Tuesday, August 17, 2004

RINGKAS





Betapa ringkasnya teks proklamasi itu. Hanya dua kalimat, dua paragraf, dan 27 kata. Betapa kalimat yang disusun Soekarno, Hatta, Soebardjo, Soekarni dan Sayuti Malik itu langsung menukik ke inti: bahwa sudah saatnya Indonesia merdeka, tak perlu alasan panjang, tak perlu retorika yang berbelit. Aneh juga, Soekarno yang suka berapi-api itu dan pandai menyusun kalimat dan menghidupkan bahasa dalam pidato-pidatonya, justru meminta Hatta membuat kalimat yang ringkas dan efektif. Mungkin karena ia sudah tak sabar memekikan kata Merdeka yang kerap ia teriakan saat memimpin rapat-rapat PNI semasa muda. Soekarno yang menulisnya dengan susunan kalimat yang didiktekan Hatta. Selembar teks yang menentukan sejarah Indonesia itu juga hanya diteken dua orang itu saja.

Tak seperti naskah proklamasi Amerika yang dirancang Thomas Jefferson lalu disusun bersama John Adams, Benyamin Franklin, Roger Sherman dan Robert L Livingstone pada 11 Juni 1776. Naskah yang panjang dengan susunan kalimat dan huruf abad 18 itu juga diteken oleh lima puluh enam anggota Kongres. Menarik juga, barangkali, jika diselisik kenapa penyusunan teks itu begitu berbeda.

Thursday, August 12, 2004

ECO, KUNDERA, DAN TERJEMAHAN

Lampung Post

Bagja Hidayat

SEORANG penerjemah, kata sebuah pemeo Italia, adalah seorang pengkhianat. Umberto Eco mengutip pepatah ini untuk menutup esainya di The Guardian Weekly. Esai berjudul A Rose by Any Other Name itu menyoal seni dan hasil terjemahan novel yang memasyhurkan namanya: Il nome della rosa (1980). Di sini, novel itu telah diterjemahkan dengan tak mengubah judul edisi bahasa Inggris: The Name of The Rose (2003) oleh dua penerbit Yogyakarta. Sebuah esai yang merisaukan seraya berkelakar—ciri khas Eco yang selalu berhati ringan—terhadap terjemahan sejumlah novelnya.

Dalam pemeo itu tak disebutkan penerjemah yang baik dan penerjemah yang buruk. Yang ada hanya pengkhianat. Baik Eco maupun pemeo itu juga tak menyebut penerjemah berkhianat pada penulis.

Eco, pakar semiotika di Universitas Bologna, Italia, adalah penulis yang kerap menyoal karya terjemahan, baik terjemahan novel dan tulisannya maupun terjemahan sastra secara umum. Ia bahkan merisaukannya. Setiap kali sebuah bukunya, atau secuplik tulisannya, akan diterjemahkan ke dalam bahasa lain, ia selalu risau: bisakah gagasannya tersampaikan dengan bahasa lain? Karena setiap kata dalam suatu bahasa tak tergantikan oleh kata dalam bahasa yang lain. Kalau pun ada, kata dalam penerjemahan hanyalah padanan atau persamaan saja. Begitupun ketika The Rose difilmkan dengan judul sama oleh sutradara Jean-Jacques Annaud pada 1986, Eco mengatakan bahwa film itu bukan karyanya.

Setiap penulis, kata Eco, akan menemui dua situasi ketika karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Yang pertama tak acuh. Penulis macam begini punya dua kemungkinan yang lain: tak acuh karena tak mengerti bahasa terjemahan karyanya, atau terlalu bernafsu menerbitkan karyanya itu dalam sebanyak mungkin bahasa di dunia.

Sementara penulis yang lain juga tak acuh tapi dengan cemas yang tak lekas-lekas. Penulis kelompok ini justru merasa "terhina" ketika karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Dalam bahasa Eco, penerjemahan merupakan "proses politik yang menyakitkan". Karena sebuah karya terjemahan berarti telah menumpulkan kejeniusan gagasan si penulis yang ternyata bisa ditiru dengan wadah yang lain, dengan bahasa yang lain.

