasila masih sakral, dulu, setiap suara yang berbeda dibungkam dengan senapan. Kini ketika Pancasila sudah kehilangan pamornya, setiap suara yang berbeda dikeroyok sampai bonyok. Kita bertengkar terus oleh setiap perbedaan yang tak mungkin dihapus.

Presiden Ahmadinejad dan Abdullah Badawi bilang Indonesia akan menjadi bangsa yang besar seandainya bersatu, seluruh dunia akan takut kepada Indonesia. Bayangkan, ada 17 ribu pulau yang terserak, ribuan bahasa, ratusan juta orang. Ah, betapa klisenya pernyataan ini. Tetapi ketika orang lain yang mengucapkannya, ada terasa yang mengiris di dalam dada kita. Seandainya kita bisa.

Barangkali karena akan menakutkan itu kita tak boleh bersatu. Kita akan bertengkar terus hingga turun Imam Mahdi. Sepanjangan itukah? Mungkin. Kita sering putus asa mencintai Indonesia kita ini.

Seorang teman menghardik karena saya tak ikut menyanyi Indonesia Raya. Dia lalu bercerita bisa menangis ketika mendengar lagu ini dinyanyikan karena seorang pemain bulutangkis menang dalam pertandingan Olimpiade di Yunani atau di Cina atau di manapun di luar Indonesia. Saya mengangguk. Indonesia, sebagai kampung halaman, sebagai tanah tumpah darah, memang mengharukan jika kita terentang jarak. Itulah kenapa banyak orang yang berhasil menulis Indonesia jika sudah ada di luar. Di dalam sini, kita melihat benang kusut.

Itulah, mungkin, kenapa Iwan Fals sekarang tak bisa menulis lagu seperti dulu, semacam Celoteh Camar Tolol atau Tikur-tikur Kantor. Padahal persoalan pun toh sama juga. Album Manusia Setengah Dewa yang salah satunya untuk presiden liriknya sudah mengawang-awang. Jika menulis tentang cinta, temanya sudah basi. Barangkali, kata seseorang, Iwan sudah tak turun lapangan lagi. Hidupnya sudah enak, jarang "berkeliaran" lagi seperti dulu.

Indonesia sekarang semakin rumit, kian banyak persimpangan yang harus dipilih.

Monday, May 29, 2006

DIGILAS INNOVA

Bagaimana rasanya punya mobil? Saya belum pernah merasakannya hingga detik ini. Barangkali karena itu saya tak kunjung bisa paham kenapa orang yang duduk di dalam besi bermerek Innova seharga Rp 200 juta itu menggilas sepeda motor saya. Di perempatan Kalibata-Mampang yang sempit saya tak menyangka itu terjadi di Senin pagi.

Senin selalu menjadi hari yang aneh. Kita sibuk di hari itu, tapi sibuk untuk dan oleh apa kita sering gagal menemukannya. Dan di jalanan, aura Senin itu selalu menjalar lewat raung klakson, jerit kanvas rem, atau deru campur debu. Tapi kita tidak tahu untuk apa kita buru-buru. Ah, ini Senin!

Dan Innova itu melaju pelan dari seberang kiri. Ia mobil ketiga di antrian setelah BMW dan entah jenis mobil apalagi. Dua mobil pertama mulus melewati deretan sepeda motor yang berjejer menunggu lampu hijau. Jalan dua jalur itu harus dibagi karena toh kita sama-sama bayar pajak. Tetapi Innova itu tidak.

Dia melaju mepet ke arah pengendara motor. Ban depannya merangsek ke arah sepeda motor yang pengendaranya terkedut menyelamat diri. Tiga motor berhasil dihajar. Orang di belakang tak peduli. Mungkin karena lampu keburu menyala hijau, atau karena "itu bukan motor saya yang kena."

Setadinya saya menyangka jalanan memang terlalu sempit. Saya segera tahu bukan itu masalahnya. Sebelah kiri masih jauh lebih lebar untuk menghindari ban depan tak menyentuh knalpot motor-motor ini. BMW dan mobil entah apa lagi buktinya bisa lewat dengan mulus. Saya lihat si pengendara beraksi dengan telepon selulernya sambil mengintip kaca spion. Jelas ini perbuatan sangat disengaja.

Ia mungkin sudah jengkel dengan para pengendara motor, meskipun hari masih pagi dan rambut baru dicuci. Jalanan Jakarta punya hirarkinya sendiri. Kami, para pengendara sepeda yang renyek ini, kerap dibuat jengkel oleh ulah sopir-sopir metromini atau mikrolet yang berhenti dan belok tak memberi aba-aba. Kami dibenci oleh para sopir dan mobil pribadi yang terkena deru tanpa debu itu, karena sering menyalip dan menyelinap di sela-sela deretan mereka. Mobil tersenggol atau bocel tentu hanya akan menambah deru sedu sedan itu.

Rasanya dua tahun pakai sepeda mesin di Jakarta, saya pengendara yang baik. Tak pernah menyerobot lampu merah yang sedang menyala, merampas hak pejalan di trotoar, tak pernah melaju lebih dari 60 km/jam, menyalip dari kiri atau menyalakan lampu sen jika akan belok. Tapi kenapa Innova itu menggilas sepeda saya? Pada akhirnya saya adalah bagian dari jumlah yang renyek itu. Orang-orang yang berada di dalam kotak besi seharga ratusan juta itu tetap jengkel kepada jumlah yang sering mencemaskan mereka.

Jalanan sempit? Orang Jakarta yang 24 jam berpeluh dengan polusinya tentu sudah paham.

Seorang teman baru pulang dari Berlin. Dia harus menulis Jerman menjelang Piala Dunia setiap hari. Untuk itu ia membutuhkan peta agar tulisan bisa lebih runut ketika mengabarkan sebuah rute. Saya lihat peta itu isinya jalanan semua. Ruwet. Karena itu Berlin tidak macet, katanya. Jalan banyak, orangnya sedikit. Jakarta tentu saja sebaliknya. Siang hari Jakarta dihuni 13 juta kepala. 3-4 juta datang bersamaan setiap jam 7 pagi atau keluar berbarengan tiap jam 5 atau jam 19 dari dan ke daerah pinggiran Jakarta.

Pada akhirnya Jakarta sama dengan kota besar lainnya di dunia: serupa monster yang menelan para pedatang seperti tergambar dalam salah satu cerita Umar Kayam. Hanya lebih tak masuk akal. Menelan kita. Tanpa ampun. Saya harus paham, tidak boleh tidak, kenapa Innova itu menggilas tiga buah sepeda dengan dingin sambil bertelepon.

Monday, May 15, 2006

SURAT PRESIDEN AHMADINEJAD KEPADA PRESIDEN BUSH

Tuan George. W. Bush Presiden Amerika Serikat,

Dalam beberapa waktu Saya sempat berpikir, bagaimana bisa kontradiksi yang tidak dapat diingkari dalam kancah dunia internasional ini, di mana masyarakat dan pada khususnya di kalangan politik dan mahasiswa, dapat di benarkan. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan tentang hal ini yang tak terjawab. Karena itu saya kemudian memutuskan agar sebagian dari kontradiksi dan pertanyaan-pertanyaan itu bisa saya tanyakan. Mungkin akan ada kesempatan untuk membenarkan masalah tersebut.

Apakah bisa; pengikut Nabi Isa A.S. sebagai salah satu Nabi besar ilahi dapat berpegang teguh dengan hak-hak asasi manusia dengan menjadikan Liberalisme sebagai model peradaban dengan memperluas persenjataan nuklir dan pembunuhan massal untuk menunjukkan ketidaksetujuannya dan menjadikan peperangan melawan terorisme sebagai slogannya?

Pada akhirnya, untuk membentuk masyarakat yang satu dan universal tetap harus diusahakan. Sebuah masyarakat yang akan diperintah oleh Nabi Isa A.S.dan orang-orang baik di muka bumi.

Namun pada saat yang sama; Negara-negara diserang. Jiwa, kehormatan, keberadaan orang-orang dan nilai-nilai kemudian runtuh. Sebagai contoh, hanya dikarenakan adanya sebuah kemungkinan keberadaan beberapa orang pelaku kriminal di sebuah desa, kota atau bersama sebuah iring-iringan, seluruh desa, kota dan iring-iringan harus dibabat habis.

