Thursday, January 30, 2003

MARTY

Marty, namamu menghias kepala berita Kompas Minggu (26/1). Namamu ditulis lengkap, sampai kelebihan "h" di belakang nama depanmu, "Martuah Manullang (26)..." si wartawan mungkin tergesa, mungkin juga kurang data, ketika menulis namamu di pembuka paragraf beritanya. Marty, mungkin kau sedang melihat di sana, ketika aku pegang koran itu dengan bergetar di gerbong tujuh Pakuan pagi-pagi. Berita itu begitu dekat, masih menyentak, meski aku sudah tahu via sms tentang kabar buruk yang menimpamu sehari sebelumnya.

Tubuhmu hangus, kata berita itu. Tak lagi bisa dikenali, sambung paragraf berikutnya. "Tak ada jerit minta tolong," kata saksi mata kepada wartawan itu. Aku bayangkan, Marty, kau panik ketika api menyembur mengepung tubuhmu dalam kamar kosmu yang jadi neraka. Api begitu tiba-tiba membumbung pada siang bolong. Kubayangkan kau sedang tidur atau apalah untuk membunuh waktu liburmu.

Sehingga kau tak bisa berkutik ketika lidah suhu lebih dari 100 derajat itu mengoyak kulitmu, memisahkan tangan dan kakimu dari tubuhmu, lalu menguliti tengkorak kepalamu. Marty, aku yakin kau berjuang keras mejemput sakratul maut yang begitu kuat, tak bisa menjerit, tak bisa berkutik. Hingga teman-temanmu hanya bisa terpana ketika melihat jasadmu terbaring di kamar jenazah RSCM: kematian begitu dekat.

Marty yang tangguh, aku suka julukan yang diberikan bos kita itu untukmu. Pas benar. Kau tak takut kendati ajudan Kepala BIN itu hendak memukulmu, ketika kau sudah janji akan bertemu dengannya untuk sebuah wawancara di suatu tempat. Kau ngotot, karena kau merasa benar. Kau malah balik menantang ajudan yang berbadan besar itu. Kendati kau tetap tak diizinkan bertemu dengannya, kau sudah berusaha, bahkan sampai upaya terakhir: berantem dengan narasumber untuk dapat sebuah konfirmasi gawat.

Atau ketika kudengar kau memaksa masuk ke lift di mana Ketua KONI di situ sudah masuk sebelumnya. Kau dihardik, tapi kau memaksa, hingga kau dapat sebuah konfirmasi penting dari dia. "Apa Bapak kenal dengan Sjamsul Nursalim?" hanya itu pertanyaanmu, dan kau pulang membawa berita. Sebuah upaya penting yang dilakukan wartawan sekecil apapun nilai beritanya. Tapi tidak. Itu berita yang besar. Kau pasti tahu, Marty, sehingga kau bersikeras hanya untuk dapat jawaban pertanyaan singkat itu.

Mukamu Batak, tapi omongmu halus benar. Jika kudengar transkrip wawancaramu, siapapun tak akan menyangka asal-usulmu dari Sumatera Utara. Kau lancar omong Sunda, bahkan sampai ke cengkok dan idiom-idiomnya. Kau lahir dan besar di Bandung lalu kuliah di Teknik Minyak ITB pada 1995.

Dia anak yang cerdas, kata teman-teman di tempat kerjamu yang baru: sebuah bank besar di negeri ini. Kau selalu dapat nilai di atas 80 untuk setiap item penilaian. Aku tak menyangsikan itu, Marty. Marty yang tangguh, julukan itu sudah berbicara segalanya tentang kinerjamu. Meski kata teman kita, kau sudah bosan kerja kantoran, padahal beberapa bulan lagi akan diangkat jadi karyawan.

Marty, fotomu yang sedang telanjang di pinggir kolam renang itu, waktu kita ke Puncak sekantor, masih ditempel di ruang kerja kita. Kini aku hanya bisa melihat kau tersenyum bergaya ikan duyung di situ. Selamat jalan, Marty...