Omi Intan Naomi merekam kreativitas perupa Ugo Untoro selama 17 tahun. Buku terakhir, kacamata seorang nihilis.
JIKA warna, garis, bentuk, dan isi sudah habis digarap perupa masa lalu, apalagi yang tersisa untuk perupa masa kini? Ugo Untoro tak menjawab pertanyaannya sendiri yang klise ini. Perupa 38 tahun dari Yogyakarta yang sedang tenar itu memilih mempraktekkannya saja: “melukis adalah mencurahkan isi batin”.
Bahwa kemudian orang tak menangkap isi batin melalui goresan cat dan warna yang dibingkai dengan judul itu, Ugo tak peduli. Sejak 1989 ia melukis, membuat boneka, wayang, buku, instalasi, toh kini “pasar” menyukainya. Karya-karyanya laku hingga ratusan juta rupiah. Majalah Tempo ini menobatkannya sebagai Tokoh Seni 2007 dengan menilai karya instalasi kuda sebagai paling unggul sepanjang tahun itu.
Omi Intan Naomi, penulis dan penerjemah yang tekun, merekam kreativitas perupa lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta 1996 itu hingga 2006. Hasilnya sebuah buku tebal dengan judul amat panjang: The Sound of Silenece and Colors of The Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter. Omi merumuskan dengan tepat bahwa karya-karya Ugo itu seperti haiku, puisi Jepang amat pendek, sederhana, irit, tapi bertenaga.
Seperti haiku, yang ditampilkan Ugo adalah momentum—apa yang dia rasa dan gagas saat peristiwa itu terjadi. Ketika ia menangkap dan memikirkan tetesan hujan, atau keterguncangan mendapat anak terbelakang mental. Karena itu momen itu bukan milik kita, tapi entah kenapa “selalu mengait ke manusia,” tulis Omi. Ia menilai kemampuan Ugo itu sebuah kesaktian.
Tapi buku ini tak melulu pujian. Sebagian besar halamannya justru berisi kritik. Kritik Omi terhadap penilaian para kurator, juga kritik terhadap cara pandang Ugo sendiri terhadap proses kreatifnya.
Para kurator umumnya menahbiskan Ugo sebagai “perupa-pemikir” dengan mengaitkan karya dan kredo perupaannya pada bacaan yang bejibun, dari Nietzsche, Sapardi, Freud, sampai Zoetmulder. Meski Omi mengakui hanya Ugo perupa Yogya yang mau membaca, ia menampik penilaian itu. Menurut Omi, karya-karya Ugo tak lebih hanya kelebat pikirannya. Memangnya gambar hujan Ugo didapat dari Stephen Hawking?
Alih-alih mengaitkan psikoanalisa Sigmund Freud soal pengaruh masa kecil, Omi membahas karya-karya Ugo lewat konteks: lingkungan Malioboro, kedekatan Ugo pada wayang kardus, kegemarannya pada kuda, dan kelahiran anaknya. Sebab, tafsir Ugo atas Übermensch dalam Also Sprach Zarathustra Friedrich Nietzsche ternyata tak sepenuhnya berhasil, kalau bukan keliru.
Buku ini menarik bukan saja karena “membumi” dan ditulis dengan gaya nyinyir dan ngajak bertengkar seperti itu, juga karena paparan Omi yang naratif. Ugo sepenuhnya ditafsir dari kacamatanya dengan bingkai kisah dan peristiwa di sekeliling Ugo yang langsung atau tidak langsung bersinggungan dengannya: sejak Ugo masih menggelandang hingga kini punya museum dan ruang pamer sendiri. Dari situ Omi menarik bahasannya ke khazanah yang lebih luas.
Ketika memindai lukisan Mau Mencoba Jadi Napoleon? (2004) tentang gambar kuda putih meringkik, Omi membahasnya hingga jauh ke sejarah panglima-panglima perang Jepang abad 15 yang memakai kuda tak sebatas kendaraan tapi pasukan perang itu sendiri. Kegemaran Ugo menenggak pil sebelum melukis ia tubrukan dengan perilaku pemain band yang sudah meninggalkan era narkotika. Soal buku dan boneka ia benturkan dengan tradisi origami.
Maka bukan cuma Ugo yang tampil di sana, tapi juga sejarah, cerita di balik layar perupa Yogya, musik pop, kisah cinta, tabiat pemilik galeri, filsafat, wayang, empati. Keriuhan itu diadon menjadi bacaan yang legit, meski agak menjengkelkan karena semua bahan yang ada di hadapan Omi itu semua salah dan keliru.
Omi tak menyaksikan bukunya ini terbit. Perempuan kelahiran 1970 ini meninggal 5 November 2006. Dodo Hartoko, karib Ugo, yang menawarkan ide menulis biografi para perupa Yogya kepada Omi pada 2005, kemudian menemukan terjemahan tulisan itu dalam bahasa Inggris di komputer Omi. Jadilah buku ini tersaji dalam dua bahasa. Ugo menyediakan Rp 200 juta untuk menerbitkan seribu eksemplar. “Seingat saya, Omi menulis ini dalam sepuluh hari,” kata Dodo.
Mungkin karena itu, seperti apologianya di lembar pengantar, Omi yang jarang keluar rumah itu menyebut bukunya ini hanya pengamatan sambil lalu. Apa yang diceritakan setengahnya kabar angin, selebihnya faktual. Ia tak masuk menyelami proses kreatif Ugo hingga detail. Ia tak membahas bagaimana kesakitan, dendam, dan kesepian Ugo itu tumpah di kanvas dari kacamata pelukisnya sendiri.