Atau dengan kemungkinan keberadaan senjata pemusnah massal di sebuah negeri lalu negeri tersebut dikuasai?Sekitar ratusan ribu masyarakat negara itu harus tewas. Sumber-sumber air, pertanian dan industri rusak dan sekitar 180.000 pasukan militer tinggal di sana.

Kehormatan yang dimiliki oleh rumah-rumah masyarakattelah dihancurkan dan mungkin sekitar lebih dari 50 tahun sebuah negara menjadi terkebelakang. Dengan anggaran belanja seperti apa? Dengan menghabiskan miliaran dolar dari harta kekayaan sebuah negara dan sebagian negara yang lain atau dengan mengirimkan puluhan ribu pemuda sebagai pasukan penyerang. Meletakkan mereka di tempat pembunuhan serta menjauhkan mereka dari keluarganya, mengotori tangan mereka dengan darah orang lain, menekan jiwa mereka sehingga setiap hari sejumlah dari mereka melakukan tindakan bunuh diri. Ketika mereka kembali ke negara mereka masing-masing tersiksa dan tertekan di sertai dengan penyakit yang beragam. Sebagian lainnya telah terbunuh dan jenazah mereka telah diterima oleh keluarga mereka.

Hanya dengan alasan adanya senjata pemusnah massal, sebuah tragedi besar telah tercipta baik untuk masyarakat yang negaranya dijajah atau penjajah. Sementara pada akhirnya jelas bahwa senjata pemusnah massal tidak pernah ada.

Namun tetap saja bahwa Saddam Husein adalah seorang diktator dan pembunuh. Namun tujuan peperangan yang dilakukan bukan untuk menumbangkannya tapi usaha untuk menemukan senjata pembunuh massal yang sudah diumumkan sebelumnya. Saddam dalam rangkaian ini telah tumbang. Masyarakat sekitarnya merasa senang dengan tumbangnya Saddam. Pada peperangan yang dipaksakan kepada Iran, Saddam di bantu dan dibela oleh Barat.

Tuan Presiden,

Mungkin Anda telah tahu bahwa saya hanya seorang dosen. Mahasiswa saya sering mempertanyakan bagaimana aksi-aksi yang ada ini disesuaikan dengan nilai-nilai yang telah disampaikan di awal surat saya dengan agama Nabi Isa A.S. seorang Nabi perdamaian dan kasih sayang?

Mereka yang tertuduh dan dipenjara Guantanamo yang tidak bakal diadili secara adil, tidak memiliki akses untuk mendapat pembelaan dari seorang pengacara. Keluarga mereka tidak diperkenankan untuk melihat mereka dan di luar dari negaranya sendiri diisolir sementara tidak ada pengawasan internasional untuk mereka. Tidak jelas posisi mereka; apakah mereka adalah dipenjara, tawanan perang, tertuduh ataukah orang-orang yang telah dihukum?

Para pengawas Uni Eropa mengakui adanya penjara-penjara misterius di Eropa. Saya tidak dapat menerima penculikan dan penahanan orang-orang di penjara-penjara misterius itu tanpa adanya sebuah sistem peradilan yang berlaku di dunia. Dan saya tidak pernah mengerti bagaimana aksi-aksi yang telah dilakukan sesuai dengan nilai-nilai yang telah saya sebutkan di atas. Dengan ajaran-ajaran Nabi Isa A.S. ataukah hak-hak asasi manusia ataukah dengan nilai-nilai Liberalisme?

Para pemuda, mahasiswa dan masyarakat banyak mempertanyakan tentang fenomena bernama Israel. Pasti sebagian dari pertanyaan-pertanyaan itu telah Anda dengar. Dalam sejarah tercatat banyak negara yang telah dijajah. Namun salah satu fenomena kontemporer masa kita adalah sebuah pembentukan negara baru dengan masyarakat yang baru pula.

Para mahasiswa berkata, 60 tahun yang lalu tidak pernah ada negara dengan nama ini. Dokumen-dokumen dan peta geografi dunia yang ama ditunjukkan oleh mereka sambil berkata, kami telah berusaha sedemikian rupa mencarinya namun kami tidak menemukan sebuah negara yang bernama Israel.

Saya terpaksa menuntun mereka agar mempelajari lagi tentang perang dunia pertama dan kedua. Sekali waktu seorang mahasiswa berkata, pada perang dunia kedua puluhan juta manusia tewas. Berita-berita perang dengan cepat disebarkan dari kedua belah pihak yang berperang. Masing-masing memberitakan kemenangannya dan kekalahan lawan. Setelah perang dunia kedua selesai mereka mengklaim bahwa ada enam juta orang Yahudi tewas. Enam juta orang yang sekurang-kurangnya dari dua juta kepala keluarga.

Kita andaikan saja bahwa berita ini benar. Apakah kesimpulan logisnya adalah pembentukan sebuah negara Israel di kawasan Timur Tengah dan atau membela mereka habis-habisan? Bagaimana menganalisa dan menginterpretasikan fenomena semacam ini?

Tuan Presiden,

Anda pasti telah mengetahui dengan anggaran belanja dan pesan-pesan yang seperti apa sehingga Israel terbentuk; Dengan terbantainya ribuan jiwa. Dengan mengungsikan jutaan jiwa penduduk asli kawasan. Dengan penghancuran ratusan ribu hektar sawah, kebun zaitun dan penghancuran kota-kota dan tanah-tanah subur.Tragedi ini tidak hanya terbatas pada masa pembentukan saja. Sangat disayangkan selama 60 tahun hal ini berjalan dan akan terus berlanjut.

Rezim yang dibentuk ini bahkan tidak memiliki rasa belas kasihan terhadap anak-anak. Rumah-rumah dihancurkan, rencana teror tokoh-tokoh Palestina dengan terlebih dahulu mengumumkannya serta memenjarakan ribuan orang-orang Palestina. Fenomena ini pada abad-abad terakhir bila tidak dikatakan sulit dicari tandingannya maka tentunya tidak ada bandingannya.

Pertanyaan besar lainnya dari kebanyakan masyarakat adalah ini. Mengapa rezim yang seperti ini masih harus dibela? Apakah pembelaan rezim yang semacam ini merupakan salah satu ajaran Nabi Isa A.S. atau sesuai dengan nilai-nilai Liberalisme?

Dan apakah memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri di tanah Palestina kepada pemilik aslinya baik yang tinggal di Palestina maupun di luar dan baik mereka itu Islam, Yahudi dan atau Kristen, bertentangan dengan demokrasi, hak-hak asasi manusia dan ajaran-ajaran para Nabi?

Bila tidak bertentangan mengapa usulan referendum tidak pernah disetujui?

Akhirnya dengan pilihan rakyat Palestina telah terbentuk pemerintahan di tanah Palestina. Semua pengawas yang tidak memihak mengukuhkan bahwa pemerintah terpilih dipilih oleh rakyat. Dengan tanpa disangka pemerintah terpilih ditekan sedemikian rupa agar menerima negara bernama Israel dan tidak lagi meneruskan perjuangan serta melanjutkan program pemerintah sebelumnya.

Seandainya pemerintah terpilih saat ini sejak awal mengumumkan kebijakannya seperti yang diinginkan, apakah masyarakat Palestina akan memilih mereka? Apakah sikap yang semacam ini di hadapan pemerintah Palestina sesuai dengan nilai-nilai di atas? Demikian pula masyarakat bertanya-tanya, mengapa resolusi PBB yang telah diputuskan di dewan keamanan PBB terhadap Israel selalu diveto?

Tuan Presiden,

Anda mengetahui bahwa saya hidup bersama rakyat dan punya hubungan dengan mereka. Kebanyakan dari masyarakat Timur Tengah, yang dengan berbagai bentuk, melakukan hubungan dengan saya. Mereka melihat kebijakan ganda yang ada ini tidak sesuai dengan logika apapun. Bukti-bukti menunjukkan bagaimana kebanyakan masyarakat di kawasan dari hari ke hari semakin marah dengan kebijakan yang dilakukan.

Saya tidak bermaksud untuk menyampaikan banyak pertanyaan, namun saya ingin menunjukkan beberapa poin yang lain. Mengapa setiap kemajuan keilmuan dan teknologi di kawasan Timur Tengah dianggap dan di promosikan sebagai ancaman terhadap rezim Israel? Apakah usaha ilmiah dan penelitian bukan merupakan hak-hak dasar masyarakat?

