Thursday, July 03, 2003

HUTANKU, HUTANKU




Ilmu ekonomi, kata orang, adalah ilmu yang murung. Ini bukan saja karena ilmu ini selalu bertemu dengan sederet rumus-rumus dan angka-angka yang rumit. Tapi, karena ilmu yang satu ini selalu menyimpan sebuah tetapan yang disembunyikan. Kemiskinan adalah variabel tersembunyi dan disembunyikan dalam setiap rumus ekonomi pembangunan. Maka itu, tidak heran jika semakin moncreng pembangunan, semakin banyak pula orang miskin.

Dengan dalih itu pula, tentu saja untuk menggenjot devisa, 15 perusahaan tambang diizinkan kembali beroperasi di hutan lindung. Celakanya, ini sudah disetujui DPR dan akan disahkan dalam undang-undang. Jangan-jangan kita, kelak, tak hanya akan mengimpor beras, tapi juga oksigen.

Bayangkan saja, setiap hari, ketika Anda baca tulisan ini, hutan kita hilang seluas 1.445 kali lapangan sepak bola. Pernah lihat lapangan sepak bola? Kalikan saja dengan angka itu. Maka, dalam setahun hutan seluas provinsi Jawa Barat hilang dari muka bumi.

Tidak ada yang aneh, sebetulnya, dengan angka-angka ini. Ketika pada 2000 saya berkunjung ke Muara Wahau, ujung utara Kalimantan Timur, dan menginap dua bulan di sana untuk keperluan penelitian, saya melihat dari dekat betapa hutan itu lenyap perlahan-lahan. Sejauh mata memandang, hanya ilalang dan rumput gajah yang tumbuh sisa kebakaran 1997.

Di pedalaman itu pula mesin-mesin berat menggerus pohon-pohon dan memadatkan tanah. Para pekerja, dengan otot yang mengkilap, merangsek maju semakin dalam, menerjang kecuraman yang melewati batas semestinya. Ketika saya tanya kenapa itu dilakukan juga, mereka hanya nyegir dan menjawab "apa boleh buat" sambil lalu. Saya ditertawakan sebagai orang yang kutu buku, terlalu setia pada rumus dan peraturan.

Gunung dibelah untuk membuka jalan guna menggenapkan target produksi. Saya tak melihat perusahaan tambang di sana beroperasi waktu itu. Tapi, dengan ketentuan ini kelak, saya sudah bisa membayangkan apa yang terjadi dengan pohon-pohon dan kijang di sana. Saya sudah membuktikan, hutan Kalimantan tak seseram yang dibayangkan dan seganas cerita orang-orang. Ia tak lagi sehimpun pohon-pohon berdiameter besar yang angker.

Mengorbankan lingkungan semacam ini jelas bukan rumus yang disembunyikan. Lingkungan sudah sangat jelas bagaimana manfaatnya. Pemerintah atau DPR mungkin tak mempertimbangkan ketika mereka berdebat merumuskan beleid itu, ada banyak oksigen yang dihembus-hirupkan. Tapi, mungkin juga iya. Karena di gedung yang terhormat itu angin bukan datang dari sepoi pepohonan, tapi dari hembusan pendingin yang diputar menyamai suhu di Praha.

Ada 30 juta hektare hutan lindung kita yang tersisa yang memasok udara bagi kita, bagi dunia, kini. 12 juta hektare dari jumlah itu akan disurvei kedalamannya dan berharap menemukan galian tambang di sana. Ini memang akan menambah pendapatan negara. Padahal, nilai ekonomi dari hutan yang tetap tegak akan jauh lebih besar dan jauh lebih panjang. Kerugian ekonomi Jakarta saja belum tergantikan akibat terjangan banjir tahun lalu.

Ilmu ekonomi memang murung, semurung orang-orang yang mempraktekannya, juga kita yang ketiban akibatnya.

No comments: