Raden Saleh bukan seorang nasionalis, revolusioner, apalagi radikal. Lukisan Dipanegara melenceng dari kenyataan.
RADEN Saleh Syarif Bustaman tertunduk takzim di depan Pangeran Dipanegara yang mendongak dengan muka mengeras. Pemimpin Jawa itu seolah menolak perintah Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berdiri di sebelahnya sambil menunjuk kereta yang siap membawa sang pangeran ke pembuangan. Adegan dalam lukisan Penangkapan Dipanegara itu terkenal sebagai masterpiece Raden Saleh.
Sejarawan Inggris, Peter B.R. Carey, menelisik benarkah adegan dan suasana penangkapan di rumah Keresidenan Magelang, Jawa Tengah, pada 30 Maret 1830 itu. Ia membongkar catatan harian Jenderal de Kock, Ali Basah Gandakusuma—panglima perang kepercayaan Dipanegara—dan Babad Dipanegara, otobiografi anak Sultan Hamengkubuwono III itu. Carey menyimpulkan, lukisan itu imajinasi Raden Saleh belaka.
Tak ada satupun catatan, misalnya, soal kehadiran Raden Ayu Ratnaningsih, istri Dipanegara, di teras itu yang digambar Saleh bersimpuh di kaki suaminya. Raden Saleh, saat penangkapan Dipanegara di hari Lebaran kedua itu, juga tak sedang di Indonesia. Ia masih tinggal di Belanda.
Saleh melukis adegan itu karena kagum pada sosok Dipanegara. Ia melukisnya pada 1857, dua tahun setelah Dipanegara meninggal di pengasingannya, Benteng Rotterdam, Sulawesi Selatan.
Lagipula, Dipanegara tak menolak diasingkan. Dalam Babad, ia mengakui kekalahannya di Solo tahun 1826 memupus harapannya menegakkan kesultanan baru di Jawa, selain Surakarta dan Yogya. Kepada Ali Basah, Dipanegara mengatakan lambat atau cepat Belanda pasti menangkapnya.
Perang Jawa antara 1825-1830 telah menyedot kas Pemerintah Hindia Belanda hingga 25 juta gulden. Ribuan prajurit tewas. Belanda sudah patah arang menghadapi Dipanegara. Telegram Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memerintahkan agar anak keraton Yogya yang memilih nyatri itu dibunuh saja. De Kock lalu merekayasa pertemuan dengan kedok perundingan di hari Lebaran, sehingga Dipanegara tak mungkin menolak karena itu hari siliaturahmi setelah puasa.
Buku ini menarik, meski hanya kumpulan tiga tulisan lama yang pernah diterbitkan dalam bahasa Inggris. Harsja W. Bachtiar menulis sisi lain Raden Saleh sebagai seorang arkeolog dan filolog yang tekun. Ekskavasinya menemukan rahang hiu purba di Sentolo, Jawa Tengah. Manuskrip-manuskrip yang ia temukan di Cianjur, ibukota Priangan lama, adalah catatan penting kehidupan sosial dan agama Sunda di abad 8.
Harsja menolak tafsir nasionalisme Raden Saleh lewat lukisan Penangkapan Dipanegara. Menurut Harsja, Saleh hanya seorang tradisional yang menerima begitu saja struktur masyarakat koloni. Saleh menikmati 23 tahun hidup di Belanda dari beasiswa raja dan pengusaha, keluar masuk istana Belgia dan Prancis dengan jas hangat Rusia dan kemeja Inggris yang necis.
Harsja membuktikan tak ada andil Raden Saleh dalam “pemberontakan Bekasi” April 1869. Seorang lurah yang memimpin perlawanan menyamar dalam kerumunan dengan pakaian yang biasa dikenakan Saleh. Lelah diinterogasi dan dimata-matai Belanda, Saleh menulis di jurnal Tidjschrift voor Nederlandsch Indie bahwa hidup-matinya hanya “dipersembahkan untuk rajaku, pemerintah, dan bangsa Belanda”.
Praktis 66 tahun hidup Saleh (ia lahir 1814) hanya dihabiskan untuk seni, ilmu, dan pergaulan borjuis. Tempat tinggalnya di Cikini, Bogor, atau Eropa bak istana. Di Bogor, ia berjalan bersama istrinya diiringi cantrik yang memegang payung kebesaran raja.
J.J. Rizal yang meracik pengantar untuk buku ini menduga upaya Saleh menggambar suasana dramatis penangkapan Dipanegara karena ketidakberdayaannya sebagai pribumi. Ia tak sanggup menentang Belanda secara terbuka karena berutang budi. Cara melawan pemerintah kolonial adalah dengan menganggumi Dipanegara dan melukiskan sosoknya yang mencongak melecehkan penangkapnya.
Dalam bahasa sosiolog James C. Scott, ini cara melawan yang khas dari orang yang kalah. Para petani desa menunduk di hadapan majikan seolah-olah takzim padahal kentut diam-diam. Sebuah perlawanan ala punakawan dalam wayang. Saleh barangkali tak seekstrim itu. Meski kemudian ia menghadiahkan lukisan Dipanegara itu untuk Raja Willem III, induk semangnya di Belanda.