Kemungkinan Anda memiliki pengetahuan tentang sejarah. Selain abad pertengahan pada bagian mana dari sejarah dan di mana, kemajuan ilmu dan teknologi dianggap sebagai sebuah kejahatan? Apakah dengan mengandaikan kemungkinan dipakainya ilmu dan teknologi untuk maksud-maksud militer dapat menjadi alasan untuk menentang ilmu dan teknologi? Bila kesimpulan yang demikian adalah benar, maka seluruh ilmu harus ditentang bahkan fisika, kimia, matematika, kedokteran, arsitektur dan lain-lain.

Dalam masalah Irak telah terjadi kebohongan. Hasilnya apa? Saya tidak ragu bahwa semua manusia meyakini bahwa kebohongan adalah hal yang tidak terpuji. Anda sendiri tidak akan senang bila orang lain berdusta terhadap Anda.

Tuan Presiden,

Apakah masyarakat di Amerika Latin memiliki hak untuk mempertanyakan mengapa selalu ada usaha untuk tidak menyetujui pemerintahan terpilih dari rakyat dan pada saat yang sama adanya pembelaan bagi mereka yang ingin melakukan kudeta terhadap pemerintahan terpilih. Mengapa ancaman selalu diarahkan kepada mereka?

Masyarakat Afrika adalah masyarakat yang punya etos kerja, kreatif dan memiliki potensi. Mereka dapat berperan penting dalam menjamin kebutuhan dan kemajuan materi dan maknawi masyarakat dunia. Kemiskinan dan kepapaan di sebagian besar Afrika menjadi kendala terbesar untuk dapat memainkan peran penting tersebut.

Apakah mereka berhak untuk mempertanyakan, mengapa kekayaan luar biasa dan barang tambang mereka dijarah padahal mereka lebih membutuhkan dari orang lain? Apakah aksi-aksi semacam ini sesuai dengan ajaran Nabi Isa dan hak-hak asasi manusia?

Masyarakat Iran yang berani dan beriman juga memiliki banyak pertanyaan. Salah satunya; Kudeta 28 Murdad terhadap pemerintahan waktu itu pada lima puluh dua tahun yang lalu, berhadap-hadapan dengan revolusi Islam dan menjadikan kedutaan Amerika menjadi markas besar, dengan memiliki ribuan dokumen, yang membela mereka yang tidak setuju dengan Republik Islam, melindungi Saddam Husein dalam perang terhadap Iran, penembakan pesawat penumpang Iran, menyandera harta masyarakat Iran, ancaman-ancaman yang semakin meningkat dengan menunjukkan ketidaksetujuan serta kemarahan atas kemajuan ilmu dan teknologi serta nuklir masyarakat Iran, padahal semua orang Iran gembira dengan kemajuan negara mereka dan mengadakan acara untuk keberhasilan mereka. Masih banyak lagi pertanyaan yang semacam ini dan untuk menjelaskannya di surat ini tidak saya cantumkan.

Tuan Presiden,

Peristiwa 11 September benar-benar merupakan peristiwa yang mengerikan. Pembunuhan terhadap orang-orang tak berdosa di bagian mana saja dari dunia ini selalu menyakitkan dan sangat disayangkan. Pemerintah kami pada waktu itu mengumumkan rasa kebencian terhadap pelaku kejadian dan sekaligus mengucapkan belasungkawa kepada mereka yang ditinggalkan.

Semua negara memiliki kewajiban untuk melindungi jiwa, harta dan kehormatan rakyatnya. Seperti yang dikatakan bahwa negara Anda memiliki sistem keamanan, penjagaan dan informasi yang luas dan canggih. Bahkan para penentang yang berada di luar negeri pun diburu. Operasi 11 September bukan operasi yang mudah. Apakah konsep dan pelaksanaan operasi tersebut dapat bekerja tanpa kerja sama dengan sistem informasi dan keamanan dan atau pengaruh yang luas di sana dapat terjadi? Tentunya ini hanya sebuah kemungkinan dari orang-orang yang berpikiran logis. Mengapa sisi-sisi lain dari kejadian ini tetap misterius? Mengapa tidak ada penjelasan resmi bahwa siapa yang bertanggung jawab atas kelalaian ini? Dan mengapa para pelaku dan mereka yang lalai tidak diumumkan dan dihukum?

Tuan Presiden,

Salah satu kewajiban pemerintah adalah mewujudkan keamanan dan ketenangan kepada rakyatnya. Masyarakat negara Anda dan negara-negara tetangga poros krisis dunia selama bertahun-tahun tidak lagi merasakan keamanan dan ketenangan.

Setelah peristiwa 11 September bukannya meredam jiwa dan menenangkan mereka yang terkena musibah. Masyarakat Amerika adalah yang paling menderita akibat kejadian tersebut sementara sebagian dari media Barat malah membesar-besarkan kondisi tidak aman dan senantiasa mengabarkan adanya kemungkinan serangan teroris dan mereka sengaja menjaga agar masyarakat senantiasa dalam kondisi takut dan khawatir. Apakah ini namanya melayani rakyat Amerika? Apakah kerugian yang berasal dari ketakutan dan kekhawatiran dapat dihitung?

Coba gambarkan! Rakyat Amerika merasa bakal ada serangan. Di jalanan, tempat kerja dan di rumah mereka merasa tidak aman. Siapa yang dapat menerima kondisi seperti ini? Mengapa media bukannya memberitakan hal-hal yang dapat menenangkan dan memberikan keamanan malah mengabarkan ketidakamanan?

Sebagian berkeyakinan bahwa iklan besar-besaran ini sebagai fondasi dan alasan untuk menyerang Afghanistan. Bila sudah begini kiranya baik bila saya berikan sedikit petunjuk terkait dengan media.

Dalam prinsip dasar media, penyampaian informasi yang benar dan menjaga amanat dalam menyebarkan berita adalah dasar yang manusiawi dan diterima. Saya merasa perlu untuk mengucapkan dan mengumumkan rasa penyesalan yang dalam atas ketiadaan rasa tanggung jawab sebagian media Barat dengan kewajiban ini. Alasan asli agresi ke Irak adalah adanya senjata pemusnah massal. Tema ini diulang-ulang sedemikian rupa sehingga masyarakat percaya dan menjadi dasar untuk menyerang Irak.

Apakah kebenaran tidak akan hilang pada situasi yang dibuat-buat dan berisi kebohongan? Apakah hilangnya sebuah kebenaran sesuai dengan tolok ukur yang telah dijelaskan sebelumnya? Apakah kebenaran juga akan hilang di sisi Tuhan?

Tuan Presiden...

Di semua negara masyarakatlah yang menanggung anggaran belanja negaranya sehingga pemerintah dapat melayani mereka. Pertanyaannya di sini, dengan anggaran tahunan ratusan miliar dolar pengiriman pasukan ke Irak apa yang didapat oleh masyarakat?

Anda sendiri mengetahui bahwa di sebagian negara bagian Amerika masyarakat hidup dalam kemiskinan. Ribuan orang tidak memiliki rumah. Pengangguran adalah masalah besar dan masalah ini kurang lebih terjadi juga di negara-negara lain. Apakah dalam kondisi yang seperti ini pengiriman sejumlah besar pasukan dan itu pun dengan anggaran luar biasa dari masyarakat dapat dibenarkan dan sesuai dengan dasar-dasar yang telah disebutkan sebelumnya?

Tuan Presiden,

Apa yang sudah disebutkan adalah sebagian dari penderitaan masyarakat dunia; kawasan kami dan masyarakat Anda. Namun maksud asli saya yang setidak-tidaknya akan Anda benarkan sebagai berikut:

Para penguasa memiliki masa tertentu dan tidak selamanya berkuasa. Namun nama mereka akan diingat dan tertulis dalam sejarah. Dan di masa depan, dekat atau jauh, senantiasa dinilai. Masyarakat akan berkata, dalam periode kita ini apa yang telah terjadi.

Apakah untuk masyarakat kita menyiapkan keamanan dan kesejahteraan atau ketidakamanan dan pengangguran.

Apakah kita hendak mengukuhkan keadilan ataukah hanya kelompok khusus yang ingin kita lindungi. Itu pun dengan harga kemiskinan dan kepapaan sebagian besar masyarakat dunia. Apakah kita akan memilih untuk mengutamakan sekelompok kaum minoritas dengan segala kekayaan dan pangkat dan kerelaan mereka ketimbang kerelaan Tuhan?

Apakah kita telah membela hak-hak masyarakat dan kaum miskin ataukah kita tidak memandang sedikit pun kepada mereka.

