Sunday, January 19, 2003

KOTA




GUBERNUR Jakarta itu berdiri tak kurang dari lima meter di depan saya. Ia sedang berpidato di depan ratusan pedagang saat meresmikan sebuah pasar di Jakarta Selatan. Terutama ia berbicara soal polusi di Jakarta. Dia menyodorkan data, Jakarta dipenuhi 11 juta manusia pada siang hari, padahal manusia yang menetap di ibukota ini hanya 9 juta. Selebihnya datang dari pinggiran: Bogor, Tangerang, Bekasi. "Mereka ini yang menebar polusi di Jakarta, bikin jalan macet, tapi pajak mereka masuk Jawa Barat," katanya. Nadanya penuh geram.

Maka Sutiyoso, nama gubernur dua periode itu, bertitah agar para pedagang selalu menjaga kebersihan pasar. Kalau tidak bisa, "Yo, wis balik ndeso meneh," yang disambut tawa pedagang. Dan selama pidato setengah jam itu, dia lebih banyak menyampaikan idiom dalam bahasa Jawa, kecuali ketika ia ngomong "gua" untuk dirinya sendiri, sesekali. Sutiyoso paham pedagang di Jakarta bukan orang asli Betawi. Para pedagang, dan mereka yang menangguk rezeki di ibukota, bukan mereka yang merasa memiliki kota ini. Sebagian besar penduduk Jakarta hanya sebagai flaneur.

Seorang teman, yang juga mendengarkan pidato Sutiyoso, tersenyum. Ia datang jauh dari dusun di Wonosobo, Jawa Tengah. "Jakarta," katanya menyeringai, "bukan tempat yang bagus untuk hidup." Saya terkejut. Saya kira ia betah tinggal di Jakarta. Wajahnya legam. Rambutnya gimbal tak kenal sisir. Setiap hari, dengan sepeda motornya, ia keluyuran keliling Jakarta mencari berita. Tak segan ia datang ke Merunda di Jakarta Utara jika ia dengar ada orang mati dibunuh malam tadi. Sorenya ia sudah mewawancarai polisi di Jakarta Barat, atau bertadang ke Balai Kota.

Si teman ini, saya yakin, hapal betul seluk beluk Jakarta: panasnya, macetnya, klakson mobil-mobilnya, pengkolan-pengkolannya, taman-tamannya. Tapi, saya ragu, adakah ia mencintai kota ini. Sepertinya tidak. Ia selalu mengutuknya sebagai kota yang salah lahir, salah bentuk, juga salah urus. Maka, ia hanya menyeringai mendengar titah Sutiyoso itu.

"Jakarta hanya bagus untuk korupsi... juga bunuh diri," ia berbisik mendekatkan mulutnya yang bau asem asap tembakau. Bunuh diri? Ia menyebut sebuah hasil penelitian. Katanya, umur orang Jakarta makin pendek dari tahun ke tahun karena lingkungan yang buruk. Ia membenarkan omongan Sutiyoso, tapi tak sepenuhnya setuju. Orang tuanya di kampung, katanya di antara semburan asap rokok, kini masih hidup dan bugar di usianya yang ke-80, bahkan masih bisa nyangkul di sawah dengan mulut menggepit kretek.

Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari tulis Jujur Prananto lewat cerpennya di Kompas menjelang lebaran 1999. Jakarta memang menyenangkan saat lebaran: tak ada macet yang jadi hantu bagi para pejalan, tak ada jerit klakson, tak ada deru, tak ada debu. Pada lebaran orang-orang pulang, dengan bus, feri, meski harus tidur di depan loket agar kebagian tiket. Mudik selalu disambut dengan suka cita. Stasiun TV bahkan harus merelakan sebagian acaranya untuk secara khusus meliput arus mudik di terminal, pelabuhan, pintu tol, dan kampung-kampung. Dan mudik telah membuat arti "pulang" berkait erat dengan Jakarta.

Kata pulang, di kota ini, telah tereduksi menjadi dua arti. Pulang dalam arti balik dari tempat kerja ke rumah kontrakan; atau pulang mudik ke kampung. Dua-duanya tak menunjukan kepemilikan kepada Jakarta. Dua-duanya mengasingkan diri dari Jakarta. Kota ini bukan sebuah tujuan akhir yang direncanakan. Jakarta hanya sebagai tempat singgah.

Tapi, Koes Plus menyanyikan Kembali ke Jakarta dengan riang. Jakarta ternyata masih membawa semangat, daya tarik, harapan, meski tetap saja terdengar hanya kesementaraan. Seperti teman saya ini (ia ternyata masih bersemangat ngomong di sana), sejelek apapun ia mengutuk Jakarta, toh ia tetap memulai hari dengan semangat: pagi-pagi berkeliling dengan motornya hingga sore dan baru pulang ke rumah lepas malam. "Ah, itu sih tuntutan," katanya, membuang ludah, dan mengisap rokoknya, "mau makan apa anak dan istriku..." Ia terus saja menyerocos, hingga ia lupa Sutiyoso sudah menyelesaikan pidatonya. "Wah, opo beritane?...."

No comments: