Sunday, March 30, 2008

SERIUSNYA ORANG JEPANG




Betapa seriusnya orang Jepang dalam segala hal. Di sungai Kamo--yang bantaran kiri-kanannya ada taman sakura, bangku-bangku yang cantik, dan beberapa lapangan bermain--sepasang suami-istri bermain tolakkan. Ketika lemparan keduanya nyaris sama dari titik pusat, si istri mengeluarkan meteran dan mengukur jarak dua peluru besi itu. Si istri bersorak karena pelurunya lebih dekat--mungkin cuma beberapa mili.

Atau acara televisinya. Di NHK ada acara dua jam menghadirkan 20 fanelis membahas bagaimana binatang makan. Setiap fanelis mengomentari setiap binatang yang ditayangkan itu. Dan liputannya bisa sampe New Zealand atau Afrika Selatan.

Tak hanya serius, mereka juga mau repot. Menulis kanji itu ada aturannya, dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Jika dari arah berlawanan, kanji itu bisa tak ada artinya kendati bentuknya mirip.

Beda dengan huruf latin. Huruf E bisa ditulis dari segala arah asalkan bentuknya menyerupai garfu buntung. Dan kita mengerti itu huruf E yang bisa berarti jika bergabung dengan huruf-huruf lain. Konon, anak muda sekarang--yang modis dan dimanjakan teknologi--sudah jarang yang bisa menulis kanji meski masih bisa membaca. Komputer dan ponsel membuat mereka alfa.

Jepang adalah negeri yang tak sungkan menyerap hal-hal dari luar tanpa melupakan apa yang sudah ada di dalam. Di sini pom bensin ditulis dengan bahasa Inggris dengan menyertakan bahasa lokal dengan kanji. Anak-anak muda tampil modis, meski terkesan agak korban mode: di halte itu anak-anak perempuan memakai bot sampai lutut dengan membiarkan paha tertampar cuaca dingin karena celana yang super pendek.

Tapi repot dan serius itu memang banyak manfaatnya. Jalanan rapi, jadwal kereta tertib. Selain bisa membuat orang Jepang juga mau dan mampu merawatnya. Di sini tempat wisata sebagian besar bermuatan sejarah: kuil-kuil, beneteng, dan istana kaisar.

Kitano Tenman-gu di pusat Kyoto berusia 1.061 tahun, tapi masih resik dan terawat. Selain dalam brosur, informasinya bertebaran di Internet. Para turis sudah tinggal menikmati "aroma sejarahnya" jika berkunjung ke tempat-tempat wisata yang jarang menyediakan pemandu.

Bagi kita--bangsa konsumen ini--merawat adalah problem yang bikin repot. Kereta reot dengan bangku dan dinding yang penuh coretan, bau, dan becek. Masinis kerepotan mencegat penumpang tak bertiket karena malas menciptakan aturan dan mekanisme yang memaksa orang mau beli tiket. Jadwal keberangkatan seringkali tak pasti. Ini, tentu, setelah kita mengenyampingkan faktor korup para pengelolanya.

Mungkin Jepang tak bisa dikejar. Terutama dari sisi teknologi. Dan teknologi butuh biaya mahal. Sementara kita, konon, masih miskin--meski APBN zaman Megawati cuma Rp 400 triliun dan kini jumlahnya dua kali lipat.

Jepang juga dulu hancur. Mereka terpuruk pasca perang dunia. Tapi mereka bangkit, mungkin dengan melakukan segala hal dengan serius itu tadi.

Saturday, March 29, 2008

BUKU JEPANG



Selain mobil dan rumah yang mini, buku-buku cerita Jepang juga juga berukuran kecil. Sehingga orang bisa memegangnya dengan satu tangan di bus, di kereta, di halte. Simpel dan mudah dibaca, dengan kertas kuning yang bagus. Buku itu bisa disimpan di saku jas atau jaket, sehingga gampang ditarik ketika akan dibaca.

Dan tak ada orang yang tak baca buku di kereta, subway, trem, atau bus. Mereka membaca sambil berdiri: satu tangan memegang buku, tangan lain berpegangan. Mereka membaca kendati perjalanan hanya dua atau tiga stasiun. Yang tidak membaca biasanya tidur atau menonton televisi lewat ponsel, atau main gim, atau membaca dan mengirim sms. Tak ada gaduh atau brisik. Yang mengobrol memelankan suara.

Dan membaca, agaknya, bukan sebuah kegiatan yang istimewa. Ini sebuah kebiasaan membunuh waktu percuma. Membaca sama dengan duduk, berdiri, menguap. Para pembaca tak diselidik-selidik sedang membaca buku apa. Atau mereka yang baca juga tak merasa diri "orang terdidik" yang memanfaatkan waktu luang dengan pegang buku, sementara sudut mata lirik kiri-kanan mencari adakah orang yang memperhatikannya.

