Tuesday, February 21, 2012

JOKOWI

Ketika hari pengumuman ia menang Pilpres 2014.
TAK banyak orang seperti Jokowi. Walikota Solo ini memberi teladan soal bagaimana seharusnya seseorang jadi pejabat--seseorang yang ditunjuk khalayak untuk dipercaya mengatur hajat hidup orang banyak. Dua jam ia duduk di kantor saya menjelaskan dengan tangkas bagaimana ia mengatur Solo yang dirundung banyak soal pada awal ia memimpin.

Hanya Solo yang kantor walikotanya dibakar hingga tiga kali. Politiknya labil dan banyak ideologi ekstrim berkumpul di sini. PKI dulu punya markas di Jalan Bumi, kini pesantren Ngruki juga ada di Solo. Dan, ya, kerusuhan Mei 1998 dimulai dari kerusuhan kecil di Solo. Jokowi mewarisi itu semua, belum lagi soal birokrasi yang lamban.

Setiap hari ia hanya satu jam duduk di kantornya. Urusan klerikal sudah ia serahkan kepada kepala dinas. Izin-izin dan surat yang perlu diteken sudah ada staf yang mengurusnya. Sisanya, ia habiskan di lapangan: mendengar keluhan-keluhan, melihat apa yang kurang dan bobrok, lalu mencari solusinya dengan cepat. Untuk masalah-masalah yang tak bisa ia putuskan karena menyangkut kepentingan orang banyak, Jokowi mengajak ngobrol mereka dan mengkompromikan solusinya. Bagi dia tak ada soal yang tak bisa diputuskan dengan dialog.

Pemindahan pedagang itu ia harus mengundang para pedagang yang tak mau dipindahkan sebanyak 54 kali sarapan di rumah dinasnya. Ia ngomong langsung, membujuk, dan memaparkan rencana dan keuntungan-keuntungan jika pasar dipindahkan. Pada sarapan ke-54, semua pedagang bersepakat memindahkan lapak mereka. Kini pasar itu terpusat dan tertata rapi. Jokowi menjadi satu dari sedikit Walikota yang berhasil memindahkan pasar tanpa harus ada penggusuran, seperti di banyak kota lain.

Saat periode pertama jadi Walikota, Jokowi membuat "rembug Solo". Pentolan-pentolan masyarakat ia undang sampai tingkat kelurahan. Ada 600 orang dalam setiap pertemuan. Tahun pertama ia hanya diam mendengarkan. Semua orang memaki dan mencurahkan kekesalannya kepada pemerintah. Dari gedung DPRD juga tak sedikit yang mengepruknya.

Tahun kedua, para pemaki mulai bosan marah, mereka menunggu solusi. Jokowi memerinci soal-soal penting yang harus diselesaikan segera. Soal pembuatan KTP, misalnya. Orang Solo mengeluh karena proses membuatnya bisa sampai dua bulan, itupun harus nyogok petugas dengan uang tak sedikit. Jokowi berjanji pembuatan KTP maksimal satu jam dengan biaya administrasi Rp 5.000.

Ia kumpulkan pejabat di bawahnya dan menyampaikan gagasan itu. Tak sedikit yang menolak meski sudah dijelaskan manfaatnya. Pejabat yang plintat-plintut dengan rencana itu ia ganti. Hanya sekali mereka yang menolak diajak rembugan. Ia cari orang yang setuju dengan gagasannya. Dan membuat KTP kini tak kurang satu jam.

Begitulah, Jokowi menjinakkan birokrasi yang lelet. Dalam soal pendidikan dan kesehatan ia juga membuat sistem asuransi yang efektif. Kabarnya, sekolah hingga SMA di sana gratis dan puskemas menyediakan layanan cuma-cuma untuk orang miskin. Hasil mengefektifkan manajemen birokrasi itu, Solo bisa menambah pendapatan asli daerah dari Rp 50 miliar menjadi Rp 176 miliar. "Itu hanya merapikan, loh, bukan menambah pos seperti menaikkan restribusi," katanya.

Mendengar orang seperti Jokowi berbicara, rasanya, Indonesia bisa beres jika ada sepuluh orang seperti dia. Di balik perangainya yang lembut dan ndeso, kita bisa tahu dan melihat gagasan besar terwujud, kita bisa melihat bahwa niat tak hanya berhenti sebanyak retorika. Barangkali bukan gagasan besar juga, itu hanya gagasan kecil yang bisa direalisasikan. Kita menilai membuat KTP yang mudah, murah, dan cepat itu sebuah gagasan besar karena tak banyak pejabat yang bisa melakukan itu.

Dengan kerja yang efektif, politik juga jadi efesien. Pada periode kedua, Jokowi menang mutlak dengan meraup 94 persen suara. Itu artinya, 40 persen orang yang tak suka kepadanya saat terpilih pada periode pertama sudah bisa menerima gagasan dan kerjanya. "Tapi sekarang juga masih ada 6 persen orang Solo yang tak suka saya," katanya.

Ia punya perhitungan politik yang detail. Ketika ia digadang-gadang jadi Gubernur Jakarta, ia tak segera setuju karena belum jelas perhitungan politik dalam soal dukungan. "Buat apa maju, kalau untuk kalah," katanya.

Ia selalu bilang, tak punya potongan jadi Gubernur. "Ini bukan basa-basi, saya selalu mengitung dengan cermat setiap tindakan," katanya. Tahun pertama jadi Walikota Solo saja, katanya, ia sering dikira ajudan ajudannya. Setiap orang yang ia temui menyalami lebih dulu si ajudan yang, kata Jokowi, "Mmmmbodi sekali." Daripada repot, si ajudan dengan terpaksa ia ganti dengan, "Yang postrunya lebih pendek dari saya."

Selama tujuh tahun jadi Walikota, ia tak pernah mengambil gajinya yang Rp 5,5 juta plus tunjangan. Ia bilang, sudah tak perlu gaji karena semua sudah disediakan pemerintah: rumah, mobil dinas, biaya telepon, tiket pesawat. Barangkali karena ia memang sudah kaya dari sononya: bapaknya juragan mebel yang ia teruskan usahanya. "Tapi, kebutuhan saya memang tak banyak, dan saya sudah merasa cukup," katanya.

Dan pada Jokowi kita masih bisa berharap bahwa karir politik itu ada. Dia datang dari PDI Perjuangan, tapi tak ada kabar ia memakai jalan politik untuk menggelembungkan pundi-pundi partainya.

Selama ini, politik seperti tak punya struktur dan sistem untuk memunculkan para pemimpin. Jika di masa represif Orde Baru kita bisa melihat orang-orang yang menonjol dalam pergerakan, setelah reformasi, kantung-kantung itu mengempis dan tak kelihatan orang yang bisa diharapkan tampil ke panggung politik.

Mungkin jalan demokrasi kita harus memutar lebih dulu sehingga orang-orang politik lahir bukan dari karir partai. Dengan sistem partai yang acak-adul seperti ini, dengan biaya yang begitu besar plus syahwat para pengusaha hitam merongrong kekuasaan, demokrasi kita melahirkan orang-orang seperti Nazaruddin di DPR. Mereka yang masuk dunia politik bukan untuk bekerja bagi kepentingan orang banyak, tapi mencari untung untuk kantong pribadi dan partainya.

Pada Jokowi, mungkin juga Dahlan Iskan, kita tahu Indonesia masih punya harapan....

No comments: