Thursday, January 16, 2003

PASSION



"Jangan ada lagi murid yang meninggalkan sekolah." Pesan guru Gao Enman sebelum meninggalkan desa Shuiquan, Provinsi Hebei, Cina, itu menancap di benak guru Wei Minzhi. Ia, tentu saja, shocked. Di usianya yang ke-13, Wei merasa dibuang ke Shuiqian yang miskin dan sepi. Shuiquan bukanlah tempat menyandarkan impiannya yang ingin menjadi guru di kota. Tapi, Guru Gao, yang telah menjadi kepala sekolah seumur hidup itu, menghiburnya bahwa itu akan menjadi jembatan Wei bisa diangkat menjadi guru di kota. "Lihatlah aku, Wei," katanya, "kini sekolah-sekolah di kota memerlukanku."

Apa boleh buat, Wei hanya bisa menatap kepergian Gao dengan sedih dan harapan yang ditinggalkannya. Ia kini harus menghadapi 12 orang murid--enam perempuan dan enam laki-laki. Wei harus meneruskan membekali anak-anak desa itu dengan ilmu hitung, pengetahuan alam, dan membaca, seraya terus dihantui pesan Gao. Dulu, begitu Gao bercerita sebelum pergi, ia mengajar tak kurang dari 40 murid. Jumlah itu menyusut menjadi 28, karena anak-anak itu harus bekerja di kota menjadi pengemis, pemulung, atau kerja apa saja agar hidup tak berhenti. Desa yang kering tak bisa diharapkan untuk makan. Jumlah itu pun terus menurun hingga 12, dan Wei pun datang.

Sekolah Wei berada di tengah-tengah sawah yang tanahnya retak-retak dan padat. Bangunan itu hanya sebentuk rumah yang hampir roboh. Hanya dua ruang di rumah itu. Satu untuk kelas, di mana Wei mengajar, dan satu untuk tempat tidur Wei. Wei yang masih anak-anak tak bisa maklum bahwa murid-muridnya belum tahu mengapa mereka sekolah. Mengapa mereka harus duduk selama setengah hari dan melihat Wei menuliskan angka-angka di papan tulis. Mengapa tiap Senin mereka harus menghormat pada bendera Cina dalam upacara. Dan Wei pun mengajar hanya agar murid-murid tak berhenti sekolah. Hanya mempertahankan pesan Gao agar "guru di kota mau cepat memindahkannya dengan syarat tak ada murid yang berhenti sekolah."

Wei tak digaji. Tapi ia harus makan. Cina yang diamuk resesi, dalam waktu film ini, seperti sebuah neraka yang bingung dan kalap. Wei pun mengajukan pindah karena tak tahan menahan lapar, juga tak tahan dengan ulah murid yang bandel dan nakal. Tapi, permintaannya tak dikabulkan. Wei dipaksa mengajar di Shuiquan, hingga diperoleh kepastian sekolah di kota dibuka kembali.

Maka Wei menyusun siasat. Ia akan pergi diam-diam tanpa sepengetahuan Lurah, meski Wei tahu risiko apa yang akan diterimanya jika Pak Lurah itu sampai tahu ia melalaikan para muridnya. Tapi Wei nekat. Subuh-subuh ia sudah berkemas. Tapi hatinya bimbang. Ketika ia hanya sendirian di kamarnya yang apek, Wei dihinggapi kangen bertemu murid-muridnya. Bagaimanapun, selama ini mereka yang menjadi teman. Meski mereka bandel, tapi Wei terhibur. Maka untuk menunggu murid-muridnya datang, Wei menunggu matahari muncul. Ia akan berpamitan dengan pura-pura akan menghadap Pak Lurah di pusat desa.

Tapi kabar itu datang terlalu cepat. Murid-murid secara berbondong dan terengah melapor bahwa Zhang Huike--salah satu murid terbandel dan paling sering membikin Wei jengkel--menghilang dari rumahnya. Wei panik. Secara bergantian, terbayang wajah Guru Gao dengan pesannya dan wajah Zhang ketika membikin onar di kelas. Bersama murid-muridnya ia mendatangi rumah Zhang. Di sana ia mendapati ibu Zhang terbaring lemah. Malaria menyedot darah dari tubuh yang muda tapi rapuh itu. "Hutangku banyak, kusuruh Zhang bekerja di kota," kata ibu Zhang dengan suara tersendat.

Wei menangis. Ia tahu, Zhang yang kecil itu, belum pernah sekalipun menginjak kota. Wei khawatir nasib Zhang tak menentu. Maka ia bermusyawarah dengan para murid di sekolahnya bagaimana jalan keluar agar Zhang kembali ke desanya. Kesepakatan diperoleh: ia akan mencari Wei ke kota dan mengajaknya pulang; ongkosnya patungan dari uang jajan para murid. "Demi Zhang, kalian harus rela seminggu ini tak jajan," katanya. Tapi, sial, uang patungan itu tak cukup menutup ongkos sekali ke kota. Wei terduduk lemah. Tapi ia ingat, di pinggir desa ada tumpukan batu bata yang belum dipindahkan pemiliknya. Maka mereka pun menuju ke sana.

