Friday, November 21, 2003

MUDIK



MUDIK barangkali sama tuanya dengan umur kota-kota. Karena mudik berarti pulang ke kampung--sebuah tempat, yang kadang-kadang diartikan, selain Jakarta. Bisa juga hanya berarti pulang. Tapi, jika bukan untuk berlebaran, pulang ke kampung jarang disebut mudik. Kata mudik, sepertinya, asosiasi artinya hanya saat lebaran, bukan pada "pulang" itu sendiri.

Kata mudik itu sendiri berasal dari udik, sebuah kata yang merujuk pada wilayah yang bukan kota, tertinggal, terbelakang--yang mendapat tambahan awal meng-. Mengudik kemudian meluluh menjadi mudik, karena bukan saja tak enak dilafalkan, tapi tak pas sebagai bentukan baru.

Mungkin hanya di Indonesia saja, lebaran dirayakan dengan mudik. Saya belum mendengar di belahan negara lain ketika menjelang lebaran atau hari raya ada migrasi manusia dalam jumlah yang gila-gilaan dari suatu tempat ke tempat lain. Di Amerika ada Thanksgiving Day, di mana semua keluarga juga harus kumpul. Tapi, tak pernah terdengar, di California tiket pesawat ludes menjelang hari istimewa itu dan orang rela antri untuk dapat selembar karcis.

Kata Umar Kayam, sosiolog yang sering bisa lucu ini, mudik itu "Suatu ritus yang tidak jelas apakah itu suatu keajaiban fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya (1993)." Mungkin ketiganya sekaligus. Barangkali juga sudah bisa dijadikan satu, ya, fenomena lebaran di Indonesia.

Lebaran bisa membuat semua orang repot. Tapi, itulah bedanya di sini. Meski umur mudik sudah tua, dan selalu berulang setiap tahun, macet dan antri tiket masih tetap saja terjadi. Antisipasi itu jauh panggang dari api.

Tapi orang tak peduli. Pemerintah mau peduli atau tidak, mudik adalah kewajiban. Ketemu keluarga setelah setahun ditinggalkan itu yang utama, juga rada-rada pamer sesuatu dari hasil jerih payah di kota. Pokoknya saat lebaran, para tetangga di kampung harus tahu, bekerja di Jakarta atau di kota memang gampang menghasilkan uang. Itu buktinya; ada mobil, sepeda motor, atau penampilan terlihat lebih baik.

Barangkali di situ jeleknya. Setiap kali arus balik terjadi, jumlah pebalik (kalau mudik disebut pemudik) jauh lebih besar dibanding pemudik. Kota makin penuh oleh orang yang mengadu untung, atau sekedar tergiur dan iri. Bisa jadi mereka sengsara ketika sampai di kota, tak punya ongkos untuk pulang lagi, jadi gelandangan yang mencemaskan. Mungkin dari situ, Koes Ploes bilang "Jakarta memang kejam, hu...hu...hu..."

Setiap mudik, jarang sekali saya menemukan ada anak lulus sekolah dasar ketika ditanya pekerjaannya gembala kerbau atau sapi atau ternak lainnya. Rata-rata bujang-bujang tanggung tetangga itu dengan sedikit bangga bilang telah kerja di Jakarta. Kerjanya macam-macam, dari buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dll. Teman-teman sekolah dulu, sehabis lulus mereka pasti pergi ke ladang.

Dengan menggembala kerbau, si anak dapat satu anak kerbau setiap tahun dari majikannya. Jika lima tahun gembala, si anak sudah punya modal untuk kawin karena ongkos mas kawin cukup jual satu kerbau, sisanya buat beli tanah pertanian. Dengan nyicil satu rumah bilik sudah bisa dibangun pada tahun ke dua. Tapi ke kota, anak-anak muda itu hanya dapat Levi's palsu dari Tanah Abang. Gaya dan prestise lebih penting dibanding masa depan yang jelas.

Tapi, jangan pusing-pusing dengan kalkulasi ini. Ini bulan baik. Mudik juga sesuatu yang baik. Jadi, selamat mudik, selamat lebaran, maaf lahir dan batin. Maaf jika ada kesalahan-kesalahan selama menulis di blog ini. Konon, kesalahan itu seperti kentut: tidak terlihat tapi terasa, tidak bersuara tapi terdengar, kadang ditahan-tahan tapi juga seringkali sengaja dilakukan. Karena seperti kentut, mudah-mudahan kesalahanitu juga segera cepat hilang.

