SAYA tak suka rona menyala pada makanan. Kulit cabe itu seperti lipstik yang tertinggal pada terong yang dibalado. Tentu saja saya suka lipstik, yang sudah menempel pada tempatnya. Tapi lipstik yang tertinggal--pada tisu, pada kertas, pada gelas, pada sendok--menandakan jejak yang tak mudah dihapus, jika memakai pengertian yang diruwet-ruwetkan. Yang gamblang, saya tak suka lipstik yang mbelber. Dan bleberan lipstik itu diwakili dengan sempurna oleh cabe merah bumbu terong balado.
Sampai 2008, saya tak menyentuh terong yang dibalado, menghindari menatapnya jika bersirobok di warung makan, alih-alih memakannya. Juga terong yang disayur. Terong yang direbus akan mengkerut dan lembek, melarikan selera dalam kondisi kelaparan sekalipun.
Dan sampailah masa itu. Ibu saya tiba-tiba membalado teron. Kami sekeluarga tak suka makan pedas. Sambal ibu saya adalah sambal terasi yang dicampur tomat, lalu digoreng hingga berminyak. Satu-satunya warna agak menyala, sebelum 2008, yang boleh menempel dan tercampur nasi adalah warna emas minyak sambal itu.
Dan saya tak bisa menolak makanan yang dimasak ibu. Dia sudah menempuh perjalanan lima jam untuk sampai ke rumah saya dengan bus dan mencoba bereksperimen dengan menu yang tak pernah dicoba sebelumnya. Dan saya kira, ia sukses. Saya jadi doyan terong balado. Bayangan lipstik yang tertinggal pada nasi lambat laun tergantikan oleh enaknya paduan bumbu yang pas di terong itu. Jika ibu yang memasak ini, saya akan nambah nasi berkali-kali.
Saya merasa aneh sendiri bisa menghilangkan imajinasi kacrut tentang makanan dan asosiasi lipstik setelah makan terong balado bikinan ibu. Sebab, bayangan kurang ajar tentang rona menyala pada makanan itu muncul lagi begitu ibu-lain menghidangkan terong balado. Saya pernah mencoba terong balado bikinan tangan lain itu, dan selera makan langsung hilang.
Tentu saja ini sikap yang tak baik menilai makanan. Anda bisa langsung berceramah tentang pentingnya beryukur dan menghargai makanan karena ada banyak orang yang tak beruntung bisa makan semau mereka. Saya akan terima. Saya bukan pencicip makanan yang baik. Tapi ini soal makanan ibu saya.
19 tahun saya memakan makanan yang dia buat. Lidah ini, selera ini, telah begitu disetel oleh keterampilan tangannya. Bagaimana pun bumbu yang dia buat selalu pas di lidah saya. Bahkan tempe yang dicelupkan pada campuran garam dan bawang putih yang digeprek lalu digoreng, hatta dicocol kecap yang digulai dengan irisan cabe rawit, bisa membuat saya menambah makan berkali-kali. Tapi jika saya, atau orang lain, yang menggoreng tempe dengan cara serupa, takaran serupa, cara ngaduk yang sama, rasanya tak senikmat itu.
Barangkali itu yang disebut "sihir tangan ibu". Ibu saya sendiri bingung jika disuruh menunjukkan resep kenapa bisa membuat makanan seenak itu. Jika ia masak, ya, menuangkan bumbu yang menurut dia cukup dan seharusnya seperti itu. Tak pakai teori. Ia juga tak belajar dari siapa-siapa kenapa garam seujung sendok, kenapa gula seperempat sendok. Itu terbentuk oleh pengalaman dalam jutaan kali bergelut dengan makanan yang ia masak untuk anak-anak dan suaminya. Pengalaman yang telah membentuk selera kami.
Atau mungkin karena saya anak laki-lakinya. Setiap anak laki, kata orang pintar, cenderung bermental Oedipus, tak akan pernah melupakan anasir-anasir yang melekat pada--dan dibangun oleh--ibunya sendiri. Pada saya, ia bisa mengusir bayangan aneh tentang rona merah dalam terong balado.
Untuk mudahnya, kita mendefinisikan "sihir ibu" sebagai cinta--sesuatu yang kita rasakan tapi susah dirumuskan.