Apakah kita membela hak-hak manusia di seluruh dunia ataukah dengan memaksakan perang dan ikut campur secara ilegal terhadap urusan sebuah negara dan dengan mengadakan sel-sel yang menakutkan memenjarakan sebagian orang di sana?

Apakah kita telah berbuat untuk terwujudnya perdamaian dunia ataukah kita menyebarkan ancaman dan kekerasan di seluruh dunia?

Apakah kita telah berbicara dengan jujur kepada rakyat kita dan masyarakat dunia ataukah kita malah menunjukkan kebenaran yang telah diputarbalikkan.

Apakah kita termasuk pembela masyarakat ataukah pembela para penjajah dan penzalim? Apakah dalam pemerintahan kita, logika, akal, moral, perdamaian, mengamalkan perjanjian, menyebarkan keadilan, melayani masyarakat, kesejahteraan dan kemajuan dan menjaga kehormatan manusia lebih dipentingkan ataukah kekuatan persenjataan, ancaman, tidak adanya keamanan, tidak adanya perhatian kepada masyarakat, menahan lajunya kemajuan masyarakat dunia dan merusak hak-hak manusia?

Pada akhirnya mereka akan berkata, apakah kita masih setia dengan sumpah yang kita ucapkan dalam rangka melayani masyarakat dan perjanjian asli kita dan ajaran-ajaran para Nabi ataukah tidak?

Tuan Presiden,

Sampai kapan dunia akan menanggung beban berat ini? Dengan proses yang semacam ini dunia akan menuju kemana? Sampai kapan masyarakat dunia harus menanggung beban keputusan-keputusan tidak benar dari para penguasa? Sampai kapan cakrawala ketakutan harus dihadapkan kepada masyarakat dunia akibat ditimbunnya senjata pemusnah massal? Sampai kapan darah anak-anak, para wanita dan laki-laki harus mengalir di atas batu-batu jalanan dan rumah-rumah mereka harus dihancurkan?

Apakah Anda rela dengan kondisi dunia sekarang ini? Apakah Anda berpikir bahwa kebijakan yang telah ada ini dapat berlangsung terus?

Bila saja ratusan miliar dolar yang dipakai untuk membiayai keamanan, pertahanan, pengiriman pasukan dialokasikan sebagai modal dan bantuan bagi negara-negara miskin, pengembangan kebersihan, berperang melawan berbagai macam penyakit, penghijauan dan pengentasan kemiskinan dan keterbatasan, menggalang perdamaian, menghilangkan perselisihan antar negara-negara,menghilangkan peperangan kabilah dan ras dan lain-lain. Dapat dibayangkan bagaimana dunia sekarang? Dan apakah pemerintahan dan rakyat Anda tidak merasa bangga dengan ini?

Apakah posisi politik dan ekonomi pemerintahan dan rakyat Anda tidak akan semakin kokoh? Dengan mengucapkan rasa penyesalan penuh, saya harus mengucapkan apakah ada kenaikan tingkat kebencian masyarakat dunia terhadap pemerintah Amerika?

Tuan Presiden, saya tidak bermaksud untuk melukai perasaan seorang pun.

Apakah bila hari ini Nabi Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, Ismail, Yusuf dan atau Nabi Isa A.S. hadir di dunia ini dan dengan melihat perilaku yang semacam ini apa kata mereka? Apakah dunia yang dijanjikan, dunia yang diliputi oleh keadilan dengan kehadiran Nabi Isa A.S. akan memberikan kita peran? Apakah mereka akan menerima kita?

Pertanyaan kunci saya di sini; Apakah jalan yang lebih baik dalam pergaulan dengan masyarakat dunia tidak ada lagi?

Hari ini di dunia ada ratusan juta orang Kristen, ratusan juta orang Islam dan jutaan lagi orang pengikut Nabi Musa A.S. Semua agama ilahi dalam satu kalimat bersatu dan itu adalah kalimat tauhid, yaitu keyakinan akan Tuhan Yang Esa dan selain Dia tidak ada tuhan di dunia ini.

Al-Quran al-Karim menegaskan akan kalimat yang satu ini dan ia memanggil semua pengikut agama ilahi dengan kalimat ini. Allah berfirman:

"Katakanlah : "Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari pada Allah." (Ali Imran: 64)

Tuan Presiden.

Berdasarkan firman ilahi kita semua diajak untuk menyembah Allah Yang Esa dan mengikuti utusan-utusan ilahi.

" Penyembahan kepada Tuhan Yang Esa yang Maha kuasa dan berkuasa atas segala sesuatu",

"Allah Yang Maha Mengetahui hal-hal yang tersembunyi dan tampak, dahulu dan akan datang dan Ia mengetahui apa yang terlintas di benak hamba-Nya dan Ia mencatat amalan mereka",

"Tuhan Sang pemilik langit dan bumi dan semua alam di bawah kekuasaan-Nya",

"Pengaturan seluruh alam di tangan-Nya dan Ia memberikan janji untuk mengampuni dosa-dosa hamba-Nya",

Ia penolong mereka yang terzalimi dan musuh mereka yang menzalimi", Dia Maha Pengasih dan Penyayang",

"Ia penolong kaum mukminin dan Ia menuntun mereka dari kegelapan kepada keterang-benderangan", "Ia mengawasi perbuatan hamba-hamba-Nya",

" Ia menyerukan hamba-Nya untuk beriman dan berbuat baik dan menginginkan agar mereka berbuat berdasarkan kebenaran dan untuk tetap istiqamah dalam kebenaran",

" Allah menyerukan agar hamba-hamba-Nya untuk menaati utusan-Nya dan Ia sebagai saksi dan pengawas perbuatan hamba-hamba-Nya",

"Puncak keburukan terkait dengan orang-orang yang menginginkan kehidupan yang terbatas di dunia ini dan tidak mengikuti perintah-Nya dan menzalimi hamba-hamba Allah",

"Puncak kebaikan dan surga yang kekal hanya akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa di hadapan keagungan ilahi dan tidak mengikuti hawa nafsunya".

Kami yakin bahwa kembali kepada ajaran-ajaran para Nabi adalah satu-satunya jalur kebahagiaan dan kesuksesan. Saya mendengar bahwa Anda adalah seorang penganut Kristen dan percaya akan janji ilahi akan adanya pemerintahan orang-orang baik di muka bumi.

Kami juga percaya bahwa Nabi Isa A.S. adalah salah satu Nabi besar ilahi. Dalam al-Quran Nabi Isa mendapat penghormatan yang luar biasa dan ini adalah ucapan Nabi Isa A.S. yang dinukil oleh al-Quran:

"Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus." (Maryam: 36)

Penghambaan dan ketaatan kepada Allah adalah seruan semua para Nabi. Tuhan seluruh masyarakat di Eropa, Afrika, Amerika, dan negara-negara kepulauan, seluruh dunia hanya satu Tuhan dan itu adalah Tuhan yang memberikan hidayah dan menginginkan kemuliaan bagi semua hamba-hamba-Nya dan memberikan kehormatan kepada umat manusia.

Dan dalam firman Allah: "Allah Yang Maha Mengetahui dan Tinggi mengutus para Nabi disertai dengan tanda-tanda yang jelas dan mukjizat untuk memberi petunjuk kepada manusia. Pengutusan itu agar mereka menunjukkan tanda-tanda kebesaran ilahi kepada manusia. Dengan begitu manusia dapat disucikan dari dosa. Allah mengirimkan kitab dan mizan agar manusia dapat menegakkan keadilan dan dapat meninggalkan orang-orang yang berbuat zalim".

Seluruh ayat-ayat dengan bentuk yang mirip ada di kitab suci. Para Nabi dan utusan ilahi memberikan janji: Suatu hari nanti semua manusia akan dibangkitkan di hadapan Allah untuk diperhitungkan amal perbuatannya. Mereka yang berbuat baik akan diantarkan ke surga. Dan mereka yang berbuat buruk akan menanggung perbuatannya dengan menerima siksa ilahi. Saya berpikir bahwa kita berdua sama meyakini akan hari itu.

Tentunya perhitungan para penguasa tidak akan ringan. Hal itu karena harus menjawab kepada masyarakat dan semua orang atas setiap perbuatan kita yang ada hubungannya dan memiliki dampak dalam kehidupan mereka.

