Tuesday, June 01, 2004
PJKA
Seseorang selalu saya lihat berdiri di sana, dekat Damri yang sedang menunggu jam 22 di Stasiun Tanjung Karang. Memakai jas partai, selalu, warna hijau. Merokok dan necis. 40-an. Geraknya kaku karena takut jas itu kusut atau terlipat. Rambutnya licin pomade. Sepatunya juga mengkilap. Kalau memesan tiket, selalu dengan wibawa yang dibuat-buat yang ternyata tak sanggup menggentarkan nyali penjaga. Saya selalu melihat dia di sana, menunggu dengan dada yang mendongak.
Dia bagian dari orang-orang yang tergabung dalam PJKA atawa orang-orang yang "Pulang Jumat Kembali Ahad". Menengok istri dan anak-anak sehabis kerja seminggu di Jakarta. Menengok untuk menghabisi kangen yang tertahan, dan menjengkelkan. Lalu kembali lagi, ke Jakarta, juga dengan Damri. Lalu bertemu lagi dengan Senin pagi yang tak berubah: selalu macet.
Dia tak sendiri. Ada banyak penumpang Damri, setiap Minggu malam itu, yang saya lihat wajahnya itu-itu saja. Mereka pekerja, buruh, atau yang karena urusannya harus bolak-bolak Lampung-Jakarta. Ada yang sudah lima tahun merutin seperti itu. Ada yang tiga tahun. Ada juga yang baru mulai. Pantas wajahnya masih segar, tak ada gurat bosan.
Tidak setiap mereka yang kembali itu pulang lewat Gambir. Mungkin lebih banyak yang pulang putus-putus: ke Merak-naik kapal cepat ke Bakauhuni-naik taksi Kijang. Lalu kembali ke Jakarta baru pakai bus Damri, karena di Tanjung Karang tiket bisa dipesan dengan telepon, tidak seperti di Gambir. Atau tak ingin buru-buru kembali dengan naik kapal yang rusuh.
Pulang, bagi orang-orang PJKA, telah punya dua arti: pulang dari kantor ke rumah kos, dan pulang setiap akhir pekan, ke rumah, ke kampung, ke tengah keluarga. Ada banyak duit yang hijrah dan dibawa pulang orang-orang PJKA dari Jakarta.
Seorang teman juga tergabung dengan kelompok itu. Hanya dia ke Jogja. Naek Argo Bromo atau semacamnya, dan ketemu dengan orang-orang PJKA lainnya, dengan ongkos yang bisa cincai karena langganan. Tidur-duduk di lantai kereta, atau kalau yang beruntung, bisa menyelusup ke ruang resto. Yang ke Jawa Tengah atau Timur lebih punya ikatan kuat sampai membentuk klub PJKA segala. Setiap lebaran mereka saling mengunjungi.
Mereka orang-orang muda, yang baru setahun-dua beristri. Sedang menanti kelahiran atau baru punya bayi, seperti teman saya itu. Selalu ada saja lelucon di sana. Ketika naik kereta itu, mereka sudah berkaus. Kemeja dan dasi disumpal dalam tas. Duduk lesehan sambil melempar joke-joke baru. Kadang-kadang juga satir pada nasib yang mendamparkan mereka jadi anggota PJKA. Menyenangkan sekaligus mengharukan.
Subscribe to:
Posts (Atom)