Judul : Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indiƫ, dan Nasionalisme
Penulis : Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham
Penerbit : Komunitas Bambu, 2009
Tebal : xl + 200 halaman
RADEN Saleh Syarif Bustaman tertunduk takzim di depan Pangeran Dipanegara yang mendongak dengan muka mengeras. Pemimpin Jawa itu seolah menolak perintah Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berdiri di sebelahnya sambil menunjuk kereta yang siap membawa sang pangeran ke pembuangan. Adegan dalam lukisan Penangkapan Dipanegara itu terkenal sebagai masterpiece Raden Saleh.
Sejarawan Inggris, Peter B.R. Carey, menelisik benarkah adegan dan suasana penangkapan di rumah Keresidenan Magelang, Jawa Tengah, pada 30 Maret 1830 itu. Ia membongkar catatan harian Jenderal de Kock, Ali Basah Gandakusuma—panglima perang kepercayaan Dipanegara—dan Babad Dipanegara, otobiografi anak Sultan Hamengkubuwono III itu. Carey menyimpulkan, lukisan itu imajinasi Raden Saleh belaka.
Tak ada satupun catatan, misalnya, soal kehadiran Raden Ayu Ratnaningsih, istri Dipanegara, di teras itu yang digambar Saleh bersimpuh di kaki suaminya. Raden Saleh, saat penangkapan Dipanegara di hari Lebaran kedua itu, juga tak sedang di Indonesia. Ia masih tinggal di Belanda.
Saleh melukis adegan itu karena kagum pada sosok Dipanegara. Ia melukisnya pada 1857, dua tahun setelah Dipanegara meninggal di pengasingannya, Benteng Rotterdam, Sulawesi Selatan.
Lagipula, Dipanegara tak menolak diasingkan. Dalam Babad, ia mengakui kekalahannya di Solo tahun 1826 memupus harapannya menegakkan kesultanan baru di Jawa, selain Surakarta dan Yogya. Kepada Ali Basah, Dipanegara mengatakan lambat atau cepat Belanda pasti menangkapnya.
Perang Jawa antara 1825-1830 telah menyedot kas Pemerintah Hindia Belanda hingga 25 juta gulden. Ribuan prajurit tewas. Belanda sudah patah arang menghadapi Dipanegara. Telegram Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memerintahkan agar anak keraton Yogya yang memilih nyatri itu dibunuh saja. De Kock lalu merekayasa pertemuan dengan kedok perundingan di hari Lebaran, sehingga Dipanegara tak mungkin menolak karena itu hari siliaturahmi setelah puasa.
Buku ini menarik, meski hanya kumpulan tiga tulisan lama yang pernah diterbitkan dalam bahasa Inggris. Harsja W. Bachtiar menulis sisi lain Raden Saleh sebagai seorang arkeolog dan filolog yang tekun. Ekskavasinya menemukan rahang hiu purba di Sentolo, Jawa Tengah. Manuskrip-manuskrip yang ia temukan di Cianjur, ibukota Priangan lama, adalah catatan penting kehidupan sosial dan agama Sunda di abad 8.
Harsja menolak tafsir nasionalisme Raden Saleh lewat lukisan Penangkapan Dipanegara. Menurut Harsja, Saleh hanya seorang tradisional yang menerima begitu saja struktur masyarakat koloni. Saleh menikmati 23 tahun hidup di Belanda dari beasiswa raja dan pengusaha, keluar masuk istana Belgia dan Prancis dengan jas hangat Rusia dan kemeja Inggris yang necis.
Harsja membuktikan tak ada andil Raden Saleh dalam “pemberontakan Bekasi” April 1869. Seorang lurah yang memimpin perlawanan menyamar dalam kerumunan dengan pakaian yang biasa dikenakan Saleh. Lelah diinterogasi dan dimata-matai Belanda, Saleh menulis di jurnal Tidjschrift voor Nederlandsch Indie bahwa hidup-matinya hanya “dipersembahkan untuk rajaku, pemerintah, dan bangsa Belanda”.
Praktis 66 tahun hidup Saleh (ia lahir 1814) hanya dihabiskan untuk seni, ilmu, dan pergaulan borjuis. Tempat tinggalnya di Cikini, Bogor, atau Eropa bak istana. Di Bogor, ia berjalan bersama istrinya diiringi cantrik yang memegang payung kebesaran raja.
J.J. Rizal yang meracik pengantar untuk buku ini menduga upaya Saleh menggambar suasana dramatis penangkapan Dipanegara karena ketidakberdayaannya sebagai pribumi. Ia tak sanggup menentang Belanda secara terbuka karena berutang budi. Cara melawan pemerintah kolonial adalah dengan menganggumi Dipanegara dan melukiskan sosoknya yang mencongak melecehkan penangkapnya.
Dalam bahasa sosiolog James C. Scott, ini cara melawan yang khas dari orang yang kalah. Para petani desa menunduk di hadapan majikan seolah-olah takzim padahal kentut diam-diam. Sebuah perlawanan ala punakawan dalam wayang. Saleh barangkali tak seekstrim itu. Meski kemudian ia menghadiahkan lukisan Dipanegara itu untuk Raja Willem III, induk semangnya di Belanda.
Judul : Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indiƫ, dan Nasionalisme
Penulis : Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham
Penerbit : Komunitas Bambu, 2009
Tebal : xl + 200 halaman