Sunday, November 09, 2003

PUASA



Awal pekan lalu saya belanja ke Carrefour Lebak Bulus. Ada beberapa alat rumah yang harus dibeli. Lumayan, sekedar mulai nyicil. Masuk ke sana sekitar jam 4 sore. Mak, penuhnya tempat belanja ini. Tangga berjalan penuh-sesak. Susah bergerak. Masuk ke dalam sami-mawon. Saya harus menyeret-seret tangan istri agar terbebas dan mendapat tempat yang lumayan lengang. Dan itulah tempatnya : rak pisau dapur. Ini satu-satunya tempat yang lengang di Carrefour.

Pekan lalu kelompok wartawan ekonomi diundang buka puasa bersama oleh seorang pejabat Bank Indonesia. Tempatnya di restoran Pulau Dua, Senayan. Saya datang ke restoran karena tak punya pilihan buka puasa ketika sedang liputan di DPR. Di tengah jalan adzan sudah terdengar. Saya telat masuk Pulau Dua. Alamak, penuhnya restoran ini. Saya dan beberapa teman yang telat, makan dan minum es kelapa muda duduk di pagar pembatas restoran.

Akhir pekan lalu kami buka puasa di rumah makan Ayam Bakar Wong Solo di Bogor. Istri saya ngebet ingin nyoba ayam bakar yang kata orang enak dan, terutama, ada jus poligami. Di tayangan hiburan televisi, jus ini disebut-sebut sebagai khas Wong Solo. Maka kami ke sana selepas magrib. Aduh, ini tempat sama juga, kursi yang kosong hanya tempat kasir yang berdiri karena kerepotan meladeni orang yang mau bayar. Saya menunggu orang yang sudah selesai. Setelah ada, saya pesan ayam bakar dan udang goreng kesukaan. Selain makannya biasa saja, bumbunya pun tak pas di lidah. "Sambalnya manis," kata istri saya. Wong Solo ternyata biasa saja. Merek (poligami pemiliknya yang beristri empat) dan tayangan tivi yang membantu Wong terdengar begitu nikmat.

Kabarnya, di mana-mana selalu begitu. Saat beduk magrib, tempat makan enak dan mahal diserbu orang. Jalanan lengang pada jam buka. Kemacetan yang rutin pindah ke jam 4 sore atau 9 malam. Pada puasa orang berlomba meladeni nafsu makan yang tertahan sejak subuh. Dan pada magrib itulah saat melampiaskannya. Padahal, makanan enak dan tak enak terbayang menjelang detik-detik adzan magrib saja. Perut toh sudah kenyang hanya dengan segelas teh manis dan semangkuk kolak pisang. Bukankah Nabi berbuka hanya dengan beberapa biji kurma?

Konsumsi jadi lebih tinggi pada bulan Ramadan. Uang beredar naik Rp 5 triliun. Saya curiga ini data di Jakarta dan kota besar saja. Puasa saatnya makan enak. Aneh juga. Di beberapa negara lain, kabarnya, puasa justru menurunkan tingkat konsumsi. Warung-warung tutup karena tak ada pembeli. Pemiliknya ingin merayakan puasa juga tanpa harus lelah kerja. Orang lebih senang berbuka di rumah. Kumpul dengan keluarga. Saya tidak tahu apakah di sana ada tradisi buka puasa bersama. Bukankah puasa artinya mengekang? Mengekang hawa nafsu termasuk keinginan membeli, menghambur duit, dll. Benar juga kata seorang teman, Indonesia ini yang krisis hanya negaranya, bukan individu-individunya. Negara hanya punya duit Rp 349,9 triliun untuk mengelola negara sebesar ini.

Puasa di sini juga telah jadi bahasa birokrat. Ada buka puasa bersama, ada magrib bersama, tarawih bersama. Ini maksudnya bersama antara menteri dan bawahannya. Bersama antara petinggi dan bawahannya. Kenapa tak ada sahur bersama? Dan semua ini konotasinya senang-senang. Hikmah puasa tak lagi memahami derita si miskin. Dulu ada safari Ramadan yang jadi ajang kampanye. Sekarang sudah hilang tapi bahasa birokratnya masih lekat. Ritual puasa telah jadi seragam.