Para Nabi menginginkan perdamaian, ketenangan berdasarkan prinsip-prinsip penyembahan kepada Allah, menjaga harkat dan martabat manusia bagi seluruh manusia.

Bila kita semua meyakini tauhid dan penyembahan kepada Tuhan, keadilan, menjaga harkat dan martabat serta kemuliaan manusia dan hari akhir, apakah tidak bisa menyelesaikan problema dunia sekarang yang diakibatkan oleh kejauhan dari ketaatan kepada Allah dan ajaran-ajaran para Nabi, dengan prinsip itu dengan lebih baik dan indah?

Apakah keyakinan akan prinsip-prinsip ini tidak memperluas dan menjamin perdamaian, persaudaraan dan keadilan?

Apakah prinsip-prinsip itu bukan merupakan ajaran tertulis atau tidak tertulis mayoritas masyarakat dunia?

Apakah Anda tidak ingin mengiyakan seruan ini? Kembali secara hakiki kepada ajaran-ajaran para Nabi, kepada tauhid dan keadilan, kepada penjagaan terhadap harkat dan martabat manusia dan kepada ketaatan terhadap Tuhan dan utusan-utusan-Nya

Tuan Presiden,

Data-data sejarah menunjukkan bahwa pemerintahan yang berada dalam jalur kezaliman tidak pernah bertahan lama. Tuhan tidak menyerahkan nasib manusia di tangan penguasa zalim. Tuhan tidak membiarkan dunia dan manusia begitu saja. Bukankah sudah banyak kejadian yang bertolak belakang dengan rencana-rencana para penguasa. Kejadian-kejadian sejarah menunjukkan bahwa ada kekuatan misterius di atas segalanya di balik semua ini yang mengatur semua hal.

Tuan Presiden,

Apakah tanda-tanda perubahan di dunia kini dapat diingkari? Apakah keadaan dunia sekarang dengan sepuluh tahun yang lalu dapat dibandingkan. Perubahan terjadi begitu cepat dan dengan dimensi yang sangat luas.

Masyarakat dunia tidak rela dengan kondisi dunia kini. Mereka tidak percaya dengan janji-janji sebagian penguasa paling berpengaruh pun di dunia.

Sebagian besar masyarakat dunia merasa tidak aman. Mereka tidak setuju dengan berkembangnya kondisi ini begitu juga dengan perang. Mereka juga tidak setuju dengan kebijakan ganda.

Masyarakat dunia protes akan adanya jurang pemisah yang dalam antara mereka yang kaya dan miskin dan antara negara yang sejahtera dan miskin. Masyarakat semakin membenci kebejatan moral yang semakin meningkat.

Mayoritas masyarakat di negara-negara merasa tidak puas karena basis budaya mereka terancam dan institusi keluarga yang berantakan serta kasih sayang dan cinta kasih yang semakin luntur.

Masyarakat dunia mulai pesimis memandang PBB. Hal itu dikarenakan hak-hak mereka tidak dipertahankan.

Liberalisme dan Demokrasi Barat tidak mampu mendekatkan manusia kepada idealisme mereka. Liberalisme dan Demokrasi adalah dua kata pecundang. Para pemikir dan cendekiawan dunia dengan jelas mendengar suara runtuhnya pemikiran dan sistem Liberal-Demokrasi.

Hari ini perhatian masyarakat dunia semakin meningkat kepada sebuah fokus. Dan pusat itu adalah Tuhan Yang Esa. Dan tentunya masyarakat dengan tauhid dan berpegangan dengan ajaran-ajaran para Nabi akan dimenangkan atas masalah yang dihadapi. Pertanyaan penting dan serius saya di sini:

Apakah Anda tidak ingin menyertai mereka?

Tuan Presiden,

Mau tidak mau, dunia sedang mengarah pada penyembahan Allah dan keadilan dan kehendak Allah akan mengalahkan segala-galanya.

Keselamatan kepada mereka yang mengikuti petunjuk


Mahmud Ahmadi Nejad

Presiden Republik Islam Iran

Tehran 17-02-1384
07-05-2006

[sumber terjemahan diambil dari milis jurnalisme@yahoogroups.com]

Thursday, May 11, 2006

AHMADINEJAD

Tubuhnya kecil. Sewaktu berdiri berdampingan dengan Presiden Yudhoyono cuma setengah kepalanya yang lebih tinggi dari pundak presiden kita itu. Jalannya agak bungkuk, tapi sorot matanya tajam. Jasnya itu, aduh. Celana dan jasnya ngatung. Tanpa dasi cuma kemeja putih. Sederhana betul orang ini. Saya menyaksikannya dari jarak satu meter.

Dialah Mahmud Ahmadinejad, seorang Presiden Iran. Ia sedang mengunjungi Jakarta lalu akan ke Bali menghadiri pertemuan puncak negara-negara berkembang. Setelah mengucapkan salam, ia mencium Yudhoyono tiga kali: dua di pipi kiri, satu di pipi kanan. Keduanya lalu melakukan pertemuan tertutup.

Satu-setengah jam kemudian mereka muncul ke hadapan puluhan kamera. Ahmadinejad diam dan jarang senyum. Nada bicaranya datar. Penjelasan soal kerjasama ekonomi hanya seperti selingan dan basa-basi kunjungan pertamanya ini. Sebab yang pokok adalah penjelasan soal nuklir.

Ahmadinejad berbicara panjang lebar untuk menjawab pertanyaan singkat dan sederhana seorang wartawan dalam bahasa Parsi yang diterjemahkan ke dalam Inggris. Tapi, agaknya inilah hal pokok yang ia bawa ke Indonesia. Ia sedang menggalang dukungan karena negerinya sedang dirutuk Amerika.

Ia mengulang pernyataan-pernyataan sebelumnya soal program nuklir dan kelakuan Amerika yang menentangnya. Meski dengan nada datar, dari bibirnya keluar makian "pembohong besar" untuk Amerika. Ia kukuh menjalankan programnya karena merasa itu haknya Iran sebagai negara berdaulat. "Kami, setiap negara di dunia ini, punya hak mengembangkan teknologi tinggi," katanya.

Agaknya yang pokok kini bukan lagi soal nuklir, tapi sikap Ahmadinejad itu. Ia menyuguhkan satu contoh yang tepat tentang keberanian dan kekuatan. Ia merecok Amerika dengan menukik ke jantung ketakutan negara-negara Barat dengan membuat isu nuklir.

Bekas walikota Teheran yang gemar membagikan sup kepada orang miskin, memotong tunjangan pejabat tinggi untuk dibagikan kepada mereka yang melarat, itu merasa perlu menghembuskan isu itu karena dunia sudah jenuh dengan sikap arogan Amerika. Ia ingin menciptakan dunia yang damai, karena itu Amerika harus diimbangi. Sebab, ketika Amerika melaju sendirian mereka tak terbendung. Amerika akan selalu mencari "musuh" baru setelah Uni Soviet tumbang untuk mencapai cita-cita sebagai polisi-dunia. Maka terciptalah hantu teroris, rezim Saddam dan seterusnya.

Eropa yang punya potensi tak bisa diharapkan. Aliansi Jerman dan Prancis yang menentang invasi ke Irak melempem. Asia tak kunjung bersatu. Negeri-negeri Islam tercerai sudah sejak lama. Afrika sibuk membebaskan diri dari jerat kemiskinan dan amuk perang saudara. Maka Ahmadinejad tampil menyeru dunia.

Ia pasti tahu saat dunia vakum ketika Amerika dan Soviet sudah berhadapan di Teluk Kuba. Dua-duanya ingin menyerang dan pamer kekuatan. Tapi toh sifat manusia akhirnya muncul. Ketika rudal-rudal siap ditembakkan, ketika bom siap diledakkan, dunia terdiam. Keduanya mundur dan kiamat tak datang lebih cepat. Konon, jika dua kekuatan nuklir itu meledak berbarengan, tujuh bumi saja tak sanggup menampung letusannya.

Kita tidak tahu babak akhir drama ini. Ahmadinejad sudah mengirim surat 18 halaman ke Presiden Bush tentang kemunduran nilai-nilai demokrasi dan diacuhkan. "Kami tak peduli," katanya. Arogan dan nakal memang harus dilawan dengan sikap itu juga.

Tuesday, May 09, 2006

PRAMOEDYA

PRAMOEDYA

Orde Baru menuding, lalu melarang novel tetralogi Pramoedya Ananta Toer karena mengandung ajaran komunisme. Benarkah?

