Thursday, July 31, 2003

LAGU




Kenapa sebuah lagu enak didengar? Hazrat Inayat Khan punya jawabnya. Dalam buku Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, sufi India yang menekui musik dengan hasrat sampai ke sumsum itu, mengatakan "dalam musik kita melihat Tuhan bebas dari segala bentuk dan pikiran." Tapi, ini suatu yang terlalu besar. "Suara saja," katanya, "tidak menjadikan objek apapun muncul di depan kita." Karena itu musik lebih gampang didengar.

Berbeda dengan puisi, musik tak memerlukan kata dan kalimat untuk menarik minat orang mendengarkan. Karena, memang, bukan itu yang penting disampaikan ke telinga pendengar. Kata-kata menjadi tak penting dalam musik atau lagu atau suara. Ia bebas asal mengena di telinga, "tak ada objek yang terasosiasi dari sana".

Dalam puisi, asosiasi makna dan bunyi menjadi penting, juga pilihan kata. "Setiap kata dalam puisi," tulis Inayat Khan, "membentuk sebuah gambar dalam pikiran kita". Dari huruf dan kata juga kalimat dan rima, dalam sebuah puisi yang utuh akan tercipta sebuah suasana, yang mungkin tak gampang dirumuskan kembali. Kata-kata di sana memperjuangkan apa yang terkandung dalam deret huruf-huruf.

Sedang dalam musik, irama dan asosiasi nada yang membuat suara utuh sebagai sebuah musik. Musik yang enak didengar adalah musik yang pas asosiasinya. Begitu juga sebaliknya, musik yang tak enak didengar hanyalah kegagalan ritme bunyi-bunyi yang ditimbulkannya. Tapi, Inayat menolak pengkotakan seperti ini. Menurutnya, semua suara, semua musik, punya makna-makna sendiri. Dalam riwayat hidupnya, ia memang menganalisis semua bunyi, dan berkesimpulan "musik adalah sarana paling efektif menjumpai Tuhan."

Yang enak dan tidak enak memang sesuatu yang terlalu subjektif. Lagu yang enak setelah puluhan tahun tak didengarkan lagi menciptakan suasana apa, pada suatu waktu tertentu, ketika terdengar sengaja atau tak sengaja. Suasana patah hati karena ditinggal pacar ditimbulkan oleh bunyi yang terendap sekian tahun silam, ketika kita mendengarkan lagu itu pas pacar kita memutus cintanya. Ada yang tertinggal dan membekas dalam lagu itu.

Karena itu saya suka musikalisasi puisi. Karena setelah puisi dinyanyikan yang ada adalah lagu dan suasana yang ditimbulkan. Tapi, saya kurang meminati puisi yang dibacakan. Siapapun pembacanya, puisi yang dibacakan sudah kehilangan daya pukaunya. Kata-kata di sana tak lagi menyampaikan apa yang ada dalam sebuah puisi.

Tapi lagu, hanya suara-suara itu yang ada. Maka, lagu Sakura yang diciptakan dan dinyanyikan Fariz RM selamanya enak didengar kendati syairnya tak jelas menceritakan tentang apa. Atau ketika kita mendengar irama padang pasir atau lagu dengan teks bahasa Inggris. Mengerti syairnya bukan lagi hal yang penting. Asereje saja enak dipakai goyang tanpa perlu tahu menceritakan dan berisi tentang apa. Ini syair Sakura :


SAKURA

Senada Cinta Bersemi Diantara Kita
Menyandang Anggunnya Peranan Jiwa Asmara
Terlanjur Untuk Terhenti
Dijalan Yang Tlah Tertempuh Semenjak Dini
Sehidup Semati

[Reff 2]
Kian Lama Kian Pasrah Kurasakan Jua
Janji Yang Terucap Tak Mungkin Terhapus Saja
Walau Rintangan Berjuta
Walau Cobaan Memaksa
Diriku Terjerat Dipeluk Asmara

Bersama Dirimu Terbebas Dari Nestapa
Dalam Wangi Bunga Cita-cita Nan Bahagia
Walau Rintangan Berjuta
Walau Cobaan Memaksa
Diriku Terjerat Dipeluk Asmara

[Back to Reff 2]

[Reff 3]
Terlambat Untuk Berdusta Terlambatlah Sudah
Menipu Sanubari Tak Semudah Kusangka
Yakin Akan Cinta Yakinlah Segalanya
Perlahan dan Pasti Daku Kan Melangkah
Menuju Damai Jiwa


Sapardi Djoko Damono pernah diminta menjadi juri lagu-lagu dangdut. Kalau tidak salah, ia menolak permintaan itu. Sapardi yang hidupnya tak lepas dari kata-kata mengaku tak kuat membaca syair-syair lagu dangdut. Ia mungkin baru ngeh saat itu kalau syair dangdut penuh berisi kalimat klise yang tak punya arti sama sekali. Tapi, siapa peduli! Lagu Merana saja digemari banyak orang meski dinyanyikan dengan riang, tapi enak untuk berjoget. Tak ada objek yang hinggap di kepala kita ketika mendengarkan lagu itu.