Sunday, January 12, 2003

TEKNIK MENULIS BERITA*

Oleh Bagja Hidayat**

Menulis adalah pekerjaan seni. Pelukis terkenal Sudjojono pernah ditanya seseorang, "Bagaimana Anda melukis?" Sudjojono malah balik bertanya, "Apakah saudara punya buku panduan naik sepeda?" Begitulah. Menulis berita pun tak jauh beda dengan pekerjaan melukis.

Namun, karena berita menyajikan fakta-fakta, ada kaidah-kaidah tertentu yang tak boleh ditinggalkan seorang wartawan. Ada begitu banyak buku panduan dan teknik menulis berita yang sudah diterbitkan yang ditulis wartawan senior, meski pokok-pokoknya mengacu pada satu hal. Jika pun makalah ini ditulis, hanya sedikit pokok-pokok yang bisa dijelaskan, karena menulis berita tidak mungkin diuraikan secara sistematis.

Berbeda dengan majalah yang sifat beritanya lebih analisis, berita keras tidak boleh beropini. Sehingga tulisan hanya menyajikan fakta-fakta. Dan waktu juga menjadi perhatian lainnya. Berita majalah berbentuk feature berita sehingga sifanya tidak tergantung waktu. Sedangkan koran yang terbit harian sifat beritanya pun terbatas oleh waktu. Esok harinya, sudah ada berita baru sebagai perkembangan berita sebelumnya. Apalagi media dotcom yang melaporkan perkembangan dari jam ke jam bahkan dari menit ke menit. Di sini hanya akan dibatasi menulis berita keras.

Judul
1. Judul berita sebisa mungkin dibuat dengan kalimat pendek, tapi bisa menggambarkan isi berita secara keseluruhan. Pemberian judul ini menjadi penentu apakah pembaca akan tertarik membaca berita yang ditulis atau tidak.

2. Menggunakan kalimat aktif agar daya dorongnya lebih kuat. Seorang penulis novel terkenal, Stephen King, pernah mencemooh penulis yang menggunakan kalimat aktif. "Kalimat pasif itu aman," kata King. Mungkin benar, tapi memberi judul berita bukan soal aman atau tidak aman. Judul aktif akan lebih menggugah. Bandingkan misalnya judul "Suami Istri Ditabrak Truk di Jalan Tol" dengan "Truk Tronton Tabrak Suami Istri di Jalan Tol". Judul kedua, rasanya, lebih hidup dan kuat. Namun pemberian judul aktif tidak baku. Ada judul berita yang lebih kuat dengan kalimat pasif. Biasanya si subyek berita termasuk orang terkenal. Misalnya judul "Syahril Sabirin Divonis 3 Tahun Penjara."

3. Persoalan judul menjadi menarik seiring munculnya media berita internet. Memberi judul untuk koran yang waktunya sehari tidak akan memancing pembaca jika mengikuti peristiwa yang terjadi, karena peristiwa itu sudah basi dan ditulis habis di media dotcom. Memberi judul untuk koran sebaiknya memikirkan dampak ke depan. Misalnya, judul "Syahril Sabirin Divonis 3 Tahun Penjara."

Bagi koran yang terbit esok pagi, misalnya, judul ini basi karena media dotcom dan radio (juga) televisi, sudah memberitakannya begitu vonis dijatuhkan. Untuk mengetahui dampak ke depan setelah vonis dijatuhkan, wartawan yang meliput harus kerja lebih keras. Misalnya dengan bertanya ke sumber-sumber dan Syahril sendiri soal dampak dari vonis itu.

Pembaca, tentu saja ingin tahu perkembangan berikutnya pada pagi hari setelah mendengar berita tersebut dari radio, televisi dan membaca internet malam sebelumnya. Namun, soal judul untuk koran dan media dotcom dengan cara seperti ini masih menjadi perdebatan. Karena judul "Syahril Sabirin Divonis..." masih kuat ketika ditulis esok harinya. Ini hanya soal kelengkapan saja. Jika dotcom dan media elektronik hanya membuat breaking news-nya saja, koran�karena mempunyai waktu tenggat lebih lama�bisa melengkapi dampak-dampak tersebut di tulisannya, meski memakai judul yang sama.