Tanah di pekuburan Karet masih hangat. Baru sepekan Pramoedya Ananta Toer kembali ke pangkuan penciptanya, ingatan akan karya-karyanya menggemuruh bagai gelombang. Di antara sekian banyak karya Pram, tetralogi Pulau Buru adalah yang paling banyak dibicarakan orang. Di dalamnya terangkum Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah.

Novel Bumi Manusia langsung "menggebrak" ketika pertama kali diterbitkan pada 1980--setahun setelah Pramoedya Ananta Toer "pulang" dari Pulau Buru. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Soetanto Wirjoprasonto yang memantiknya. Ia mengeluarkan surat edaran yang melarang semua lembaga di bawahnya--termasuk universitas--membaca dan memiliki novel itu. Alasannya seram: Bumi Manusia mengandung teori pertentangan kelas. Karena itu, bisa merawankan stabilitas keamanan.

Api silang pendapat pun segera menyebar. Ramai-ramai orang mendukung dan menolak larangan itu. Adhy Asmara mendokumentasikannya dengan baik dalam buku Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia yang terbit pada 1981. Tapi dari sekian pro-kontra, detail kronologi, tak terdengar dan tertulis analisis yang lebih komprehensif tentang isi novel itu. Diskusi digelar dalam sembunyi berhari-hari, tapi hanya membahas soal boleh-tidaknya sebuah buku dilarang. Barangkali karena kubu waktu itu sangat jelas: siapa yang mengangguk buku-buku Pram mengandung paham komunisme, dia telah setuju pemberangusan kreativitas. Ada buku A. Teeuw dan Apsanti Djokosujatno yang khusus membahas novel tetralogi Buru, tapi keduanya tak menyinggung soal tudingan pemerintah itu.

Puncaknya pada 29 Mei 1980, Kejaksaan Agung resmi melarang empat novel Pram yang terbit kemudian. Alasannya hanya berdasarkan dalil yang tak bisa dibantah: pokoknya dilarang!

Benarkah begitu?

Tetralogi menceritakan Jawa pada 1890-1920--sebuah masa yang rusuh oleh ide-ide besar di seluruh dunia. Rusia, terutama, ketika itu juga sedang kisruh menyongsong Revolusi Oktober 1917. Marxisme dipertentangkan dan diragukan penerapannya, lalu muncullah revisionisme, Bolsyewik, Mensyewik, dan teori dua tahap revolusi dari teoretikus Marxis: Georgi Plekhanov. Lenin dari Bolsyewik, meski menyerang dan meradang dari persembunyian, tulisan-tulisannya juga pada akhirnya makin mengukuhkan teori dari orang yang disebutnya oportunis itu, dengan lebih radikal.

Menurut Plekhanov, untuk menuju masyarakat komunis yang tanpa kelas dan penindasan, Rusia harus menempuh dua tahap revolusi. Tahap pertama adalah beralihnya feodalisme dari tangan Tsar menjadi tatanan kapitalisme. Petani harus diberi tanah untuk melahirkan para borjuis sehingga buruh jadi banyak. Para Marxis percaya, kapitalisme akan lapuk dan membusuk dengan sendirinya. Setelah itu masuk revolusi tahap kedua, yakni tampilnya kaum buruh dan petani--yang telah dibekali kemampuan revolusi oleh para intelektual dan aktivis partai--mengambil alih tatanan dari kelas borjuis yang menindas mereka.

Agaknya ada yang beririsan antara teori Plekhanov dengan apa yang terjadi dalam novel tetralogi Buru. Minke begitu sewot ketika dipanggil ayahnya harus merangkak dan merunduk. Bumi Manusia menceritakan perkenalan pertama Minke, seorang ningrat Jawa, dengan rasionalisme Eropa. Anak Bupati B ini bertekad mengubah tatanan feodalisme yang irasional itu. Lalu muncullah Nyai Ontosoroh.

Nyai yang dulunya bernama Sanikem itu tampil menyedot perhatian. Ia lihai mengurus pabrik gula peninggalan suaminya yang orang Belanda--karena itu ia punya buruh, tahu perkembangan ilmu pengetahuan, bijak dengan pesan moral, bahkan "membaca novel-novel Eropa sebelum berangkat tidur". W.S. Rendra menjuluki Ontosoroh sebagai "prototipe ibu-ibu Menteng". Pendeknya, Nyai adalah seorang borjuis baru. Feodalisme, begitu tesis Minke, bisa runtuh jika orang Indonesia bersentuhan dengan semangat Revolusi Prancis. Satu aforisme yang terkenal dari Bumi Manusia adalah, "Seorang terpelajar harus adil sudah sejak dalam pikiran."

Tapi akhirnya Minke dan Ontosoroh kalah. Minke kehilangan istrinya--anak bungsu Nyai--yang sangat dipuja, Annelies Mellema, sementara Ontosoroh kehilangan pabrik gula dan seluruh harta juga harga diri sebagai pribumi karena dirampas anak sah suaminya. Pada Anak Semua Bangsa, Minke mulai meninggalkan Surabaya karena bersekolah dokter ke STOVIA di Betawi.

Pada dua jilid terakhir kebangkitan nasionalisme baru menemukan bentuknya. Minke menikah dua kali lagi. Yang pertama dengan gadis Cina, lalu dengan putri Maluku. Keduanya aktivis tulen. Minke sering ditinggal karena istrinya lebih banyak sibuk di organisasi. Dalam Jejak Langkah, Minke kian aktif di syarikat seraya terus menulis menyuarakan jerit lirih bangsa terjajah. Gerakan-gerakan politik bawah tanah jauh lebih hidup dibanding dua jilid pertama tetralogi.

Dalam Rumah Kaca, tatanan sosialis, sebagai peralihan menuju komunisme, mulai terbangun. Gerakan politik mulai surut. Peran Minke sudah banyak berkurang. Pencerita bahkan berganti ke mata Pangemanann-seorang intel Belanda yang khusus diutus mengamati segala gerak-gerik Minke. Hindia Belanda digambarkan terperangkap dalam rumah kaca yang segalanya bisa ditelisik dan dikendalikan penjajah.

Kondisi Hindia tentu lain dengan Rusia. Indonesia remuk dijajah Belanda (tapi karena itu pula Minke--kita--berkenalan dengan adat Eropa), sementara Rusia hancur karena berperang dengan Jerman. Pram juga tak menyinggung sama sekali soal perkembangan yang terjadi di Eropa Timur, kiblat komunisme itu. Komunisme yang ideal pun tak tercapai dalam keduanya, baik di Rusia maupun dalam tetralogi.

Di Rusia, komunisme gagal karena Lenin terlalu memaksakan revolusi ke dalam masyarakat yang belum siap. Kapitalisme pun dirindukan dan bangkit kembali 70 tahun kemudian. Di Indonesia dalam tetralogi, komunisme itu gagal karena belum adanya kesepahaman cita-cita bersama menghalau penjajah. "Kita ini bangsa yang kalah," kata Pram, suatu ketika.

Mungkin terlalu jauh membandingkan Rusia dengan setting Indonesia dalam tetralogi. Barangkali juga, plot tetralogi adalah jalan ideal yang ditempuh Indonesia dalam pandangan Pram dan para tokoh nasionalis awal.

Dalam pelbagai wawancara dan tulisannya, Pram selalu menolak disebut komunis. "Saya penganut ideologi Pramisme," katanya. Dari Rusia dia hanya terpesona kepada realisme-sosialis, metode sastra yang diusung oleh penulis Marxis Rusia, Maxim Gorki. Dari Gorki pulalah semangat Pram terus bergelora merekonstruksi sejarah Nusantara dalam novel-novelnya. "Rakyat harus tahu sejarah," itulah kalimat Gorki yang terus mengiang di telinga Pram dan menjadi rohnya dalam menulis.

Dengan atau tanpa komunisme dalam tetralogi, tak menyurutkan karya ini sebagai novel besar dan hebat, novel yang kompleks dan ajek dalam struktur, tertib, dan terarah, meski minim humor.

Dengan atau tanpa komunisme pula, tak sepatutnya novel ini diberangus, justru wajib dibaca, terutama oleh orang muda. "Saya menulis novel-novel ini untuk anak muda," kata Pram, begitu selalu ia mengulang, sebelum jasadnya dibaringkan di Karet, 30 April silam.

