KACA restoran pom bensin di Jalan Basuki Rahmat, dekat pasar Gembrong, Jakarta Timur, itu ditutup kain kuning dengan tulisan: Selamat menunaikan ibadah puasa plus gambar hotdog yang sedang mengepul. Di siang terik begitu, ucapan itu seperti sedang meledek. Sebab di balik kain kuning itu, kaki-kaki bergoyang.
Dan kain itu memang tak ditujukan untuk kita, orang yang di luar restoran--tak cuma orang yang sedang puasa. Kain-kain penutup di warung makan dan restoran dipakai untuk menutup dan memberi rasa nyaman kepada mereka yang duduk di dalam. Barangkali itulah cara menghormati orang yang berpuasa yang kian melenceng. Kain-kain tak lagi berfungsi menutup hawa nafsu bagi mereka yang berpuasa. Sebab tanpa ditutup pun kita tahu di dalam banyak orang yang sedang makan atau merokok. Sedang minum jus atau es blewah.
Cara "menghormati" itu adalah peninggalan zaman euphimisme, ketika segala tindak tanduk hanya berfungsi dan berhenti sebagai formalitas. Demi toleransi dan saling menghormati antar penduduk, kain itu perlu dibentangkan meski praktis tak berfungsi menumbuhkan toleran. Toh, pada warung yang terbuka tanpa kain pun kita bisa cuek.
Sebab itulah hakikat puasa: menahan diri dari godaan nafsu yang telanjang. Pada akhirnya, iman bukan soal yang mesti ditutupi.