Lead
1. Selain judul, lead bisa menjadi penentu seorang pembaca akan melanjutkan bacaannya atau tidak. Sehingga beberapa buku panduan menulis berita menyebut lebih dari 10 lead yang bisa dipakai dalam sebuah berita. Namun, hal yang tak boleh dilupakan dalam menulis lead adalah unsur 5W + 1H (Apa/What, Di mana/Where, Kapan/When, Mengapa/Why, Siapa/Who dan Bagaimana/How) . Pembaca yang sibuk, tentu tidak akan lama-lama membaca berita. Pembaca akan segera tahu apa berita yang ditulis wartawan hanya dengan membaca lead. Tentu saja, jika pembaca masih tertarik dengan berita itu, ia akan melanjutkan bacaannya sampai akhir. Dan tugas wartawan terus memancing pembaca agar membaca berita sampai tuntas.

2. Lead terkait dengan peg atau biasa disebut pelatuk berita. Seorang reporter ketika ditugaskan meliput peristiwa harus sudah tahu "pelatuk" apa yang akan dibuat sebelum menulis berita. Pelatuk berbeda dengan sudut berita. Ada satu contoh. Misalkan seorang reporter ditugaskan meliput banjir yang merendam ratusan rumah dan warga mengungsi. Yang disebut sudut berita adalah peristiwa banjir itu sendiri, sedangkan peg adalah warga yang mengungsi. Mana yang menarik dijadikan lead? Anda bisa memilih sendiri. Membuat lead soal mengungsi mungkin lebih menarik dibanding banjir itu sendiri. Karena ini menyangkut manusia yang secara langsung akan berhubungan dengan pembaca. Berita lebih menyentuh jika mengambil lead ini. Manusia, secara lahiriah, senang menggunjingkan manusia lain.

Badan Berita
1. Penentuan lead ini juga membantu reporter menginventarisasi bahan-bahan berita. Sehingga penulisan berita menjadi terarah dan tidak keluar dari lead. Inilah yang disebut badan berita. Ada hukum lain selain soal unsur pada poin 1 tadi, yakni piramida terbalik. Semakin ke bawah, detail-detail berita semakin tidak penting. Sehingga ini akan membantu editor memotong berita jika space tidak cukup tanpa kehilangan pentingnya berita itu sendiri.

2. Untuk lebih mudahnya, susun berita yang berawal dari lead itu secara kronologis. Sehingga pembaca bisa mengikuti seolah-olah berita itu suatu cerita. Teknik ini juga akan membantu reporter memberikan premis penghubung antar paragraf. Hal ini penting, karena berita yang melompat-lompat, selain mengurangi kejelasan, juga mengurangi kenyamanan membaca.

3. Cek dan ricek bahan yang sudah didapat. Dalam berita, akurasi menjadi hal yang sangat penting. Jangan sungkan untuk menanyakan langsung ke nara sumber soal namanya, umur, pendidikan dan lain-lain. Bila perlu kita tulis di secarik kertas lalu sodorkan ke hadapannya apakah benar seperti yang ditulis atau tidak. Akurasi juga menyangkut fakta-fakta. Kuncinya selalu cek-ricek-triple cek.

Bahasa
1. Bahasa menjadi elemen yang penting dalam berita. Bayangkan bahwa pembaca itu berasal dari beragam strata. Bahasa yang digunakan untuk berita hendaknya bahasa percakapan. Hilangkan kata bersayap, berkabut bahkan klise. Jika narasumber memberikan keterangan dengan kalimat-kalimat klise, seorang reporter yang baik akan menerjemahkan perkataan narasumber itu dengan kalimat-kalimat sederhana. Tentu saja kita tidak mengerti jargon-jargon yang seperti, "Disiplin Mencerminkan Kepribadian Bangsa" yang ditulis besar-besar pada spanduk. Siapa yang peduli bangsa? Berita yang bagus adalah berita yang dekat dengan pembaca.

2. Menulis lead yang bicara. Untuk mengujinya, bacalah lead atau berita tersebut keras-keras. Jika sebelum titik, nafas sudah habis, berarti berita yang dibuat tidak bicara, melelahkan dan tidak enak dibaca. Ada buku panduan yang menyebut satu paragraf dalam sebuah berita paling panjang dua-tiga kalimat yang memuat 20-30 kata. Untuk menyiasatinya cobalah menulis sambil diucapkan.

3. Berita yang bagus adalah berita yang seolah-olah bisa didengar. Prinsipnya sederhana, makin sederhana makin baik. Seringkali reporter terpancing menuliskan berita dengan peristiwa sebelumnya jika berita itu terus berlanjut, sehingga kalimat jadi panjang. Untuk menghindarinya, jangan memulai tulisan dengan anak kalimat atau keterangan. Agar jelas, segera tampilkan nilai beritanya.

