Tuesday, May 26, 2009

KEMATIAN-KEMATIAN YANG MENGERIKAN

KEMATIAN kini tersaji kian brutal. Seorang bocah empat tahun mati tersiram kuah bakso mendidih dari gerobak ibunya ketika sepasukan pamong praja menghardik para pedagang di Jalan Boulevard, Surabaya. Siti Khoiyaroh, bocah itu, tewas setelah dirawat empat hari di rumah sakit.

Di Tangerang, seorang pelacur meninggal karena ketakutan ditangkap polisi sipil lalu menceburkan diri ke sungai. Alih-alih menolong, para polisi itu ramai-ramai merajam tubuh Fifi Ahyani, 42 tahun, yang megap-megap tergulung arus. Fifi tewas dan tubuhnya ditemukan esoknya.

Saya bisa bayangkan ketakutan itu. Suatu Ahad pagi di Monas, ketika orang-orang bersepatu Nike terengah berlari, para pedagang terengah karena semobil petugas dengan wajah mengeras datang merazia. Di depan saya, seorang ibu yang panik menabrakan gerobak dagangannya kepada dua pembeli yang belum sempat memberinya uang. Ia terbirit menyeret gerobak itu, meninggalkan anak bayinya yang menjerit ketakutan.

Kita pun pasti ingat Sukardal, dari tahun 1980, yang menggantung diri karena petugas tibum merampas becaknya. Kekerasan itu, kekerasan itu ternyata tak putus-putus. Mereka terbunuh dengan rasa takut yang kalut. Mungkin juga rasa marah yang tertahan. Sebelum mati, Sukardal menulis makian dengan darah di tembok rumahnya.

Bagi Ibu Siti, untuk Fifi Ahyani, buat Sukardal, dorongan bakso, menjual selangkangan, dan becak adalah hidup, alat mereka menyongsong hari esok. Dari bakso dan mengayuh pedal itulah harapan untuk masa depan anak-anak mereka tumbuh. Dan harapan itu dibunuh oleh mereka yang mewakili negara, yang hidupnya kita tanggung dengan pajak yang kita bayar.

Tapi mengeluh seperti ini rasanya sudah terdengar klise. Kita sudah sama tahu negara tak pernah peduli kepada kita. Negara sudah lama absen menjamin hari esok yang menjanjikan. Mungkin orang-orang seperti Siti dan Fifi dan para pedagang di Monas atau Sukardal salah, atas nama peraturan, ketertiban dan kebersihan kota. Tapi kenapa harus dengan cara brutal itu mereka diburu. Dan untuk siapa ketertiban dan kebersihan itu sebenarnya?

Di Solo, walikotanya tak bosan-bosan membujuk para pedagang kaki lima agar mau diatur dan ditata. Ia undang mereka sarapan di rumahnya, ia datangi mereka di tempat mangkal, seraya terus membujuk bahwa lokalisir tempat kuliner itu baik buat mereka juga. Baru pada pertemuan ke-59, para pedagang itu setuju dengan ide Pak Walikota. Tak ada kekerasan, tak ada yang mati dengan rasa takut yang akut.

Hidup memang bukan sebaris headline, tapi dari kematian dan kejadian macam itulah kita menempuh dan mengisikan makna ke dalamnya.