Koran Tempo, 7 Mei 2006

Sunday, May 07, 2006

R UNTUK RANDU

Kenapa ada huruf R dalam alfabet kita? R sudah pasti buatan orang dewasa, karena tak ada bayi yang langsung bisa melafalkan huruf itu. Juga "adiknya", L. Apa yang akan terjadi seandainya tak ada dua abjad itu? Pasti tak ada perang dan korupsi. Karena yang ada hanya peang dan koupsi.

R dan L menandakan bahwa kita memang berubah. Kita lupa kapan pertama kali melafalkan huruf R atau L. Tapi lafal hanya soal lidah, karena konsep huruf R pasti sudah ada sejak sebelum kita bisa melafalkannya. Mikail, misalnya, selalu bilang "pankin" untuk "parkir" ketika ia mengajak ngobrol dan melihat ada mobil masuk garasi atau berjalan mundur; menyebut namanya sendiri "mikain yandu" kepada orang yang baru bertemu jika kenalan. Di kepalanya, saya agak yakin, ia pasti ingin mengatakan "parkir" atau "mikail randu".

Ensiklopedia tak menyebut apakah bayi-bayi di Romawi--tempat huruf latin bermula--sudah bisa melafalkan huruf R atau L begitu mulai bisa bicara. Jika tidak, sudah pasti, huruf memang disusun oleh orang yang sudah bisa melafalkan dan merasa perlu ada huruf R atau L, karena ada benda, istilah, nama-nama yang memerlukannya. Sebab, ketika jumlah huruf belum genap 26 (masih 21, belum ada huruf J, U, W, Y dan Z) huruf R dan L sudah masuk susunan alfabet Latin.

Di semua bahasa, Latin atau bukan, huruf R atau L juga sudah nangkring. Dalam bahasa Arab R berwujud "kaf", dalam abjad Jawa ada "ra", dan seterusnya. Di Krui, pesisir Lampung Barat, huruf R dilafalkan dengan "grha"--huruf ini muncul dari dalam tenggorokan. Sehingga orang di sana menyebut Krui bukan dalam alfabet biasa, tapi "K-grh-u-i". Coba lafalkan. Sampai sekarang saya selalu salah mengucapkannya. Tapi dalam obrolan bahasa Indonesia biasa, orang Krui mengucapkan R kembali ke bunyi alfabet Latinnya.

Ada beberapa teman yang cadel, meskipun cadel ternyata tak cuma melanda huruf R. Ada orang yang cadel F, S dan T. Tapi mereka jadi kreatif mencari sinonim dari kata atau istilah yang susah diucapkan. Misalnya, ada teman yang konsisten menyebut Bogor sebagai kota hujan. Jika ada yang bertanya, "Kuliah di mana dulu?" Ia akan menjawab, "Di kota hujan." Tak ada kota lain yang berjuluk ini di Indonesia. Meskipun jadi lucu, karena sering juga ia tak sadar omong terus dan menerabas rambu-rambu "R". Kalau sadar ia berhenti sendiri. Untung ia tak minder. "Ah, saya cuma sedikit pemalu," katanya.

Ada film "Novel Tanpa Huruf R". Tapi ia tak mengungkai bagaimana jadinya jika hidup ini tak dilengkapi dengan huruf R. Mungkin hanya kekerasan dan kekacauan yang terjadi, seperti yang ingin digambarkan sutradaranya. Entahlah. Stephen King punya novel Misery yang menceritakan usaha seorang penulis lepas dari tawanan pemujanya setelah sebuah kecelakan yang membuatnya lupa segala. Si penulis ini diminta menulis novel oleh si pemuja di bawah ancaman pembunuhan dengan mesin tik yang tak ada tombol N. Ketika novel itu jadi, setiap kata yang memerlukan N kosong. Misalnya, NIGHT hanya ditulis IGHT. Tapi novel toh jadi dan hidup berjalan terus, sampai si penulis ini selamat dari terkaman pemujanya ini.

Apa yang terjadi seandainya dunia ini tanpa huruf R? Apakah hidup kita seperti bayi? Rasanya tidak juga. Tak seru. Walaupun mungkin hanya tak ada internet dan blogger.com. Sebab, kalau ya, sia-sialah Tuhan menciptakan kita.

Tuesday, May 02, 2006

PRAM

Pramoedya Ananta Toer meninggal 30 April pagi dalam usia 81 tahun 2 bulan 24 hari. Ia lahir 6 Februari 1925. Pram telah mengisi usianya yang panjang itu nyaris tanpa jeda: hidupnya selalu rusuh karena ulah pikiran-pikirannya.

Pram tak henti berpikir. Namanya selalu menghias media massa dengan gemuruh dan gelisah yang tak sudah-sudah. Omongannya tetap tegak keluar dari tubuhnya yang kian renta. Setegak itu jugalah kalimat-kalimat yang keluar lewat jari-jarinya.

Cerita-cerita Pram adalah cerita-cerita yang tak berhasrat aneh-aneh. Kisahnya amat konvensional dengan plot yang sederhana. Tak perlu "persiapan" khusus membaca Pram. Karena itu di zaman ini ketika teknik bercerita kian bertambah rumit dan unik, novel-novel Pram terasa amat biasa dalam bentuknya. Pram memang lebih mementingkan isi.

Gelora menulisnya terus berkobar karena satu niat yang terus terngiang sejak membaca Gorki: orang banyak harus tahu sejarahnya. Karena itu pula ia mengusung realisme sosialis--apa yang dicetuskan Gorki--untuk menyampaikan sekelumit sejarah alternatif dari sejarah resmi yang sudah dirumuskan negara. Bagi dia, realisme sosialis dalah satu-satunya cara untuk menyokong pentingnya sejarah itu.

Membaca novel-novel Pram adalah membaca cerita yang lurus, tertib, terarah. Ceritanya berasal dari sebuah ide yang sudah tersusun dengan pasti. Karena itu cerita Pram juga minim humor.

Tapi ini jika kita adalah pembaca yang murung. Ketika seorang penulis bertanya kepada Albert Camus, "unsur utama apa yang termuat dalam cerita-cerita anda?", ia menjawab: humor! Sebuah jawaban yang menggelikan karena kita tahu rasanya tak ada humor dalam buku-buku Camus.

Begitu juga Pram. Humor Pram adalah cara bercanda yang getir. "Karena kita bangsa yang kalah," katanya, suatu ketika. Ia menulis sosok Minke yang kalah dalam pelbagai segi oleh anak sah Herman Mellema, bangsa yang telah menjajah sekaligus mengenalkan semangat Eropa. Minke kalah karena terlalu mengagungkan rasionalisme Barat lalu percaya bahwa hanya cara Eropalah yang bisa mengubah negerinya yang kolot. Minke bahkan kalah karena menganggap perempuan blasteran--lewat Anellies Mellema dan Ratu Wilhelmina--sebagai perempuan yang punya fisik sempurna. Mental terjajah seperti ini sangat pas menggambarkan dengan telak kekalahan pribumi saat dan pascakolonial. Dalam Arus Balik kekalahan Nusantara lampau itu bahkan tak perlu dijelas-jelaskan lagi.

Pram adalah seorang intelektual publik yang sebenar-benarnya. Buah-buah pikirannya sampai lewat buku-buku. Agaknya ia dikenang karena itu. Tak banyak di Indonesia ini, seorang yang bergelar intelektual mau bergelimang keringat merumuskan ide-ide dalam tulisan. Ada banyak intelektual publik kita yang terkenal tapi mereka nol buku. Nurcholish Madjid tak sejudul buku pun ia tinggalkan sampai meninggal. Buku-bukunya hanya kumpulan-kumpulan tulisan yang berserakan dalam berkala-berkala.

Ada HAMKA yang tekun menulis. Juga Hatta dan Soekarno. Tapi di zaman kini, Pram adalah sebuah anomali, kekecualian karena hingga nyawa tercerabut dari jasadnya ia masih menyiapkan ensiklopedi nusantara yang sudah lama disiapkan.

Membaca hidup Pramaoedya Ananta Toer adalah membaca serentetan headline yang tak putus-putus. Kepongahan sikapnya, keteguhan hatinya, membuat Pram kian terasa penting sekaligus asing. Ia menolak memaafkan rezim yang telah menindasnya. Ia ogah melupakan peristiwa pahit yang telah menimpanya. Ia cemooh orang-orang yang telah memaafkan sikap dan tabiatnya ketika ia pada suatu masa juga pernah menista mereka.

