Wednesday, July 22, 2009

SEANDAINYA AMERIKA TAK ADA LAGI



SEANDAINYA Amerika tak ada lagi apakah sosialisme akan bangkit atau seorang khalifah tampil di hadapan kita? Apabila Amerika tak lagi tercantum pada peta, karena krisis tak habis-habis, bahagiakah hidup kita?

Masa depan mungkin punya sejarah, tapi hari esok seringkali tak bisa ditentukan hanya oleh hari ini. Kejutan-kejutan muncul, peristiwa-peristiwa baru meledak tanpa sempat direncanakan, dan hidup seakan-akan tak memiliki jeda. Tapi, bisakah dunia berjalan tanpa Amerika?

Krisis ini seakan-akan sebuah penanda awal bahwa dunia sedang menjalani keniscayaannya sendiri: berubah menjadi polar-polar yang kian banyak. Dulu, ketika Rusia dan Amerika masih menjadi dua blok yang saling mengancam, dunia selamat karena sebuah pensil. Ini sebuah kisah yang saya lupa sumbernya, tak jelas kronologi dan logikanya, tapi terus mengiang karena ia sebuah contoh baik tentang keseimbangan.

Syahdan, di teluk babi itu Soviet sudah siap mengarahkan misilnya. Tak ada lagi menunggu: Amerika sudah tamat hari itu. Amerika harus dihancurkan dan namanya dihapus dari peta. Amerika tentu tak tinggal diam. Mereka juga mengarahkan moncong misil ke sana. Ada yang memperkirakan misil dua negara ini jika digabung tujuh bumi tak bisa menampung daya ledaknya. Pendeknya, dunia menjelang kiamat sebelum waktunya.

Seorang profesor Amerika kemudian mengirimkan serbuk misil itu yang ia susupkan lewat pensil, ke karibnya di St. Petersburg. Si karib yang juga profesor nuklir itu tahu apa yang bakal terjadi: perang tak akan menguntungkan siapa-siapa. Adu misil itu hanya sebuah tiket pertemuan lanjutan di neraka. Lobi-lobi itu berhasil. Amerika setuju menarik misilnya kembali, Soviet juga akur tak menggempur musuhnya itu. Bumi selamat, lalu kita menyaksikannya kian sekarat. Terbunuh pelan-pelan.

Dan Soviet hancur oleh kesalahannya sendiri. Tinggal Amerika sendirian di menara gading. Ia leluasa menggempur Irak, melumat Afganistan, pamer senjata untuk alasan yang mereka buat sendiri. Musuh diciptakan agar energi yang tak keluar dulu itu bisa disalurkan. Dunia praktis berayun dari bandul Amerika saja. Pemain-pemain lain hanya menonton sambil mengurut dada. Dan salur-salur energi itu bikin kita sengsara, bikin kita mengutuk hidup yang kian hari kian rudin.

Kini Amerika menempuh jalan Soviet itu. Mungkin mereka hancur dan kekuatan baru muncul yang menuntun hidup kita ke arah yang lain. Tapi, tentu tidak dengan cara yang sama: mengebom orang-orang tak bersalah yang sedang lewat atau ketemu dan sarapan di restoran hotel.