Di Tempo, saya tetap saja seorang orang luar. Seorang asing yang mengetuk lobi kantornya lalu mengangguk: selamat pagi.
Bacalah, misalnya, Wars Within, yang edisi Indonesianya diluncurkan pekan ini. Biografi Tempo yang ditulis Janet Steele, seorang guru jurnalistik dari George Washington University, Amerika Serikat, dan sering memberi pelatihan "jurnalisme-sastra" kepada wartawan Indonesia, bagi orang seperti saya, adalah sebuah biografi di seberang. Janet menutup kisah pergulatan di tubuh Tempo itu sesaat setelah majalah ini dibunuh pemerintah, 1994--dengan tambahan epilog kasus dengan pengusaha Tomy Winata.
Saya tak mengalami apa yang Tempo alami. Saya tak terlibat dalam arus utama sejarahnya. Sebab, Tempo yang terbit kembali pada 1998 praktis sebuah Tempo yang baru, sebuah majalah yang memulai dari nol, bahkan orang-orangnya. Saya, dan generasi sesudah 1998, tak bersintuhan langsung dengan para pendiri. Pucuk Tempo sekarang sudah generasi kedua.
Maka jika dulu para pendiri mempertaruhkan bagaimana Tempo beralih kepada generasi kedua, kini pertaruhannya adalah bagaimana Tempo beralih kepada "generasi pasca bredel"--mereka yang dari luar, mereka yang melihat, dan hanya mendengar bagaimana Tempo dibangun. Sebuah peralihan yang lebih sulit dibanding peralihan yang pertama.
Sebagai seorang luar, saya hanya mendengar bagaimana dulu Tempo dibangun, bagaimana kultur awak redaksinya yang kini coba dipertahankan. Tempo kini jelas berbeda dengan Tempo yang dulu. Manajerialnya, gajinya, cara merekrut reporternya, cara liputannya, bahkan gaya tulisannya. Jika membaca Tempo edisi 1980-an, misalnya, ada perbedaan jelas dengan gaya Tempo zaman kiwari.
Tempo sekarang sepertinya kian menegaskan apa yang dirasakan oleh almarhum Umar Kayam, seorang sosiolog dan penulis sastra terkemuka. Ketika memberi komentar saat peringatan ulang tahun Tempo yang ke-30 pada 2001, Kayam menulis bahwa Tempo kini lebih ruwet dengan persoalan. "Menurut saya, Tempo sekarang lebih kering bahasanya, tidak selucu dulu, dan kurang inovatif," katanya. Janet memberi satu kata yang pas: analitis. Padahal, moto Tempo tetap saja : jujur, jernih, jenaka pun bisa.
Tempo, kata Kayam, tak lagi sesuai dengan iklannya yang "enak dibaca dan perlu". Karena yang mengemuka persoalan, sajian Tempo kini lebih menonjolkan yang perlu-perlu. Enak dibaca jadi nomor dua. "Tempo dulu," kata Kayam, "bukan hanya memperbaiki bahasa jurnalistik, tapi memberi semacam hiburan." Yang kering-kering ini bahkan merambah ke kolom-kolomnya. Penulis kolom untuk Tempo terasa sekali lambat tumbuhnya. Bahasa-bahasa rancu yang keluar dari meja pengadilan dan mulut pejabat sudah merasuk ke dalam gaya Tempo.
Barangkali karena zamannya memang sudah lain. Dulu Tempo diisi oleh para penulis, sastrawan, aktivis, yang "pekerjannya" memang bergulat dengan bahasa. Mereka menjadi sastrawan dan penulis lebih dulu baru menjadi wartawan. Kini, sebaliknya. Ada yang menjadi sastrawan setelah lama "belajar" di Tempo.
Setiap generasi memang tidak selalu sama. Dulu dan sekarang tantangannya juga jelas lain. Membaca Tempo zaman dulu memang lebih terasa bagaimana ceritanya, bukan bagaimana materi beritanya. Jurus begini lahir dari sebuah upaya menghindari sensor. Setelah sensor tak ada lagi, para wartawan menulis berita langsung kepada intinya.
Jika dulu wartawan harus melipir-melipir menulis korupsi menteri A, kini tudingan itu lebih langsung. Persoalan juga kini lebih ruwet, macam-macam, dan canggih. Apalagi, saingannya kini situs dan televisi. Jargon wartawan kini tak lagi sekadar "berani". Zaman berani-berani sudah lewat. Pertaruhan wartawan sekarang adalah bagaimana menjadi yang pertama tahu. Kecepatan lebih utama. Barangkali, inilah soalnya. Tempo berubah karena mengikuti perubahan suasana.
Tapi baik atau burukkah perubahan itu? Bagi awak Tempo, pertaruhan di dalam jelas bagaimana memelihara semangat jenaka seraya memberi isi yang lebih berbobot ke dalam sajiannya. Dalam kelas-kelas evaluasi setiap pekan, misalnya, sering muncul kritik jika ada yang menggunakan istilah-istilah jadul. Istilah-istilah segar dari tahun 1970-an kini sudah jamak dan klise. Pembacanya juga sudah uzur-uzur.
Kritik ini penting karena pembaca Tempo sekarang generasi 1990-an, generasi MTV yang gaul, generasi Internet yang melek. Jika tak segera menyesuaikan tentu mereka tak akan melirik majalah ini, sementara penggemar yang tua sudah tak membaca lagi.