ULANG TAHUN

Tepat saat lebaran, 25 November nanti, blog ini juga merayakan hari jadinya yang pertama. Mudah-mudahan, seraya mendoakan diri sendiri, yang punya blog terus punya tenaga untuk terus menulis di sini. Posting pertama sebuah petikan novel yang tidak jadi dan kedua seputar pengalaman mudik di Pantura setahun yang lalu.

Friday, November 14, 2003

FILM




"Umur seseorang ditentukan oleh apa yang dibacanya pertama kali di koran". Kalimat ini tentu saja datang dari sebuah film Hollywood. Judulnya Murder at 1600. Ceritanya seputar aksi detektif mengungkap siapa pembunuh Carla Town. Carla adalah seorang yang sedang magang di Gedung Putih dan terlibat cinta segitiga dengan presiden, dan anak presiden. Mirip apa yang terjadi dengan Monica Lewinsky. Film ini mungkin juga sepenuhnya diadapatasi saat Gedung Putih dikendalikan Bill Clinton.

Kalimat itu diucapkan oleh Alvin Jordan, seorang penasihat sekaligus kepercayaan Presiden Neil. Jordan ketika itu sedang dikorek keterangannya oleh detektif Sergis yang pusing menghubung-hubungkan semua kejadian dan data yang dimilikinya seputar Carla yang mati di kloset Gedung Putih dengan luka tusukan di sekujur tubuh. "Apa yang kau baca pagi ini?" tanya Jordan. "Berita kematian," jawab Sergis. Saat itu, semua mata media di Amerika sedang tertuju ke istana karena kematian Carla menyisakan teka-teki skandal apa yang terjadi di Gedung Putih. Ini bisa fatal, tahun depan Neil akan kembali mencalonkan diri, juga 9 orang tentara ditawan Korea Selatan.

Jordan tertegun. Upaya mengalihkan perhatian Sergis tak mempan. Sambil memulai joging, ia menimpali setengah menasihati, "Bacalah komik, agar umurmu lebih panjang." Ini dialog yang cerdas, karena misteri Carla lambat-laun terkuak. Hollywood selalu punya cara agar para penonton tak beranjak sebelum tanda tanya itu selesai terjawab. Maka di sana-sini misteri-misteri bermunculan, data-data berhamburan, pendeknya penonton diajak berpusing laiknya si Sergis dan Nina Chance (diperankan Diane Lane, agen rahasia Gedung Putih yang membelot ke Sergis). Tidak lupa dialog-dialog menggelitik juga disusupkan.

Ini bukan film baru dari segi tema. Hollywood selalu punya cara bagaimana mereka mengolok-olok penghuni Gedung Putih. Seorang pejabat di Jakarta berseloroh soal perbedaan film Indonesia dengan Barat [mungkin yang mau dikatakannya Hollywood itu] ketika berapi-api menjelaskan suatu topik yang sedang kontroversial. "Kau tahu apa bedanya?" tanyanya. Kami tahu pertanyaan itu akan dijawabnya sendiri, kami diam saja. "Film Indonesia itu sudah tahu akhirnya 1/4 sebelum selesai; kalau film Barat di akhir cerita masih ada pertanyaan," ia belaga sok benar.

Tapi mungkin juga benar, bagi pejabat yang rambutnya licin karena pomade Italy itu, film Indonesia tak mengajak orang berpikir. Keadaannya pas, buat apa mikirin film, mikirin perut saja setengah ampun. Maka lebih baik menonton film Hollywwod saja yang katanya bagus itu, sambil nyeruput teh tubruk pada larut malam di televisi. Toh, film yang bagus juga tak jadi jaminan pikiran kita akan jadi pintar setelah keluar dari rumah, ketemu banyak orang, naik bus dan waspada dari copet dan pemalak. Karena bisa jadi benar, umur seseorang ditentukan apa yang dibacanya pertama kali di koran.

Sunday, November 09, 2003

PUASA



Awal pekan lalu saya belanja ke Carrefour Lebak Bulus. Ada beberapa alat rumah yang harus dibeli. Lumayan, sekedar mulai nyicil. Masuk ke sana sekitar jam 4 sore. Mak, penuhnya tempat belanja ini. Tangga berjalan penuh-sesak. Susah bergerak. Masuk ke dalam sami-mawon. Saya harus menyeret-seret tangan istri agar terbebas dan mendapat tempat yang lumayan lengang. Dan itulah tempatnya : rak pisau dapur. Ini satu-satunya tempat yang lengang di Carrefour.

