Friday, November 11, 2005

KACAU HURUF



Eko Endarmoko

Praktikal atau praktis? Praktek atau praktik? Standar atau standard? Rasanya kita mendapati makin banyak saja kata yang ditulis berbeda-beda.

Ingat jugalah pemakaian kata-kata "kritikal" dan "teknikal", seperti "praktikal", yang agak sering kita temukan. Konon ketiga kata ini diserap dari bahasa Inggris critical, technical, dan practical. Kalau dikatakan bentuk yang baku adalah "kritis", "teknis", dan "praktis", pertimbangannya bukan semata karena ketiganya bisa juga dianggap serapan dari bahasa Belanda kritisch, technisch, dan praktisch, melainkan lebih karena akhiran -ical Inggris, dan -isch Belanda, dalam kaidah bahasa Indonesia menjelma -is, seperti pada "ekonomis", "hipotetis", atau "logis".

Sementara itu, Pusat Bahasa butuh waktu lama untuk menetapkan bentuk kata yang mesti dipakai adalah "praktik", bukan "praktek". Mulanya mungkin kita terkaget-kaget, tapi tampaknya itu terjadi karena kita belum terbiasa. Bukankah juga ada kata "praktikum", "praktis", dan "praktisi"? Dan berdasar nalar yang sama, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) mestinya menulis bukan "populer", melainkan "popular", bukan "reguler", melainkan "regular", pun bukan "sekuler", melainkan "sekular".

Kaidah pembentukan kata serapan di situ cukup jelas dan logis, namun ironisnya dilanggar sendiri oleh lembaga yang merumuskannya, Pusat Bahasa. Ini contoh lain. Kita diminta menulis "standar", bukan "standard", meski ada kata "standardisasi". Padahal, menurut kaidah berbahasa yang baik dan benar, gugus konsonan /rd/ di akhir kata serapan tetap dipertahankan sebagaimana kita menulis "absurd" dan "fyord". Ingatlah pula pada huruf /t/ di akhir kata yang kini banyak disunat: "ekspor", "impor", "ekstrover", "introver", "transpor".

Pernah juga kita diminta menulis "subyek" dan "obyek", tapi sekarang diganti "subjek" dan "objek". Barangkali karena setelah diperiksa asal-usulnya, kedua kata itu, baik dalam bahasa Belanda maupun Inggris--dua bahasa yang termasuk paling banyak menyumbang kosakata buat kita--ditulis subject dan object. Baiklah. Lalu bagaimana dengan bentuk "proyek"? Tidakkah bahasa Belanda dan Inggris sama-sama menuliskan keduanya project?

Lihatlah, dalam soal yang "sepele" saja, yakni bagaimana menulis kata, lembaga yang melulu mengurusi bahasa sudah repot. Ia tidak hanya mengabaikan kaidah, tapi juga seperti tidak yakin pada alasan-alasan yang mendasari kaidah itu. Apakah sebetulnya yang menjadi kriteria di dalam menyerap kata asing: ejaan, bunyi, ataukah bahasa asalnya?

Yang kemudian mengundang cemas, bahasa Indonesia jadi seakan tak punya aturan dan terkesan tak siap menjalankan fungsi kecendekiaan. Tidak bisa tidak, kita membutuhkan kaidah yang jelas sambil tak lupa bahwa bahasa cenderung mengelak diringkus oleh kaidah yang cerewet dan kaku. Dirumuskan terbalik, selama kaidah meneropong bahasa sebagai barang mati maka selama itu pula bahasa Indonesia akan terus awut-awutan seperti sekarang. Atau setelah buta huruf, kita perlu melewati fase kacau huruf dulu sebelum betul-betul melek huruf?

Koran Tempo, 9 November 2005