Pram mungkin akan segera menjadi ikon pop. Ikon yang semakin terasa sekeluar ia dari Pulau Buru. Orang merasa gagah jika sudah membaca Pram. Ia mungkin akan seperti Che Guevara--dikagumi dan dikultuskan lalu dilupakan cita-cita dan pikiran-pikirannya. Pram pada akhirnya menjadi sebuah merk.

Monday, April 24, 2006

BAGAIMANA KAU MENCEMASKAN PETANG



bagaimana kau mencemaskan petang, adikku
sementara pagi belum juga nampak
kita tertegun pada gigir kelam
tibatiba saja kita telah tua.

bagaimana kau bisa mencemaskan petang, adikku
sementara kita hanya diam
membiarkan ranting bunga terbang
tibatiba saja waktu telah tiada.

Thursday, April 20, 2006

STATUSMU : ALAMAT SURAT-E



Internet kini membuka status baru. Jika kau punya duit banyak, kliklah Millionaires24.com. Dari sana kau akan mendapat sebuah alamat surat. Kau bisa menuliskan alamat itu di kartu namamu dengan menonjolkan alamat itu: namamu@millionaires24.com. Kau tak perlu mengumumkan seberapa banyak duitmu, karena kini orang sudah mengakui kau seorang dari 10 ribu jutawan yang terdaftar.

Karena itu alamat ini butuh iuran. US$ 5.ooo per tahun atau US$ 399 per bulan--cukup untuk membayar uang muka sebuah rumah sederhana. Apa beda alamat surat di Yahoo.com, Gmail.com atau Hotmail.com? Tak ada! Inbox surat, ya, tempat pemiliknya membaca kabar, yang penting dan yang nonsense. Sakitkah yang mendaftar ke sana? Atau main-mainkah orang yang membikin situs ini?

Mungkin tidak. Kini makin banyak saja orang kaya di dunia. Konon, ada sejuta orang di Indonesia ini yang punya duit Rp 500 juta per bulan yang menganggur. Mereka bingung mau dihamburkan ke mana duit sebanyak itu. Sebab ini duit sisa setelah plesiran, deposito, apartemen, jet dan pulau pribadi.

Internet, selain telah menciptakan dan menumbuhkan para grafomaniak, juga menyediakan prestise. Setelah para petani di Nigeria, Zimbabwe atau India sudah akrab dengan piranti ini, nun di kota-kota orang kian butuh status yang lebih tinggi lewat internet. Jaringan ini tak cukup hanya dijadikan alat untuk meringkas dunia. Sebuah revolusi yang kian mencemaskan.

Tapi, mencemaskan atau tidak, zaman barangkali memang sudah seharusnya begini. Kita tak boleh terkedut, karena ada banyak soal lain di luar sana yang tak (atau belum) kita ketahui. Kita terus bergerak--sadar atau tak sadar, siap atau tak siap--menyongsong kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan sana.

Tuesday, April 18, 2006

MERUBAH SEGALANYA



Lirik lagu memang tak bisa dijadikan rujukan berbahasa yang benar. Seorang teman kebingungan ketika akan menukil sebuah larik lagu Manusia Biasa yang dibuat Radja.

Di sana tertulis, lalu dilafalkan penyanyinya :

...merubah segalanya
mungkin ada kesempatan
untukku...


"Merubah" tentu saja beda dengan "mengubah". Karena merubah bisa berarti "menjadi rubah". Seperti kata "merupakan" yang kini jamak dipakai sepadan dengan "adalah". Tentu saja, Ian Kasela tak berniat menceritakan metamorfosis dirinya menjadi rubah dengan meminta kesempatan sekali lagi... kepada kekasihnya.

Merubah, agaknya, kata yang paling sering disalahpahami. Kata ini muncul tidak saja dalam beragam tulisan, tapi juga pelbagai ucapan. Penyebabnya mungkin karena orang keliru sebab ada kata lain yang mengecoh, yaitu perubahan. Dua aturan harus dijelaskan untuk kata ini tidak saja awal pe- dan akhiran -an.

Dalam teks-teks pidato Bung Karno yang disalin dari pidato-pidatonya di mimbar, kata itu ditulis dengan merobah, seperti umumnya surat-surat yang ditulis para orang tua kita. Juga "di" sebagai kata depan. Pada zaman orang tua kita tak ada beda antara "di" sebagai kata depan dan "di" sebagai awalan. Orang tak sadar, mungkin juga tak tahu, kini dua kata itu sudah dipakai untuk fungsi yang berbeda.

Bahasa Indonesia memang bahasa yang asing. Saya baru berkenalan dengan bahasa ini pada sekitar akhir sekolah dasar. Di kampung saya, jika ada orang bicara memakai bahasa ini akan disebut sebagai orang Jakarta. Tentu saja, si orang Jakarta ini juga memakai langgam Betawi dengan logat Sunda. Walhasil, bahasa Indonesia makin asing saja ketika saya mulai mempelajari bahasa dan sastra memakai rujukan buku Bapak Keraff yang ruwet.

Ada banyak kata--jangankan hasil bentukannya kemudian jika bertemu dengan imbuhan--yang tak dimengerti artinya. Saya, setidaknya, ketika itu masih menerjemahkan bahasa Indonesia dalam rumusan bahasa Sunda di kepala baru menuliskan atau mengucapkannya.

Bahasa Indonesia memang bahasa yang asing. Ada banyak panduan dibuat, tapi kita tetap berdebat menulis "mempunyai" atau "memunyai". Ada kaidah peluluhan kata dasar yang berhuruf awal s, p, k dan t. Tapi untuk beberapa kata tertentu kita juga mengkhianatinya. Kekisruhan ini makin memperumit pemakaian bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia diproklamirkan memang untuk mempersatukan. Sehingga, agaknya wajar, jika centang perenang pemakaiannya terus terjadi hingga hari ini. Belum lagi bahasa asing. Konon, 9 dari 10 kata Indonesia adalah asing. Mungkin benar.

Kita memperlakukan dan menyerap bahasa asing dengan semena-mena. Istilah handphone kini sudah jadi umum. Ini istilah asli yang dibuat orang Indonesia ketika telepon seluler mulai marak. Sebutlah istilah itu di negeri asalnya, pasti orang akan kebingungan. Ada juga yang menyebutnya telepon genggam. Si pembuat istilah ini lupa, telepon di rumah belum sampai digigit ketika dipakai.

"Kita akan makin tahu betapa miskinnya kosakata Indonesia jika menulis teknologi," kata seorang teman yang menjaga rubrik teknologi. Ah, maklumlah, kita tak pandai menciptakan barang sehingga bingung memberi nama benda yang siap pakai.

Sewaktu skripsi, ada yang mempersoalkan istilah yang saya pakai tidak memakai istilah asing dalam tanda kurung. Padahal, istilah itu sudah tersedia dalam kamus dan lebih pas. Misalnya, pembuat keputusan harus mencantumkan pula decision maker. Belakangan saya tahu, yang menganjurkan itu tak punya alasan jelas kecuali hanya agar terlihat lebih keren.

Barangkali inilah penyebab bahasa Indonesia kian terasa asing. Juga aneh.

Monday, April 03, 2006

SHAOLIN



Mikail mengadu pada ibu, rambutku sudah bikin gatel di telinga. Mikail sudah lama tak potong rambut karena dilarang ayahnya yang kepengen gondrong. Karena mengadu pada ibu, Mikail tahu pengaduannya pasti dikabulkan. Maka rambut yang panjang itu habis dipangkas. Mikail senang dicukur karena sambil lihat Om Pankin, maksudnya, Tukang Parkir. "Nangis gak waktu dicukur?" "Ga!"

Mikail terpesona karena betapa sakti dan berkuasanya seorang tukang parkir: bisa memerintahkan mobil bergerak kemana suka. Padahal betapa beratnya memutar setir seperti pernah dialaminya. Sampai kalau ditanya, "Apa cita-cita kalau sudah besar?" Dia akan menjawab, "Jadi Om Pankin". Astaga!













Setelah plontos, Mikail tak mau disebut gundul atau si botak.
"Mika gak botak," katanya.
"Gundul, deh."
"Gak mau."
"Habis apa dong?"
"Mika kayak shaolin."
"Ya, deh."

O iya, karena baru gundul, eh, shaolin lagi, maka ia difoto. Emang sih mirip shaolin kecil. Pake topi segala, mirip siapa ya? Kok kayak si Bagus penyanyi Netral, ya? Ah, tampangmu itu...