Ah, saya sedang menempuh Kyoto-Osaka, bukan Jakarta-Bogor di kereta Pakuan.

Wednesday, March 26, 2008

ORANG JEPANG



Jangan bertanya kepada orang Jepang, karena dia akan meninggalkan segala urusannya untuk menjawab pertanyaanmu. Saya berbelanja di sebuah toko sayur dan iseng bertanya, apa nama benda seperti kayu menyerupai singkong yang dijual di tokonya. Ia berhenti menghitung belanjaan, menghampiri saya dan menyebutkan sebuah nama dalam bahasa Jepang.

Tentu saja, saya tidak mengerti. Dengan bahasa Inggris yang cekak, ia berusaha menjelaskan semampunya. Tetap saja saya tak mengerti. Pembeli, sementara itu, mengantri akan bayar. Dengan perasaan tak enak saya memintanya kembali ke mejanya. Ia meminta maaf karena tak bisa bikin saya mengerti. Saya juga minta maaf karena menyela pekerjaannya.

Urusan rupanya tak berhenti di situ. Setelah pembelinya selesai membayar, ia kembali menghampiri saya yang masih melihat-lihat. Ia kembali menjelaskan tanaman itu. Aduh, dua kali menjelaskan, dua kali pula saya tak mudeng. Ia kesulitan mencari terjemahan nama (mungkin sejenis ubi) dalam Inggris. Saya menyudahi dengan pura-pura mengerti. Ia meminta maaf jika penjelasannya tak memuaskan. Saya mengangguk sekali, dia dua kali.

Sampai di rumah, saya tahu jawabannya. Dalam buku Polite Fiction--sebuah buku kecil yang menarik tentang bertolak-belakangnya budaya Amerika dan Jepang dan menjadi bacaan wajib kelas persilangan kebudayaan--Nancy Sakamoto menjelaskan bagaimana orang Jepang menjawab pertanyaan. Setiap orang Jepang, kata Nancy, akan merasa bertanggung jawab jika ditanya. Ia akan menjelaskan semampunya, tak peduli ia pun sedang sibuk dengan urusannya.

Nancy, seorang dosen Amerika yang mengajar di universitas Jepang, lalu bersuamikan orang Jepang. Ini buku pengalamannya sendiri bagaimana bergaul dalam budaya yang segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Suaminya mengeluh ketika mengunjungi Amerika karena di sana orang bertanya remeh temeh di meja makan. Pak Sakamoto sampai tak selesai makan karena harus menjawab setiap pertanyaan. Sementara orang Amerika makan sambil berbicara.

Dalam buku itu, seorang Amerika teman Nancy berkunjung ke Jepang dan menyewa guide untuk pelesiran. Di sebuah kuil, sambil melihat-lihat, si Amerika itu iseng bertanya: berapa tinggi pohon plam itu? Celaka, si guide tak memegang informasi itu. Ia pun minta maaf. Esoknya, ketika si Amerika sudah punya urusan lain, si guide menelepon. "Saya baru saja dapat informasi tinggi pohon yang anda tanya kemarin...." Astaga.

Istri saya mengalami juga. Sewaktu ia baru datang ke sini, di kampus ia akan menyalin satu tulisan. Mesin foto copy ternyata macet. Ia bertanya kepada temannya yang sedang makan siang, kenapa mesin ini tak berfungsi. Si teman, tanpa disangka, bangkit dan meninggalkan makanannya itu. Ia berniat mengopikan kertas istri saya itu. Mereka sampai tarik-tarikkan kertas karena istri saya tak mau mengganggu makan siangnya, sementara teman Jepang keukeuh membantu menyalin di mesin lain.

Di sini, orang bertanya disangka minta bantuan. Karena dari kecil serba mandiri, orang Jepang melakukan segala hal sendiri. Ketika ada orang lain minta bantuan, mereka menyangka orang itu sudah tak sanggup melakukannya sendiri, untuk hal remeh sekalipun. Dan orang Jepang, kata Nancy, menganggap orang lain itu "superior". Tapi, seorang teman membisikkan, orang Jepang diam-diam menganggap diri mereka "ras" terbaik. Dan, ini jeleknya, kadang lain di mulut lain pula di hati, juga terkesan tak peduli.

Di stasiun Kyoto, misalnya, saya lihat seorang nenek bongkok kesulitan naik tangga dengan tas di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri. Ratusan orang yang menyalip si nenek itu seolah tak peduli di sana ada manusia sedang kepayahan. Saya sudah geregetan ingin membantu membawakan tasnya. Tapi, bantuan saya mungkin akan ia tolak, atau saya malah akan dianggap aneh karena menolong seorang nenek di tangga stasiun, salah-salah dianggap akan melakukan kejahatan. Wah...

