Friday, June 22, 2012

GOOOOOLLLL.....


SEPAK bola mempersatukan dunia dengan satu kata yang menjadi inti permainan ini: gol. Dari Meksiko sampai Ceko, dari Rusia sampai Tasikmalaya, tak ada orang yang tak mengerti ketika berbarengan meneriakkan “Gooooooooool”.

Kita bisa berdebat apakah permainan ini lebih tepat disebut soccer atau football; sepak bola atau bola sepak seperti halnya tangkis bulu, meski ada juga bola voli. Gol bisa diterima di mana saja untuk menandai skor ketika bola telah melewati garis gawang. Kata ini telah meniadakan perbedaan ragam nama di seluruh dunia.

Gol atau goal dalam bahasa Inggris adalah evolusi dari kata “gal” atau “gol”, sebuah kata abad Pertengahan yang artinya “batas”. Sejak tsu chu atau kemari dimainkan di zaman Dinasti Tang di awal abad 2 sebelum masehi hingga pauckhakowohog atau calcio di Eropa, gol menjadi penanda jelas permainan ini. Pertandingan ini berhenti ketika salah satu tim memasukkan bola melewati garis di antara dua tiang atau apapun sasaran yang menjadi kesepakatan bersama untuk menandai skor.

Tsu chu dimainkan para tentara istana Cina kuno untuk berlatih fisik dan memahirkan kung fu. Tsu chu dimainkan seperti bola voli zaman sekarang. Sebuah jaring yang bolong tengahnya memisahkan dua tim. Setiap orang dalam tim harus berjuang agar bola tak menyentuh tanah lalu dengan akurasi jitu menendangnya ke bolong jaring itu. Tim yang paling banyak menyarangkan bola ke jaring adalah pemenangnya.

Orang Jepang memindahkan jaring itu ke ujung lapangan ketika memainkan kemari. Satu jaring untuk tiap tim. Marco Polo yang melihatnya ini di abad 14 menularkannya sepulang di Italia dan Inggris menyempurnakannya di abad 18. Semua orang kini sepakat bahwa gol adalah masuknya benda bundar yang jadi rebutan para pemain melewati dua tiang itu. Jika ini terjadi, permainan berhenti dan diulang dari awal jika waktu yang disepakati masih tersedia.

Sebab, gol adalah tujuan utama permainan ini, batas permainan ini. Betapapun sengit para pemain berebut bola, betapapun jitu setiap taktik disusun, bagaimana pun hebatnya kerjasama antar pemain dalam satu tim, seluruh enersi dikerahkan untuk menciptakan gol sebanyak mungkin ke gawang lawan. Tanpa tujuan menciptakan gol, permainan ini hanya disebut “rebutan” bola belaka, perjalanan tanpa tujuan.

Suku Gahuku-Gama di Papua memang memainkan sepak bola agar skor tetap imbang. Sebab, di sana sepak bola adalah ritual tentang keseimbangan nafsu mengalahkan dan kebajikan menerima kekalahan. Orang Gahuku, seperti laporan perjalanan ahli strukturalis Prancis Claude Lévi-Strauss, akan bermain bola berhari-hari, terus tak berhenti, jika satu tim masih memenangi permainan.

Tapi sepak bola di lain tempat punya ciri sama yakni saling mengalahkan. Tim yang menang adalah tim yang membuat gol paling banyak dari lawannya. Karena gol ini pula permainan sepak bola jadi menarik—drama kolosal 2 x 45 menit, kata Milan Kundera. Tak harus menghitung poin seperti bola keranjang, sepak bola begitu digemari setiap orang di seluruh dunia karena praktis dan mudah.

Bahasa Inggris tak membedakan antara proses membuat, tujuan, hingga tiang sasaran bola. Bahasa Indonesia lebih spesifik. Proses dan hasilnya disebut gol sementara sasaran dua tiang itu disebut gawang. Dan bahasa Indonesia melahirkan kekayaan ragam istilah dalam permainan ini. Halaman-halaman olah raga di koran bertaburan metafora unik dan nyeleneh.

“Iker Casillas memetik bola”, “Spanyol mengandangkan Kroasia”, “Mario Gomes menanduk si kulit bundar”... Dan semua itu terhenti ketika kita bersama-sama meneriakkan “Goooooo0-l”.