Pekan lalu kelompok wartawan ekonomi diundang buka puasa bersama oleh seorang pejabat Bank Indonesia. Tempatnya di restoran Pulau Dua, Senayan. Saya datang ke restoran karena tak punya pilihan buka puasa ketika sedang liputan di DPR. Di tengah jalan adzan sudah terdengar. Saya telat masuk Pulau Dua. Alamak, penuhnya restoran ini. Saya dan beberapa teman yang telat, makan dan minum es kelapa muda duduk di pagar pembatas restoran.

Akhir pekan lalu kami buka puasa di rumah makan Ayam Bakar Wong Solo di Bogor. Istri saya ngebet ingin nyoba ayam bakar yang kata orang enak dan, terutama, ada jus poligami. Di tayangan hiburan televisi, jus ini disebut-sebut sebagai khas Wong Solo. Maka kami ke sana selepas magrib. Aduh, ini tempat sama juga, kursi yang kosong hanya tempat kasir yang berdiri karena kerepotan meladeni orang yang mau bayar. Saya menunggu orang yang sudah selesai. Setelah ada, saya pesan ayam bakar dan udang goreng kesukaan. Selain makannya biasa saja, bumbunya pun tak pas di lidah. "Sambalnya manis," kata istri saya. Wong Solo ternyata biasa saja. Merek (poligami pemiliknya yang beristri empat) dan tayangan tivi yang membantu Wong terdengar begitu nikmat.

Kabarnya, di mana-mana selalu begitu. Saat beduk magrib, tempat makan enak dan mahal diserbu orang. Jalanan lengang pada jam buka. Kemacetan yang rutin pindah ke jam 4 sore atau 9 malam. Pada puasa orang berlomba meladeni nafsu makan yang tertahan sejak subuh. Dan pada magrib itulah saat melampiaskannya. Padahal, makanan enak dan tak enak terbayang menjelang detik-detik adzan magrib saja. Perut toh sudah kenyang hanya dengan segelas teh manis dan semangkuk kolak pisang. Bukankah Nabi berbuka hanya dengan beberapa biji kurma?

Konsumsi jadi lebih tinggi pada bulan Ramadan. Uang beredar naik Rp 5 triliun. Saya curiga ini data di Jakarta dan kota besar saja. Puasa saatnya makan enak. Aneh juga. Di beberapa negara lain, kabarnya, puasa justru menurunkan tingkat konsumsi. Warung-warung tutup karena tak ada pembeli. Pemiliknya ingin merayakan puasa juga tanpa harus lelah kerja. Orang lebih senang berbuka di rumah. Kumpul dengan keluarga. Saya tidak tahu apakah di sana ada tradisi buka puasa bersama. Bukankah puasa artinya mengekang? Mengekang hawa nafsu termasuk keinginan membeli, menghambur duit, dll. Benar juga kata seorang teman, Indonesia ini yang krisis hanya negaranya, bukan individu-individunya. Negara hanya punya duit Rp 349,9 triliun untuk mengelola negara sebesar ini.

Puasa di sini juga telah jadi bahasa birokrat. Ada buka puasa bersama, ada magrib bersama, tarawih bersama. Ini maksudnya bersama antara menteri dan bawahannya. Bersama antara petinggi dan bawahannya. Kenapa tak ada sahur bersama? Dan semua ini konotasinya senang-senang. Hikmah puasa tak lagi memahami derita si miskin. Dulu ada safari Ramadan yang jadi ajang kampanye. Sekarang sudah hilang tapi bahasa birokratnya masih lekat. Ritual puasa telah jadi seragam.

Wednesday, November 05, 2003

PENGGUSUR TERBAIK




Setelah dinobatkan sebagai negara terkorup, Indonesia kini juga mendapat penghargaan sebagai negara penggusur perumahan warga terbaik bersama Guatemala dan Serbia-Montenegro.

PRESS RELEASE
THE COHRE HOUSING RIGHTS AWARDS 2003



Download Press Kit (Microsoft Word 245kb)

Indonesia, Guatemala and Serbia & Montenegro Criticised for Severe Housing Rights Violations; Scotland Praised; American Activist Killed Protecting a Palestinian Home Posthumously Honoured.