4. Menghidari kata sifat. Menulis berita dengan kata sifat cenderung menggurui pembaca. Pakailah kata kerja. Menulis berita adalah menyusun fakta-fakta. Kata "memilukan", misalnya, tidak lagi menggugah pembaca dibanding menampilkan fakta-fakta dengan kata kerja dan contoh-contoh. Tangis perempuan itu memilukan hati, misalnya. Pembaca tidak tahu seperti apa tangis yang memilukan hati itu. Menuliskan fakta-fakta yang dilakukan si perempuan saat menangis lebih bisa menggambarkan bagaimana perempuan itu menangis. Misalnya, rambutnya acak-acakan, suaranya melengking, mukanya memerah dan lain-lain. "Don't Tell, But Show!"

5. Menuliskan angka-angka. Pembaca kadang tidak memerlukan detail angka-angka. Kasus korupsi seringkali melibatkan angka desimal. Jumlah Rp 904.775.500, lebih baik ditulis "lebih dari Rp 904 juta atau lebih dari Rp 900 juta".

Ekstrak
1. Jangan pernah menganggap pembaca sudah tahu berita yang ditulis. Dalam menulis berita seorang reporter harus menganggap pembaca belum tahu peristiwa itu, meski peristiwanya terus berlanjut dan sudah berlangsung lama. Tapi juga jangan menganggap enteng pembaca, sehingga timbul kesan menggurui. Menuliskan ekstrak peristiwa sebelumnya dalam berita dengan perkembangan terbaru menjadi penting.

Panduan ini tidak mutlak untuk menulis berita. Masih banyak hal yang belum dijelaskan dalam makalah ini. Hal paling baik bisa menulis berita yang enak dibaca adalah mencobanya. Jadi, selamat mencoba.

* makalah dalam pelatihan jurnalistik mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 28 Februari 2002.
** wartawan Tempo News Room

Referensi:

1. Simbolon, Parakitri T., 1997. Vademekum Wartawan. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia
2. Hadad, Toriq dan Bambang Bujono (Ed)., 1997. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta. Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni Tempo

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

SEPERTI TARIAN BURUNG CAMAR

Farid Gaban

Tulisan yang hidup adalah senjata penting untuk menaklukkan minat pembaca di tengah persaingan antar media komunikasi yang kian ketat. Mereka dikangeni karena berjiwa -- personal, memiliki sudut pandang yang unik dan cerdas, serta penuh vitalitas.

Tulisan yang baik tak ubahnya seperti tarian burung camar di sebuah teluk: ekonomis dalam gerak, tangkas dengan kejutan, simple dan elok. Tulisan yang baik adalah hasil ramuan ketrampilan (reporter) menggali bahan penting di lapangan dan kemampuan (redaktur) menuliskannya secara hidup.

TUJUH ELEMEN

Apapun subyeknya, setiap karya jurnalistik yang bagus memiliki setidaknya tujuh unsur.

Informasi
Adalah informasi, bukan bahasa, yang merupakan batu bata penyusun sebuah tulisan yang efektif. ''Prosa adalah arsitektur, bukan dekorasi interior,'' kata Ernest Hemingway. Untuk bisa menulis prosa yang efektif, penulis pertama-tama harus mengumpulkan kepingan informasi serta detil konkret yang spesifik dan akurat -- bukan kecanggihan retorika atau pernik-pernik bahasa.

Signifikansi
Tulisan yang baik memiliki dampak pada pembaca. Dia mengingatkan pembaca pada sesuatu yang mengancam kehidupan mereka, kesehatan, kemakmuran maupun kesadaran mereka akan nilai-nilai. Dia memberikan informasi yang ingin dan penting diketahui pembaca. Serta meletakkan informasi itu dalam sebuah perspektif yang berdimensi: mengisahkan apa yang telah, sedang dan akan terjadi.

Fokus
Tulisan yang sukses biasanya justru pendek, terbatasi secara tegas dan sangat fokus. ''Less is more,'' lagi-lagi kata Hemingway. Umumnya tulisan yang baik hanya mengatakan satu hal. Mereka mengisahkan seorang serdadu atau seorang korban, bukan pertempuran. Memperbincangkan sebuah person, sebuah kehidupan, bukan sebuah kelompok sosio-ekonomi.
''Don't write about Man, write about a man,'' kata Elwyn Brooks White, seorang humoris Amerika.