Tidak setiap penulis, memang, menguasai pelbagai bahasa. Eco sendiri mengaku tak memahami bahasa Swedia, Hungaria atau Rusia. Ketika para penerjemah datang kepadanya dan menawarkan akan menerjemahkan novel Il nome della rosa ke dalam tiga bahasa itu, Eco mengizinkannya. Saat penerjemahan sedang berlangsung, Eco kerap kali bersepakat dengan penerjemahnya jika ada kata atau bentukan kata yang sulit dicari padanannya. Sebab itu ia menganalogikan penerjemahan dengan jual beli telur di pasar. "Jika pedagang minta harga 100 dan kau menawar 10 maka kalian akan bersepakat pada harga 50," katanya. Negosiasi seperti ini sering terjadi karena bahasa lain ternyata tak cukup menampung gagasan yang tertuang dalam bahasa asli. Meski negosiasi seperti ini tak meredakan kerisauannya, Eco kerap kali menerimanya setelah antara dia dan penerjemahnya alot berdiskusi.

Saat berdiskusi, ketika ada penerjemah yang tak mengerti gagasannya pada sebuah paragraf, kerisauan Eco makin bertambah-tambah. "Itu menunjukan pikiranku suram saat menulis paragraf itu," katanya. Jika sudah begitu, Eco kerap menjelaskan gagasannya dengan "bahasa" yang lain agar si penerjemah bisa mengerti. Ia akan menginterupsi dan mengajukan sebuah usul.

Dalam teori penerjemahan ada dua acuan yang dipakai para penerjemah yaitu berorientasi pada "bahasa sumber" atau orientasi pada "bahasa sasaran". Oleh Peter Newmark dua acuan itu dijabarkan menjadi delapan metode penerjemahan yang disebutnya Diagram-V, yaitu: (1) penerjemahan kata-demi-kata, (2) penerjemahan harfiah, (3) penerjemahan setia, (4) penerjemahan semantis, (5) saduran, (6) penerjemahan bebas, (7) penerjemahan idiomatis, dan (8) penerjemahan komunikatif. Menurut Newmark, hanya metode (4), (7), dan (8) yang hasilnya bisa disebut terjemahan.

Orientasi sasaran dipakai oleh William Weaver ketika menerjemahkan Pendolo di Foucault (1988), novel Eco yang lain, ke dalam bahasa Inggirs pada tahun yang sama menjadi Foucault Pendulum. Pada bagian 57, ketika Eco menggambarkan perjalanan tokoh utamanya di sebuah perbukitan, ia mengutip bait puisi Giacomo Leopardi, L'infinito, "al di la della siepe, come osservava Diotallevi". Pembaca Inggris, kata Eco, tak memahami bait itu karena tak hapal dan tak tahu Diotallevi. Sementara orang Italia, yang hapal luar kepala bait ini seperti orang Indonesia yang mengerti larik “Aku ini binatang jalang” dari penyair Chairil Anwar, akan langsung menangkap suasana perkampungan yang dikelilingi bukit-bukit bak pagar rumah lewat larik itu. Dengan pertimbangan rasa asing itu, Weaver kemudian menghilangkan kutipan itu. Setiap kali menemukan persoalan terjemahan seperti ini, kata Eco, "aku selalu tergoda untuk menulis ulang."

Milan Kundera, novelis kelahiran Brno, Republik Ceko, pada 1929 yang mukim di Prancis sejak 1975, dengan tegas menolak acuan yang dipakai Weaver ini Ia yakin dengan pandangannya bahwa sebuah karya sastra tak akan tergantikan oleh karya yang lain, sekalipun terjemahan. Baginya, "Sihir seni terletak pada keindahan bentuknya." Karena itu pengingkaran terhadap bahasa asli penulis akan mengurangi keaslian bentuk. Maka, misalnya, novelis yang terusir dari negerinya karena menulis sejumlah "novel politik" ini mengkritik hasil terjemahan The Castle karya penulis keturunan Yahudi yang tinggal di Ceko, Franz Kafka.