Tuesday, March 25, 2008

JALANAN JEPANG



Di Jepang, ditilang di jalan adalah sebuah aib. Seorang gadis tak mau keluar dari mobilnya ketika pak Polisi sibuk mencatat nama, nomor mobil, tanggal, dan waktu pelanggaran. Dia mencatat lama sekali. Saya yang menontonnya dari seberang jalan di samping Kyoto Perpectural, sampai menghabiskan setengah es krim.

Akhirnya si gadis itu keluar juga. Ia menunjuk-nunjuk ke arah ia parkir salah tadi. Di sana, rupanya, ada mobil lain juga yang melanggar. Pak Polisi terus menulis, si gadis terus menunjuk-nunjuk. Ia balik ke mobil, pak Polisi belum selesai juga. Tak tahulah apa yang dia catat dalam dokumen tilang itu.

Dan adegan itu menjadi tontonan para pejalan. Ada yang iseng-iseng mengintip apa yang ditulis si polisi itu, ada yang menyalakan kamera dan mengambil gambar adegan tilang itu, ada yang memotret--seperti saya. Saya pikir ini mungkin kejadian langka karena orang Jepang sendiri terlihat begitu ingin tahu dengan adegan tilang itu. Mereka saling berbisik, sengaja berhenti untuk menonton, atau cuma tersenyum dan geleng kepala sambil terus berjalan.

Catat-mencatat itu selesai juga. Si Gadis kembali ke mobilnya dengan cemberut. Ketika akan menutup pintu, sepasang manula menyalipnya dengan sepeda, dan entah berbicara apa sambil tertawa. Yang jelas, si gadis kembali naik pitam. Ia tak henti mengomel dan mengacung-acungkan tangan ke arah penunggang sepeda itu.

Pak polisi, sementara itu, kembali ke arah mobil yang ditunjuk si gadis. Mungkin ia mau menilang pengemudi salah parkir yang lain.

Ditilang rupanya memang sebuah aib. Apapun kesalahannya. Di negeri yang tertib seperti Jepang, aib datang dari kerumunan, dari hukum sosial yang tak jelas pasal-pasalnya, tapi mengikat orang dan menjadi pelumas dalam hukum positif. Atau, mungkin juga, karena orang Jepang gampang dan bisa diatur, dengan pasal paling rumit sekalipun.

Dan di jalanan itu orang teratur. Jalanan sepi dari bising suara. Tak ada bunyi klakson yang mengagetkan. Orang khusyuk berjalan atau mengemudi. Yang mengobrol memelankan suara.

Mobil-mobil berhenti jauh di belakang garis stop, yang jaraknya lima meter dari zebra cross. Kalau lampu sudah menyala merah, penunggang sepeda motor yang tanggung melaju pun akan berhenti dan kembali mundur. Sebab jalanan itu, selama satu menit itu, milik pejalan dan penunggang sepeda.

Dan orang tak malas menyeberang. Perempatan selalu menyediakan zebra cross dengan lampu merah menyala selama seukuran langkah bayi sampai ke ujung sana. Tak ada jembatan penyeberangan yang bikin repot.

Ada memang yang melanggar. Seperti di dekat persimpangan Kyoto University itu. Puluhan pejalan, dengan jas lengkap, overcoat, atau jaket yang necis, sedang menunggu lampu menyebang berwarna hijau ketika sepasang anak muda menyelonong karena mobil di simpang lain sudah berhenti.

Mereka mengira lampu segera akan hijau. Ketika tahu langkahnya tak diikuti pejalan lain, yang perempuan ketawa sambil menenggelamkan mukanya ke dada pacarnya. Rautnya memerah malu. Mereka lalu berjalan cepat diikuti tatapan puluhan pasang mata penyeberang lain.

Di sini angkutan publik juga efektif, selain pasti karena tepat waktu. Bus berhenti di halte dengan pintu masuk persis di lantai kuning tempat penumpang berderet antri. Mereka naik dari pintu belakang, dan turun dari pintu depan sambil menyodorkan tiket terusan 500 Yen yang bisa dipakai seharian ke mana dan bus apa saja.

Pak sopir--dengan jas, dasi, sarung tangan, dan mikropon--itu tinggal duduk di kursinya, lalu mengemudi dengan waspada. Tak perlu mengatur duduk penumpang, karena tanda gambar sudah berbicara banyak: ibu hamil, bawa anak, orang sakit, dan jompo mendapat prioritas kursi. Dan penumpang, di sini, tak antusias mendapat kursi. Meski bus lowong dan kursi kosong, orang-orang muda memilih tetap berdiri. Bus-bus tak memerlukan kernet yang meneriakkan jurusan. Nomor bus adalah jurusan itu.