Judul : The Sound of Silence and Colors of The Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of The Lighter
Penulis : Omi Intan Naomi
Penerbit : Museum dan Tanah Liat, Yogyakarta
Tebal : 481 halaman
JIKA warna, garis, bentuk, dan isi sudah habis digarap perupa masa lalu, apalagi yang tersisa untuk perupa masa kini? Ugo Untoro tak menjawab pertanyaannya sendiri yang klise ini. Perupa 38 tahun dari Yogyakarta yang sedang tenar itu memilih mempraktekkannya saja: “melukis adalah mencurahkan isi batin”.
Bahwa kemudian orang tak menangkap isi batin melalui goresan cat dan warna yang dibingkai dengan judul itu, Ugo tak peduli. Sejak 1989 ia melukis, membuat boneka, wayang, buku, instalasi, toh kini “pasar” menyukainya. Karya-karyanya laku hingga ratusan juta rupiah. Majalah Tempo ini menobatkannya sebagai Tokoh Seni 2007 dengan menilai karya instalasi kuda sebagai paling unggul sepanjang tahun itu.
Omi Intan Naomi, penulis dan penerjemah yang tekun, merekam kreativitas perupa lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta 1996 itu hingga 2006. Hasilnya sebuah buku tebal dengan judul amat panjang: The Sound of Silenece and Colors of The Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter. Omi merumuskan dengan tepat bahwa karya-karya Ugo itu seperti haiku, puisi Jepang amat pendek, sederhana, irit, tapi bertenaga.
Seperti haiku, yang ditampilkan Ugo adalah momentum—apa yang dia rasa dan gagas saat peristiwa itu terjadi. Ketika ia menangkap dan memikirkan tetesan hujan, atau keterguncangan mendapat anak terbelakang mental. Karena itu momen itu bukan milik kita, tapi entah kenapa “selalu mengait ke manusia,” tulis Omi. Ia menilai kemampuan Ugo itu sebuah kesaktian.
Tapi buku ini tak melulu pujian. Sebagian besar halamannya justru berisi kritik. Kritik Omi terhadap penilaian para kurator, juga kritik terhadap cara pandang Ugo sendiri terhadap proses kreatifnya.
Para kurator umumnya menahbiskan Ugo sebagai “perupa-pemikir” dengan mengaitkan karya dan kredo perupaannya pada bacaan yang bejibun, dari Nietzsche, Sapardi, Freud, sampai Zoetmulder. Meski Omi mengakui hanya Ugo perupa Yogya yang mau membaca, ia menampik penilaian itu. Menurut Omi, karya-karya Ugo tak lebih hanya kelebat pikirannya. Memangnya gambar hujan Ugo didapat dari Stephen Hawking?
Alih-alih mengaitkan psikoanalisa Sigmund Freud soal pengaruh masa kecil, Omi membahas karya-karya Ugo lewat konteks: lingkungan Malioboro, kedekatan Ugo pada wayang kardus, kegemarannya pada kuda, dan kelahiran anaknya. Sebab, tafsir Ugo atas Übermensch dalam Also Sprach Zarathustra Friedrich Nietzsche ternyata tak sepenuhnya berhasil, kalau bukan keliru.
Buku ini menarik bukan saja karena “membumi” dan ditulis dengan gaya nyinyir dan ngajak bertengkar seperti itu, juga karena paparan Omi yang naratif. Ugo sepenuhnya ditafsir dari kacamatanya dengan bingkai kisah dan peristiwa di sekeliling Ugo yang langsung atau tidak langsung bersinggungan dengannya: sejak Ugo masih menggelandang hingga kini punya museum dan ruang pamer sendiri. Dari situ Omi menarik bahasannya ke khazanah yang lebih luas.
Ketika memindai lukisan Mau Mencoba Jadi Napoleon? (2004) tentang gambar kuda putih meringkik, Omi membahasnya hingga jauh ke sejarah panglima-panglima perang Jepang abad 15 yang memakai kuda tak sebatas kendaraan tapi pasukan perang itu sendiri. Kegemaran Ugo menenggak pil sebelum melukis ia tubrukan dengan perilaku pemain band yang sudah meninggalkan era narkotika. Soal buku dan boneka ia benturkan dengan tradisi origami.
Maka bukan cuma Ugo yang tampil di sana, tapi juga sejarah, cerita di balik layar perupa Yogya, musik pop, kisah cinta, tabiat pemilik galeri, filsafat, wayang, empati. Keriuhan itu diadon menjadi bacaan yang legit, meski agak menjengkelkan karena semua bahan yang ada di hadapan Omi itu semua salah dan keliru.
Omi tak menyaksikan bukunya ini terbit. Perempuan kelahiran 1970 ini meninggal 5 November 2006. Dodo Hartoko, karib Ugo, yang menawarkan ide menulis biografi para perupa Yogya kepada Omi pada 2005, kemudian menemukan terjemahan tulisan itu dalam bahasa Inggris di komputer Omi. Jadilah buku ini tersaji dalam dua bahasa. Ugo menyediakan Rp 200 juta untuk menerbitkan seribu eksemplar. “Seingat saya, Omi menulis ini dalam sepuluh hari,” kata Dodo.
Mungkin karena itu, seperti apologianya di lembar pengantar, Omi yang jarang keluar rumah itu menyebut bukunya ini hanya pengamatan sambil lalu. Apa yang diceritakan setengahnya kabar angin, selebihnya faktual. Ia tak masuk menyelami proses kreatif Ugo hingga detail. Ia tak membahas bagaimana kesakitan, dendam, dan kesepian Ugo itu tumpah di kanvas dari kacamata pelukisnya sendiri.
Judul : The Sound of Silence and Colors of The Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of The Lighter
Penulis : Omi Intan Naomi
Penerbit : Museum dan Tanah Liat, Yogyakarta
Tebal : 481 halaman