Saturday, June 21, 2003

SEKOLAH




Ivan Illich mungkin keliru ketika ia menyerukan Deschooling Society pada 1974. Mungkin juga ia akan menangis hari-hari ini. Everett Reimer bisa jadi salah ketika mengajak orang untuk meninggalkan sekolah karena lembaga itu "sudah mati".

Illich keliru karena kini orang mau berbuat apa saja untuk bisa sekolah. Lihat saja hari-hari ini. Di Universitas Indonesia orang tak keberatan mengeluarkan ratusan juta rupiah agar bisa belajar jadi dokter. Di ITB, lebih fantastis lagi, 10 orang tua calon mahasiswa rela mengeluarkan Rp 1 miliar melalui jalur khusus.

Mencengangkan juga memang, di hari-hari ini, masih ada orang yang menaruh kepercayaan pada arti penting sekolah sehingga mau mengeluarkan uang sebesar itu. Ini juga menunjukan bahwa di negara yang defisitnya masih di atas 1 persen ini, yang utangnya menggunung ini, masih saja ada segelintir orang yang punya investasi (di Pondok Indah ada pengusaha yang perhisaannya di rumah lalu dibobol maling senilai Rp 8 miliar! Berapa jumlah depositonya?).

Biaya sekolah memang mahal. Ini juga konsekuensi dari mulai dicopotnya subsidi untuk pendidikan. Ada yang menggembirakan dari kebijakan semacam ini. Pemerintah kini tak terlalu turut campur menentukan hitam-putih sebuah universitas. Kini, universitas sendiri yang berjibaku mengelola dirinya sendiri: dari keuangan hingga kinerja dosen-dosennya dan pelayanan akademis lainnya.

Dulu, pemerintah menyediakan dana Rp 18 juta setiap tahun untuk setiap mahasiswa. Kini hanya disediakan Rp 5 juta saja per mahasiswa per tahun. Kebutuhan selebihnya harus diusahakan sendiri oleh universitas. Tidak semuanya, memang, universitas yang sudah berstatus Badan Hukum Milik Negara. Sampai kini baru ada empat yaitu ITB, IPB, UI, dan UGM. Negara akan berfokus pada penyediaan dana pendidikan sembilan tahun.

Situasi ini memaksa universitas untuk meningkatkan mutu agar terus diminati, agar tak ditinggalkan. Yang terjadi kemudian adalah persaingan pasar yang ditentukan oleh seberapa besar mutu yang ditawarkan. Semangat nasionalisme kemudian tumbuh. Orang akan percaya pada universitas dalam negeri untuk mencapai prestise dan status sosial.

Kita sudah bosan hanya duduk termangu menyaksikan miliaran investasi mengalir ke luar negeri hanya karena orang berduit tak percaya pada mutu pendidikan lokal. Orang berduit beramai-ramai menggelontorkan uangnya ke luar negeri untuk mendapat ijazah dari universitas mentereng. Kini, kita tahu ada segelintir orang kaya yang masih menaruh kepercayaan pada sekolah dalam negeri.

Pada akhirnya, pendidikan semacam ini juga akan semakin mengglobal menghilangkan batas-batas wilayah dan negara. Pendidikan di sini akan sama derajatnya dengan pendidikan di Amerika, Malaysia, atau Eropa--kalau berhasil meningkatkan dan mensejajarkan mutu itu. Investasi akan tetap berputar di dalam negeri yang akan menjadi modal terus bergairahnya ekonomi. Pendidikan bagus, ekonomi tumbuh adalah dua hal yang dicita-citakan dan dikejar pelbagai negara.

Di Harvard, konon, hanya ada dua jenis mahasiswa yang sekolah di sana. Kalau tidak pintar, ya, pasti orang kaya. Singapura, negeri tertib yang menyadari betul pentingnya pendidikan, merayu orang-orang pintar di setiap negara untuk mau menjadi warga negara permanen. Pemerintah akan menjamin hidup orang-orang ini untuk mewujudkan negara super power.

Tapi, hal yang lebih mengkhawatirkan adalah terlalu banyak korban dari sistem pendidikan semacam ini. Karena harus berduit, pendidikan tak akan berpihak pada kaum miskin--seperti selalu dikecam dan diramal Ivan Illich dan kawan-kawannya itu. Sekolah hanya akan menyediakan lahan bagi praktek korupsi saja. Universitas hanya akan menerima mahasiswa yang berduit saja. Karena banyak juga orang yang tak merasakan bangku sekolah bisa mengubah jalan hidup banyak orang.

Tapi, pemerintah berjanji akan membentuk lembaga audit yang transparan (seringkali kita dengar kalimat ini). Pemeringkatan mungkin bisa menjadi saringan yang agak efektif. Siswa yang punya peringkat pertama saat tes masuk, bisa membayar lebih murah dibanding siswa yang punya peringkat ke seribu.

Sistem yang baru ini memang masih perlu ditunggu efektifitasnya, agar pendidikan masih bisa untuk semua, juga agar sekolah tak mati sebagai sumber pendidikan (dengan "P").

No comments: