Friday, January 27, 2012

GERGASI

JIKA ada kota yang terasa menelan semesta yang hidup di sekelilingnya, kita harus mengunjungi London. Gedung-gedung menjulang, berat, kokoh, dengan gaya ghotik yang purba. Sementara jalan-jalan menyempit, hanya konblok yang menampung dua taksi hitam yang mengingatkan pada cerita-cerita Agatha Christie. Bus-bus merah bertingkat hilir mudik, mengangkut manusia ke beragam tujuan yang tak final.

Manusia yang memiuh dan memenuhi trotoar jadi mengecil. Kita tak berarti apa-apa di antara keriuhan itu, bahkan jika Anda berperan sebagai Sherlock Holmes atau M. Hercule Poirot sekalipun. Kota ini seperti tak ingin dikalahkan oleh kecerdikan apapun. Dan sejarah telah mengekalkan kemenangan itu pada batu-batu gerbangnya yang padas, pada bata merahnya yang lawas.

Barangkali seperti New York.

Dalam cerita-cerita Umar Kayam, misalnya Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, New York juga menelan manusia-manusia di dalamnya seperti seorang rakus melahap kue tart: tak pernah kenyang, selalu meminta, dan senantiasa lapar. Kota-kota kosmopolitan pada akhirnya menyediakan mulut yang superlebar. Kita masuk ke dalamnya dan terasing di dalamnya.

London kini punya problem itu. Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri mengeluhkan kian derasnya orang-orang Eropa Timur atau dari belahan dunia manapun masuk ke London. Di keramaian dan pedestrian, kita bisa mendengar pelbagai macam bahasa diucapkan. Seorang Armenia penjual mainan di dekat kedai pinggir Trafalgar Square tiba-tiba saja berteriak, "Ayo, murah-murah..." Mungkin karena melihat wajah melayu saya.

Mau tak mau, suka tak suka, merekalah para imigran ini yang menopang ekonomi London, bahkan Inggris, karena mereka mau dan bisa bekerja apa saja, bahkan pekerjaan paling kotor sekalipun. Mereka juga rajin. Sebab itu para majikan senang.

Dan para majikan mungkin kini juga datang dari luar. Di daerah Soho, dekat Picadilly Circus, seorang pengusaha berhitung di daerah situ restoran dan warung makan hampir sebagian besar dimiliki orang asing. Bar Italia, restoran Cina, warung Jepang, kari India.

Tapi ada juga yang menuding, para imigran juga menyebabkan problem sosial yang mulai serius. Mereka yang tak rajin dan tangannya tak terpakai para majikan, berkeliaran di jalan. Seorang ibu asal Nothing Hills mengingatkan agar berhati-hati dengan dompet dan uang: copet bisa dengan lihai merogohkan tangannya ke dalam tas kita.

Pertumbuhan ekonomi yang sudah mentok di kawasan Eropa membuat beban pemerintah kian berat di negeri sosialis seperti Inggris. Karena itu usia pensiun tak lagi dibatasi agar beban APBN tak habis mengongkosi mereka yang sudah tak produktif. Tapi akibatnya--karena ekonomi mandeg dan investasi surut--lapangan pekerjaan tersendat sementara usia kerja--anak-anak muda yang butuh uang untuk pesta dan pelesir--terus tumbuh dari tahun ke tahun. Karena itu kebijakan itu jadi debat dan dikritik bisa jadi bumerang pengangguran.

Tapi begitulah problem sebuah kota, gergasi yang tak pernah mati.

No comments: