SEPAK bola mempersatukan dunia dengan satu
kata yang menjadi inti permainan ini: gol. Dari Meksiko sampai Ceko, dari Rusia
sampai Tasikmalaya, tak ada orang yang tak mengerti ketika berbarengan
meneriakkan “Gooooooooool”.
Kita bisa berdebat apakah permainan ini lebih
tepat disebut soccer atau football; sepak bola atau bola sepak
seperti halnya tangkis bulu, meski ada juga bola voli. Gol bisa diterima di mana
saja untuk menandai skor ketika bola telah melewati garis gawang. Kata ini
telah meniadakan perbedaan ragam nama di seluruh dunia.
Gol atau goal dalam bahasa Inggris adalah
evolusi dari kata “gal” atau “gol”, sebuah kata abad Pertengahan yang artinya
“batas”. Sejak tsu chu atau kemari dimainkan di zaman Dinasti
Tang di awal abad 2 sebelum masehi hingga pauckhakowohog atau calcio
di Eropa, gol menjadi penanda jelas permainan ini. Pertandingan ini berhenti
ketika salah satu tim memasukkan bola melewati garis di antara dua tiang atau
apapun sasaran yang menjadi kesepakatan bersama untuk menandai skor.
Tsu chu dimainkan
para tentara istana Cina kuno untuk berlatih fisik dan memahirkan kung fu. Tsu
chu dimainkan seperti bola voli zaman sekarang. Sebuah jaring yang bolong
tengahnya memisahkan dua tim. Setiap orang dalam tim harus berjuang agar bola
tak menyentuh tanah lalu dengan akurasi jitu menendangnya ke bolong jaring itu.
Tim yang paling banyak menyarangkan bola ke jaring adalah pemenangnya.
Orang Jepang memindahkan jaring itu ke ujung
lapangan ketika memainkan kemari. Satu jaring untuk tiap tim. Marco Polo
yang melihatnya ini di abad 14 menularkannya sepulang di Italia dan Inggris
menyempurnakannya di abad 18. Semua orang kini sepakat bahwa gol adalah
masuknya benda bundar yang jadi rebutan para pemain melewati dua tiang itu.
Jika ini terjadi, permainan berhenti dan diulang dari awal jika waktu yang
disepakati masih tersedia.
Sebab, gol adalah tujuan utama permainan ini,
batas permainan ini. Betapapun sengit para pemain berebut bola, betapapun jitu
setiap taktik disusun, bagaimana pun hebatnya kerjasama antar pemain dalam satu
tim, seluruh enersi dikerahkan untuk menciptakan gol sebanyak mungkin ke gawang
lawan. Tanpa tujuan menciptakan gol, permainan ini hanya disebut “rebutan” bola
belaka, perjalanan tanpa tujuan.
Suku Gahuku-Gama di Papua memang memainkan
sepak bola agar skor tetap imbang. Sebab, di sana sepak bola adalah ritual
tentang keseimbangan nafsu mengalahkan dan kebajikan menerima kekalahan. Orang
Gahuku, seperti laporan perjalanan ahli strukturalis Prancis Claude Lévi-Strauss,
akan bermain bola berhari-hari, terus tak berhenti, jika satu tim masih
memenangi permainan.
Tapi sepak bola di lain tempat punya ciri sama
yakni saling mengalahkan. Tim yang menang adalah tim yang membuat gol paling
banyak dari lawannya. Karena gol ini pula permainan sepak bola jadi menarik—drama
kolosal 2 x 45 menit, kata Milan Kundera. Tak harus menghitung poin seperti
bola keranjang, sepak bola begitu digemari setiap orang di seluruh dunia karena
praktis dan mudah.
Bahasa Inggris tak membedakan antara proses
membuat, tujuan, hingga tiang sasaran bola. Bahasa Indonesia lebih spesifik.
Proses dan hasilnya disebut gol sementara sasaran dua tiang itu disebut gawang.
Dan bahasa Indonesia melahirkan kekayaan ragam istilah dalam permainan ini.
Halaman-halaman olah raga di koran bertaburan metafora unik dan nyeleneh.
“Iker Casillas memetik bola”, “Spanyol mengandangkan
Kroasia”, “Mario Gomes menanduk si kulit bundar”... Dan semua itu terhenti
ketika kita bersama-sama meneriakkan “Goooooo0-l”.