Seharian penuh guru dan murid itu mengangkut batu bata itu ke sebuah bangunan tua. Setelah itu mereka akan mendatangi si empu batu bata dan menagih ongkos pemindahan. Tapi belum selesai batu bata itu diangkut, si pemilik sudah datang karena laporan tetangganya. Ia marah. "Hei, kenapa kau pindahkan batu bataku?" sergahnya. "Agar bata ini tak kena hujan," jawab Wei.

"Tapi aku tak berniat memindahkannya. Hujan tak akan merusak bata-bata ini."
"Biarin. Kami sudah bekerja, kini kau harus membayar kami."
"Apa?" si pemilik bata melotot.
"Kau harus membayar karena kami sudah bekerja memindahkan bata ini," jawab Wei. "Cepat, kalau tidak kami akan hancurkan semua bata-bata ini."

Mendengar ancaman itu, si pemilik bata semakin naik pitam. Tapi sebelum ia menampar Wei, anak-anak sekolah itu segera menyerbu batu bata dan membantingnya ke tanah. Si empu bata tercengang. Tapi ia tak bisa mencegah anak-anak itu, karena tangannya cuma dua. Maka ia menyerah. "Baiklah," serunya, "aku akan beri kalian uang." Anak-anak itu behenti dan berkumpul di depan Wei. "Ini, di sakuku hanya ada uang ini," katanya membanting uang recehan di depan anak-anak. Wei segera memungut uang itu, dan mengajak anak-anak meninggalkan si empu bata yang tertunduk lesu meratapi bata-batanya.

Kini Wei cukup punya uang untuk ongkos dan sedikit bekal untuk jajan. Besoknya, dilepas tatapan mata para muridnya, Wei meninggalkan Shuiquan menuju kota. Tapi, kota sesuatu yang asing bagi Wei. Ia tak membayangkan kota seperti sebuah pasar: tempat bertemu orang-orang dan tempat terjadinya transaksi keinginan. Wei tersaruk-saruk mencari Zhang, hingga ia mendapat ide membuat iklan mencari Zhang yang ditempel di sudut-sudut jalan. Dia tak berhitung, uang bekalnya tak cukup sekedar membeli tinta dan kertas. Wei tak punya uang untuk makan. Wei yang kecil tidur di emper toko, minum air kran yang bocor, dan makan nasi bungkus dari tong sampah. Dan orang-orang yang lewat enggan membaca iklan yang dibuat Wei.

Tapi, bukan Wei jika ia tak punya ide lain. Ketika tidur di emper ia dengar sebuah pengumuman yang disiarkan melalui speaker di sebuah gedung. Maka Wei menerobos penjaga dan menyampaikan keinginannya mencari Zhang lewat speaker. Tentu saja Wei dihardik penjaga ke luar gerbang. Tapi Wei bertahan, karena, pikirnya, inilah satu-satunya cara lain mendapatkan Zhang kembali. Maka ia tidur berhari-hari di depan gerbang gedung itu, yang ternyata sebuah radio lokal, hingga pemimpinnya menaruh iba dan mengajaknya masuk.

Kini, titik terang itu datang. Sebuah stasiun televisi lokal terenyuh mendengar perjuangan Wei mencari Zhang yang disiarkan radio itu. Maka sebuah acara live disiapkan. Isinya wawancara si penyiar dengan Wei tentang perjuangan mencari Zhang. Wei yang kumal tampil di televisi. Seraya menangis ia berkata, "Zhang, jika kau lihat aku, kembalilah ke desa. Kami ingin kau pulang."

Zhang ternyata memang melihat Wei. Ia kini bekerja sebagai pembersih piring dan menyapu sisa makanan di sebuah rumah makan. "Itu saudaramu, Zhang?" tanya si pemilik warung yang gendut dan cerewet itu. Zhang tak menjawab, ia hanya menangis. Si ibu kemudian mengantarkan Zhang ke kantor televisi itu. Dengan penuh haru, Wei menubruk Zhang. Film ini berakhir ketika Wei dan Zhang berjalan kembali ke desanya. Tak salah, jika sutradara Zhang Yimou memberi judul Not One Less untuk film yang menampilkan akting alamiah anak-anak Shuiquan asli ini. Tak salah juga jika Wei menyabet artis terbaik berkat film ini.

Film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Shi Xiangsheng itu diproduksi pada 1999. Tak salah jika organisasi Ivan Illich di Sao Paolo mengganjar film ini dengan predikat film pendidikan terbaik. Illich, kita tahu seorang pastor kelahiran Austria yang hidup miskin di Peru dan getol mengkampanyekan pendidikan alternatif untuk negara berkembang. Bukunya, Deschooling Society, amat terkenal di sini dan dikutip banyak pakar. Ia meninggal 2 Desember lalu, ketika saya menonton untuk ketiga kalinya film itu, dan menontonnya kembali malam tadi.