Dalam terjemahan The Castle (1926), Kundera banyak menemukan penyimpangan gagasan Kafka. Kundera, misalnya, mengkritik penggunaan persamaan kata dalam terjemahaan itu. Kafka yang menulis memakai kata-kata dasar dalam bahasa Jerman yang sederhana diubah menjadi kata-kata yang diberi imbuhan di sana-sini ketika diterjemahkan dalam Prancis atau Inggris. Kundera mengatakan upaya ini justru mengotori gagasan Kafka sendiri. Kundera menyebut para penerjemah seperti ini mengalami apa yang dinamakan "synonymising reflex". Penerjemah memperalat bahasa dengan mengulang dan mengganti kata dengan kata lain yang punya arti sama.

Khusus penerjemahan novel, dalam pengantar naskah drama Jacques and His Master (1994), Kundera mengatakan seperti ini: "Jika jiwa sebuah novel masih ada saat diterjemahkan atau ditulis ulang maka novel itu bernilai rendah." Kundera memang punya kerisauan lebih tinggi dibanding Eco terhadap karya-karya terjemahan atau karya adaptasi. Padahal pada awal karir kepenulisannya, Kundera juga seorang penerjemah.

Sikap keras itu tidak saja menjadi sikap dalam proses kreatif Kundera, tapi juga dalam kesehariannya. Sejak Juli 1985, Kundera menolak diwawancarai, melarang ucapannya dikutip, bahkan menolak menjelaskan novel-novelnya. Ia hanya mau wawancara secara tertulis dengan para wartawan atau editor. Ia menolak wawancara karena para wartawan sering salah kutip atau membuat pernyataan seolah-olah itu ucapannya, meski maksudnya bisa saja sama. Ia hanya akan menjelaskan novel yang telah diterbitkannya pada novel-novel terbarunya.

Karena itu dalam novel-novelnya Kundera membuat kamus mini untuk menunjukan maksud dari setiap kata atau istilah yang dibuatnya. Ia juga memberi penjelasan seputar latar, penentuan tema, atau pemilihan tokoh. Kundera, sebagai penulis dan narator, akan masuk terlibat dalam cerita untuk menjelaskan tokoh-tokoh yang telah diciptakannya itu pada tokoh-tokoh barunya. Bentuk novelnya memadukan sejarah, biografi, musik, situasi politik, secara naratif atau bergaya esai. Seperti diakuinya dalam salah satu kumpulan esainya, The Art of Novel, bahwa sebuah novel harus mempunyai jiwa. Jiwa itu meneruskan jiwa novel terdahulu dan menjabarkannya lebih lanjut dalam novel terbaru.

Meski meragukan karya terjemahan, Kundera tak menolak karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Novel-novel Kundera sendiri dibaca dunia dalam bahasa terjemahan karena aslinya novel-novel itu ditulis dalam bahasa Ceko. Novel-novelnya dalam bahasa Ceko maupun Prancis telah diterjemahkan ke dalam lebih 22 bahasa. Sejak mukim di Paris, Kundera mulai menulis dalam Prancis seraya mengoreksi dan mengawasi kerja penerjemahnya, Eva Bloch. Novel L'Immortalite yang semula ditulis dalam Ceko lalu diselesaikan dalam Prancis ketika diterbitkan pada 1988 edisi pertamanya mengalami 14 kali cetak ulang dengan lebih 100 perbaikan pada setiap cetakan.

Ketika Yayasan Akubaca menerbitkan terjemahan novel ini menjadi Kekekalan (2000), hasilnya mendapat kritik pedas dari penulis Nirwan Dewanto. Dalam rubrik buku di majalah Tempo edisi 28 Januari 2001, Nirwan memberi judul resensinya itu dengan "Mencederai Kundera". "Kundera sesungguhnya pengarang yang tertib," tulis Nirwan, "kalimatnya yang jernih, lugas, dan tajam terasa hilang dalam terjemahan Indonesianya."

