Suatu sore keduanya bertemu di kedai kopi, di sebuah sudut jalan yang lengang. Setelah berpelukan seperti dua orang yang sudah lama tak bertemu, keduanya duduk di kursi agak ke sudut. Dari sana, memang, mereka leluasa menikmati cuaca dan jalanan Paris yang sepia. Kundera rupanya sudah lama memendam pertemuan ini. Maka ketika pembicaraan lepas dari basa-basi tanya kabar, ia merangsek menyoal cogito ergo sum.
"Bagaimana kau bisa merumuskan omong kosong intelektual seperti itu?"
"Ha-ha-ha, seperti biasa, aku selalu suka dengan diksi dan frasa yang kaubikin, Milan. Lucu. Kau memang..."
"Jangan mengalihkan, jawab pertanyaanku."
"Sejak kapan kau jadi intel?"
"Jawab pertanyaanku."
"Baiklah, kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Kau belum berubah, Ren�. Tetap bebal. Pantas saja kau mengabaikan sakit gigi."
"Karena sakit berasal dari pikiran kita sendiri."
"Tapi pikiran itu bisa hinggap di kepala siapa saja. Omong kosongmu itu patah sudah".
"Tunggu dulu," Descartes menggeser kursinya. Ia kini menghadap Kundera dengan serius. "Apa yang membuat kau ini ada, menurutmu?"
Kundera tak menjawab, ia juga menggeser kursinya, lebih dekat ke kursi Descartes. Tiba-tiba, "Adduuuuwh!" Descartes menjerit. Ujung sepatunya tepat terinjak kaki kursi yang diduduki Kundera. Penulis Ceko itu juga terkejut. Bangkit. Memandang Descartes yang meringis.
"Nah, itu!" Kundera bersorak. "Kau merasa ada dengan sakitmu kan?"
Descartes tak menjawab, masih meringis. Ketika mulutnya siap dengan jawaban, matanya menangkap seseorang berjalan mendekat. "Sudah-sudah. Nietzsche datang. Lihat, kumisnya berkibar-kibar. Hallo, Fried..."