Bacalah, misalnya, Wars Within, yang edisi Indonesianya diluncurkan pekan ini. Biografi Tempo yang ditulis Janet Steele, seorang guru jurnalistik dari George Washington University, Amerika Serikat, dan sering memberi pelatihan "jurnalisme-sastra" kepada wartawan Indonesia, bagi orang seperti saya, adalah sebuah biografi di seberang. Janet menutup kisah pergulatan di tubuh Tempo itu sesaat setelah majalah ini dibunuh pemerintah, 1994--dengan tambahan epilog kasus dengan pengusaha Tomy Winata.
Saya tak mengalami apa yang Tempo alami. Saya tak terlibat dalam arus utama sejarahnya. Sebab, Tempo yang terbit kembali pada 1998 praktis sebuah Tempo yang baru, sebuah majalah yang memulai dari nol, bahkan orang-orangnya. Saya, dan generasi sesudah 1998, tak bersintuhan langsung dengan para pendiri. Pucuk Tempo sekarang sudah generasi kedua.
Maka jika dulu para pendiri mempertaruhkan bagaimana Tempo beralih kepada generasi kedua, kini pertaruhannya adalah bagaimana Tempo beralih kepada "generasi pasca bredel"--mereka yang dari luar, mereka yang melihat, dan hanya mendengar bagaimana Tempo dibangun. Sebuah peralihan yang lebih sulit dibanding peralihan yang pertama.
Sebagai seorang luar, saya hanya mendengar bagaimana dulu Tempo dibangun, bagaimana kultur awak redaksinya yang kini coba dipertahankan. Tempo kini jelas berbeda dengan Tempo yang dulu. Manajerialnya, gajinya, cara merekrut reporternya, cara liputannya, bahkan gaya tulisannya. Jika membaca Tempo edisi 1980-an, misalnya, ada perbedaan jelas dengan gaya Tempo zaman kiwari.
Tempo sekarang sepertinya kian menegaskan apa yang dirasakan oleh almarhum Umar Kayam, seorang sosiolog dan penulis sastra terkemuka. Ketika memberi komentar saat peringatan ulang tahun Tempo yang ke-30 pada 2001, Kayam menulis bahwa Tempo kini lebih ruwet dengan persoalan. "Menurut saya, Tempo sekarang lebih kering bahasanya, tidak selucu dulu, dan kurang inovatif," katanya. Janet memberi satu kata yang pas: analitis. Padahal, moto Tempo tetap saja : jujur, jernih, jenaka pun bisa.
Tempo, kata Kayam, tak lagi sesuai dengan iklannya yang "enak dibaca dan perlu". Karena yang mengemuka persoalan, sajian Tempo kini lebih menonjolkan yang perlu-perlu. Enak dibaca jadi nomor dua. "Tempo dulu," kata Kayam, "bukan hanya memperbaiki bahasa jurnalistik, tapi memberi semacam hiburan." Yang kering-kering ini bahkan merambah ke kolom-kolomnya. Penulis kolom untuk Tempo terasa sekali lambat tumbuhnya. Bahasa-bahasa rancu yang keluar dari meja pengadilan dan mulut pejabat sudah merasuk ke dalam gaya Tempo.
Barangkali karena zamannya memang sudah lain. Dulu Tempo diisi oleh para penulis, sastrawan, aktivis, yang "pekerjannya" memang bergulat dengan bahasa. Mereka menjadi sastrawan dan penulis lebih dulu baru menjadi wartawan. Kini, sebaliknya. Ada yang menjadi sastrawan setelah lama "belajar" di Tempo.
Setiap generasi memang tidak selalu sama. Dulu dan sekarang tantangannya juga jelas lain. Membaca Tempo zaman dulu memang lebih terasa bagaimana ceritanya, bukan bagaimana materi beritanya. Jurus begini lahir dari sebuah upaya menghindari sensor. Setelah sensor tak ada lagi, para wartawan menulis berita langsung kepada intinya.
Jika dulu wartawan harus melipir-melipir menulis korupsi menteri A, kini tudingan itu lebih langsung. Persoalan juga kini lebih ruwet, macam-macam, dan canggih. Apalagi, saingannya kini situs dan televisi. Jargon wartawan kini tak lagi sekadar "berani". Zaman berani-berani sudah lewat. Pertaruhan wartawan sekarang adalah bagaimana menjadi yang pertama tahu. Kecepatan lebih utama. Barangkali, inilah soalnya. Tempo berubah karena mengikuti perubahan suasana.
Tapi baik atau burukkah perubahan itu? Bagi awak Tempo, pertaruhan di dalam jelas bagaimana memelihara semangat jenaka seraya memberi isi yang lebih berbobot ke dalam sajiannya. Dalam kelas-kelas evaluasi setiap pekan, misalnya, sering muncul kritik jika ada yang menggunakan istilah-istilah jadul. Istilah-istilah segar dari tahun 1970-an kini sudah jamak dan klise. Pembacanya juga sudah uzur-uzur.
Kritik ini penting karena pembaca Tempo sekarang generasi 1990-an, generasi MTV yang gaul, generasi Internet yang melek. Jika tak segera menyesuaikan tentu mereka tak akan melirik majalah ini, sementara penggemar yang tua sudah tak membaca lagi.