Sepanjang hari pak sopir itu tersenyum kepada setiap penumpang yang turun, mengangguk, dan mengucapkan "arigato". Ia akan sigap menaikkan penumpang yang memakai kursi roda hingga duduk nyaman di dalam bus, dan memastikan kursi roda tak menggelinding ketika bus berjalan dengan mengikatkannya ke kursi lain.

Begitulah, di sebuah peradaban, orang bisa mengatur dirinya sendiri.

Saturday, March 15, 2008

CATATAN 30



ada gagak hinggap di antena
--sebuah tanda pagi yang menyiksa

matahari cuma cahaya

alarm itu, barangkali, hanya sebuah karilon
pada jam-jam yang basah. kyoto mendesah
malam, lalu kita bergumam, hanya singgah
di balkon

kota pun masih tidur
sirine cuma melindur

tapi kenangan itu sudah pergi

Wednesday, March 12, 2008

KYOTO



Pagi menggeliat di Kyoto. Jangan menelepon orang jam 10, mereka masih tidur. Kerai toko belum naik. Jalanan lengang. Padahal ini akhir musim dingin, ketika termometer kembali bisa mencatat udara: 10 derajat Celcius. Hari cerah, matahari berkibar-kibar.

Kota tua ini baru hidup menjelang tengah hari. Penjual sayur dan kembang baru menata dagangannya di kaki lima dengan payung terpal seadanya. Orang-orang keluar rumah dengan sepeda atau berjalan kaki di trotoar yang resik. Mereka tak lagi memakai jaket tebal atau kupluk dan sarung tangan, meski tetap dengan jaket atau sweter dan sepatu.

Kebanyakan orang-orang tua, sangat tua. Jika di Jakarta, mungkin mereka akan diam saja di rumah, alih-alih berjalan-jalan di sepanjang trotoar. Tapi di sini hak mereka terjamin, sama seperti mamalia lain yang berjalan tegak, bisa bernapas dan berpikir, yang kita sebut manusia. Mobil-mobil akan berhenti jika mereka akan menyeberang, sementara tak ada lampu merah di jalanan satu arah yang sempit.

Juga di trotoar. Tak ada pedestrian atau kaki lima selebar tiga meter seperti di Jakarta. Di sini trotoar cukup satu sampai 1,5 meter saja. Tapi di sana banyak hal tertampung: sepeda, pejalan kaki, warung-warung. Jika akan berpapasan, satu mengalah, seringkali dua-duanya. Biasanya, orang tua yang didahulukan, baru yang membawa anak, kemudian yang muda-muda. Mobil? Sabar, nanti belakangan.

Jepang adalah sebuah negara yang efektif. Rumah-rumah, jalan-jalan, mobil-mobil, berukuran mini. Kemubaziran dihindari. Hal ihwal dibuat untuk difungsikan.

Orang Jepang terkenal sopan dan penurut. Jared Diamond memasukkan orang Jepang sebagai kekuatan dunia modern. Sikap dan budaya mereka, tulis Jared dalam Guns, Germs, and Steel--yang memenangi Pulitzer itu--adalah contoh sebuah peradaban.

Bayangkan, mereka mau saja diatur memisahkan sebelas jenis sampah sebelum dibuang. Tapi itu di Minamata. Di Kyoto, sampah cuma ada dua jenis: plastik dan bukan plastik. Karena itu kota lama ini masih tergolong kota yang tak ramah lingkungan. Astaga! Padahal tak ada sampah dan ludah di jalanan, apalagi comberan.

Sebagai orang Indonesia saya malu. Dan kita tertipu. Kita dibuai oleh sejarah yang mengecap kita sebagai bangsa yang santun. Saya merasa, di Kyoto ini, cap itu sebuah cemooh. Kita tak pernah bisa diatur dan mengatur diri sendiri. Kita tak pernah bisa menghormati hak orang lain, seperti orang Jepang menghormati manusia lain, seperti di jalanan itu.

Seperti umumnya turis, saya memotret setiap sudut jalan. Hanya di trotoar itu saja. Saya tak sadar di belakang ada pejalan lain yang berhenti karena potret saya itu. Mereka menunggu saya selesai mengambil gambar, meski saya sudah mepet ke sisi untuk memberi jalan mereka. Tapi mereka tetap diam. Saya mengangguk karena mereka mengangguk. Saya mengangguk sekali, mereka dua kali. Kemudian mereka lewat dengan memberi permisi.

Santun dari mana kita ini, Indonesia?