Konteks
Tulisan yang efektif mampu meletakkan informasi pada perspektif yang tepat sehingga pembaca tahu dari mana kisah berawal dan kemana mengalir, seberapa jauh dampaknya dan seberapa tipikal. Penulis yang tak terlalu piawai menyajikan konteks dalam sebuah kapsul besar secara sekaligus, sehingga sulit dicerna. Penulis yang lebih lihai menggelombangkan konteks ke seluruh cerita.

Wajah
Manusia suka membaca tulisan tentang manusia lainnya. Jurnalisme menyajikan gagasan dan peristiwa -- trend sosial, penemuan ilmiah, opini hukum, perkembangan ekonomi, krisis internasional, tragedi kemanusiaan -- dengan memperkenalkan pembaca kepada orang-orang yang menciptakan gagasan dan menggerakkan peristiwa. Atau dengan menghadirkan orang-orang yang terpengaruh oleh gagasan dan peristiwa itu.
Tulisan akan efektif jika penulisnya mampu mengambil jarak dan membiarkan pembacanya bertemu, berkenalan serta mendengar sendiri gagasan/informasi/perasaan dari manusia-manusia di dalamnya.
''Don't say the old lady screamed -- bring her on and let her scream,'' kata Mark Twain, jurnalis dan novelis pengarang The Adventure of Tom Sawyer.

Bentuk
Tulisan yang efektif memiliki sebuah bentuk yang mengandung dan --sekaligus -- mengungkapkan cerita. Umumnya berbentuk narasi. Dan sebuah narasi bakal sukses jika memiliki semua informasi yang dibutuhkan pembacanya dan jika ceritanya bisa diungkapkan dalam pola kronologis aksi-reaksi. Penulis harus kreatif untuk menyusun sebuah bentuk yang memungkinkan pembacanya memiliki kesan komplet yang memuaskan, perasaan bahwa segala yang ada dalam tulisan mengalir ke arah konklusi yang tak terhindarkan.

Suara
Kita tak boleh lupa, bahkan dalam abad komunikasi massa seperti sekarang kegiatan membaca tetap saja bersifat pribadi: seorang penulis bertutur kepada seorang pembaca. Tulisan akan mudah diingat jika mampu menciptakan ilusi bahwa seorang penulis tengah bertutur kepada pembacanya. Majalah/koran yang baik tak ubahnya seperti pendongeng yang memukau. Dan penulis yang baik mampu menghadirkan warna suara yang konsisten ke seluruh cerita, tapi menganekaragamkan volume dan ritme untuk memberi tekanan pada makna.

Secara ringkas, tulisan yang baik mengandung informasi menarik dan berjiwa. Menarik karena penting, terfokus dan berdimensi. Serta berjiwa, karena berwajah, berbentuk dan bersuara.

TULISAN YANG MEMBLE : TUJUH KEGAGALAN

  • Gagal menekankan segala yang penting -- seringkali karena gagal meyakinkan bahwa kita memahami informasi yang kita tulis.
  • Gagal menghadirkan fakta-fakta yang mendukung.
  • Gagal memerangi kejemuan pembaca. Terlalu banyak klise, hal-hal yang umum. Tak ada informasi spesifik yang dibutuhkan pembaca.
  • Gagal mengorganisasikan tulisan secara baik -- organisasi kalimat maupun keseluruhan cerita.
  • Gagal mempraktekkan tata bahasa secara baik; salah membubuhkan tanda baca dan salah menuliskan ejaan.
  • Gagal menulis secara balans, sebuah dosa yang biasanya merupakan akibat ketidakpercayaan kepada pembaca, atau keengganan untuk membiarkan fakta-fakta yang ada mengalirkan cerita sendiri tanpa restu dari persepsi penulis tentang arah cerita yang benar. Dengan kata lain: menggurui pembaca, elitis.
  • Semua kegagalan itu bermuara pada kegagalan untuk mengkaitkan diri dengan pembaca. Banyak tulisan akan lebih baik -- dan banyak tulisan yang dianggap sulit akan menjadi lebih mudah -- jika kita ingat bahwa kita tidak sedang menulis sebuah novel besar. Kita hanya mencoba menyalurkan sesuatu kepada mereka yang telah membeli koran kita.