Seni terjemahan memang tidak mudah dirumuskan. Karena komunikasi yang terjalin dalam sebuah karya terjemahan tidak lagi teks dengan pembaca, tidak saja penulis dengan pembaca, tapi penulis, penerjemah, teks, dan pembaca sekaligus. Maka alangkah tepatnya pemeo orang Italia itu.

Wednesday, August 04, 2004

MATA BAYI



Tak ada yang lebih tenang selain mata bayi. Sudahkah kamu tahu wajahku ketika matamu kupandang lama-lama? Matamu melirak-lirik seperti tahu aku sedang omong atau aku sedang mendongeng. Matamu bersih dan tajam. Kalau menatap lekat-lekat, seperti sedang menelisik. Apakah setiap mata bayi seperti itu?

Tapi mata bayi belum berair. Setiap kali kamu menangis, air matamu tak keluar. Mungkin karena menangis hanya satu-satunya pilihan untuk mengatakan sesuatu. Waktu awal-awal kamu lahir, kamu jarang menangis. Hingga aku dan ibumu harus membangunkanmu jika kamu pipis atau be-ol. Kamu terus saja tidur tak peduli popokmu basah dan lengket. Tapi, kini, setelah tiga minggu, tangismu keras, menjerit-jerit, bikin ibumu kaget dan meloncat. Tapi, aku senang, bayi, kamu menjerit keras. Sebab menjerit bisa melatih kekuatan jantungmu, mengeraskan otot-otot di tubuhmu. Sejenis olahraga yang rutin.

Semalam tak kurang lima kali kamu menjerit. Aku hanya tahu kabarnya saja lewat sandek ibumu, tiap kamu bangun. Mungkin dia capai, mungkin juga bingung, mengangkat dan mengganti popokmu sendirian. Setelah kesakitan itu, bayi, ibumu masih harus menyiapkan dan mengatur tenaganya untuk itu. Semoga, kelak, kamu mengingatnya lewat catatan ini.

Tapi aku suka berpikir lain. Jeritan kerasmu mungkin karena matamu kini sudah awas. Sudah tahu sekeliling kamar, raut ibumu, juga warna-warna yang kau tangkap. Kamu mungkin masih asing. Bagaimanapun, dunia tak seenak rahim ibu. Sehingga, kata ibumu, jeritanmu makin keras jika popokmu tak segera diganti. Kubilang pada ibumu, memang, jangan cepat-cepat menggendongmu jika kamu menangis karena kamu bisa jadi manja. Kamu sudah tahu jika menjerit maka pelukan dan susu ibu akan menghangatkanmu.



Seminggu kemarin aku tak melihatmu. Hey, kakimu sudah menjuntai melebihi batas kasurmu. Dulu, panjangmu masih selebar kasur itu. Kamu juga makin berat. Ketika kugendong, punggung dan lehermu sudah kokoh. Dulu aku takut tiap kali menggendongmu. Tapi di rumah sakit itu aku tiba-tiba jadi mahir menggendong bayi, dengan was-was takut salah pegang, karena suster tak memberi pelajaran.

Aku jadi tahu kini. Jika kau percaya bahwa kita bergerak terhadap waktu, lihatlah bayi. Waktu amat berharga bagi mereka. Sebab, setiap hari mereka terlihat tumbuh. Setiap pagi adalah pertambahan usia bayi. Sementara aku, setiap bangun pagi, tak pernah memikirkan bahwa usiaku sudah berkurang satu hari. Aku terlalu nikmat dengan dunia. Tapi pada tubuhmu, waktu begitu kasat mata.

Seperti matamu itu yang kini makin tajam dan awas saja. Begitu hidup tak ada redup. Pelupukmu tenang jika sedang tidur yang lelap dan lama. Setenang danau yang ditumbuhi lumut dan batu juga pohon-pohon tua yang ada dalam fiksi-fiksi lama. Wajahmu damai. Sedamai itulah yang kutangkap dalam pemandangan desa yang dilukis para pelukis dengan pohon pisang dan rerimbunan pakis.