SAPARDI Djoko Damono pasti menulis puisi itu ketika dunia dan bumi masih normal, ketika musim tertib dan cuaca masih karib. Maka penyair ini menyebut hujan bulan Juni sebagai rintik air yang tabah, bijak, dan arif, karena ia turun membasahi tanah yang kering untuk memberi napas kepada akar pohon bunga itu. Dulu, hujan bulan Juni seperti cinta ibu yang selalu menunggu.
Kini, hujan bulan Juni adalah guruh yang sengit dan tak bisa ditebak, petir yang salah musim, rintik yang keliru waktu. Matahari tak sekadar cahaya, tapi dengus medusa yang menghisap titik embun ke langit yang tengadah lalu mengubah udara di bumi yang merekah. Hujan bulan Juni hari-hari ini seperti rindu seorang anak yang kelewat membludak.
Kini, hujan bulan Juni adalah guruh yang sengit dan tak bisa ditebak, petir yang salah musim, rintik yang keliru waktu. Matahari tak sekadar cahaya, tapi dengus medusa yang menghisap titik embun ke langit yang tengadah lalu mengubah udara di bumi yang merekah. Hujan bulan Juni hari-hari ini seperti rindu seorang anak yang kelewat membludak.