Friday, August 17, 2007

SIAPA YANG TAHU DI MANA BERAKHIRNYA MATA SEORANG PENYAIR?



Jenis puisi apakah yang bisa membikin orang marah? Bukan puisi mimbar apalagi puisi kamar, tapi puisi gagal. Puisi yang bukan “sebuah sajak yang menjadi”—untuk mengutip Chairil Anwar dalam sebuah pidato radio di tahun 1946.

Sebuah sajak yang menjadi menyediakan sebuah proses yang terus berlanjut kendati sajak itu telah selesai ditulis. Sebuah tualang yang tak berakhir. Ia mengalir-menjalar ke jauh bawah sadar, menjadi sebuah pengalaman puitik dalam diri pembacanya. Puisi yang gagal, sebaliknya, membuat orang sewot. Karena itu tak heran jika orang marah membaca sajak Malaikat.


Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru

2007

[Pikiran Rakyat, 4 Agustus 2007]

Saeful Badar mengolok dengan kenes sosok malaikat yang sudah umum hidup dalam bawah sadar kita lewat cerita-cerita kitab suci. Ia "menggugat" tingkah mahluk tak berdosa itu lewat puisi, seraya melupakan anasir renungan dan sublimasi kata. Orang marah karena malaikat yang sudah hidup dalam “sejarahnya” itu dicemooh secara dangkal oleh sajak satu kuplet ini.

Sama halnya ketika kita manyun karena sosok Si Boy dalam sandiwara radio itu muncul diwakili Onky Alexander dalam film. Sosok Onky meruntuhkan “tafsir” kita atas sosok Si Boy yang cuma hadir suaranya. Kita membayangkan Si Boy begini dan begitu, ini dan itu, lalu yang muncul Onky. Tafsir, karena itu, bersifat subjektif. Ia meniadakan ingatan kolektif.

Demikian pula ketika orang marah Tuhan yang murka dilukiskan turun ke bumi yang bejat dengan memakai kacamata bergagang emas dalam cerita pendek Langit Makin Mendung. Tuhan yang hidup dalam bayangan setiap orang oleh Ki Panjikusmin dipersonifikasikan begitu rupa. Orang pun marah.

Kasus sajak Malaikat dan cerita Langit Makin Mendung adalah sensor yang tipikal di dalam masyarakat yang menganggap tafsir harus tunggal. Dan sensor semacam ini niscaya tak akan mati-mati. Ia akan kekal sepanjang manusia masih menyebut Tuhan dan iman kepada yang gaib terus hidup dan tumbuh. Para penyair, sementara itu, mau tak mau juga akan bersintuhan dengan ranah ini karena renungan pada akhirnya bermuara pada hakikat manusia sendiri.

Sebuah ketegangan yang tak mudah lenyap. Dulu ketika negara ingin mengontrol hal ihwal, sebuah puisi atau penyair menghadapi musuhnya yang tunggal. Sensor pun datang dari sana. Kini, ketika peran negara surut ke belakang dalam urusan-urusan kreativitas, sensor tetap langgeng.

Kini sensor datang dari organisasi-organisasi massa, fatwa-fatwa majelis agama. Modal dan kekuasaan, dari luar negara, mengukuhkan apa yang boleh dan dilarang, menurut selera mereka sendiri.

Maka, demikianlah, syair yang dangkal akan memicu sensor yang dangkal pula. Sebab, belum pernah ada yang tersinggung lalu melayangkan somasi berlembar-lembar mengatasnamakan iman dan Tuhan terhadap puisi-puisi yang menjadi puncak-puncak sajak di Indonesia. Katakanlah orang marah kepada sajak Sutardji Calzoum Bachri atau Goenawan Mohamad. Yang timbul justru pelbagai analisis yang mengupas pelbagai segi sajak-sajak mereka. Padahal, tak kurang radikal apa Tuhan dan gugatan terhadap kebenaran umum dalam puisi mereka.

Karena itu, kasus sajak Malaikat dan Langit Makin Mendung mencemaskan sebab sajak dan sensor semacam itu menutup tumbuhnya kritik dalam karya sastra.

Kasus sajak Malaikat yang disomasi oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Bandung itu, lalu dicabut oleh Pikiran Rakyat sehari kemudian, kian menegaskan kematian kritikus dalam ranah sastra Indonesia. Kritik sedang absen justru di tengah menjamurnya dan kian mudahnya orang menerbitkan buku-buku sastra. Kritik sastra kian tak berwibawa mengatasi kritik dari luar sastra sendiri. Tapi, adakah kritikus sastra kini? Adakah kini orang yang "tahu di mana berakhirnya mata seorang penyair"--ungkapan Toto Sudarto Bachtiar untuk menyebut ikhtiar H.B Jassin?

Sastra Indonesia mutakhir kini memang hiruk pikuk. Orang kini bisa mengomentari sebuah buku yang kian mudah diterbitkan dengan leluasa di pojok-pojok diskusi maya di Internet. Setiap orang bisa menjadi kritikus, bahkan tanpa identitas sekalipun. Setiap orang tiba-tiba bisa naik ke pentas sastra Indonesia. Sastra bukan lagi sebuah wilayah angker yang dijaga “Paus” yang bisa membaptis seseorang layak dibaca atau tidak.

Ketiadaan kritik yang sehat akan kian memberi ruang kepada “kritikus” di luar sastra itu menentukan kelaikan sebuah puisi, kesesuaian sebuah prosa dengan sebuah tafsir. Kritikus seperti ini sudah tentu mengabaikan argumen. Sebab, dalam sensor, argumen bisa disimpan di laci meja.