Bagja Hidayat
Wartawan
Seorang komentator sepak bola mengatakan, hari-hari ini kita menyaksikan gelora nasionalisme di lapangan hijau. Patriotisme 90 menit, kata sosiolog Skotlandia, Grant Jarvie. Sepak bola adalah perang, kata pencetus total-football asal Belanda, Rinus Michel.
Tapi pengertian-pengertian itu kini agak membingungkan ketika sepak bola telah melintasi batas-batas negara. Giovanni Trapattoni mengomandoi kesebelasan Irlandia untuk menahan gempuran tim Italia, negaranya sendiri, dalam penyisihan Piala Eropa. Italia menang, sementara Irlandia pulang dengan kekalahan.
Empat tahun lalu, Guus Hiddink juga berjingkrakan setiap merayakan gol Rusia ke gawang Belanda. Negeri asal Hiddink itu harus pulang lebih cepat dengan kekalahan memalukan. Sedangkan Rusia, tim yang ia latih, melaju ke babak berikutnya dengan mudah.
Atau Lukas Podolski. Penyerang Jerman asal Polandia itu adalah pemain yang dengan golnya menyingkirkan tim tanah leluhurnya dalam Piala Dunia 2010. Presiden Polandia ketika itu meradang dan menyatakan akan mencabut paspor Polandia milik Podolski.
Pemain Jerman lain, Jerome Boateng, lebih runyam lagi. Dalam Piala Dunia 2010, bek yang dalam Piala Eropa kali ini begitu tangguh hingga tak gampang dilewati Cristiano Ronaldo tersebut menghadapi kesebelasan adiknya, Kevin Prince-Boateng, yang memilih bermain untuk Ghana, negara asal orang tua mereka.
Dalam pertandingan itu, Jerman menghentikan gaya impresif Ghana dengan skor 1-0. Di mana nasionalisme?
Sepak bola barangkali bukan sebuah “komunitas yang dibayangkan”. Tak ada bangsa, tak ada negara. Sepak bola telah melintasi batas-batas itu, kata Albert Camus. Ketika imigrasi tak terbendung dan naturalisasi menjadi tren, pemain sepak bola bukan lagi orang “pribumi”. Kesebelasan Prancis lebih banyak diisi oleh mereka yang berdarah Maroko atau Aljazair. Tapi apa yang pribumi, apa yang pendatang?
Dalam sepak bola, negara hanya geografi pada atlas, paspor sekadar sebuah penanda, selain kostum, bendera, dan lagu kebangsaan. Setelah itu, para pemain bahu-membahu membuat gol ke gawang lawan--tujuan utama permainan ini. Dan lawan itu bisa tanah kelahiran, asal-usul nenek moyang, atau sesama teman di klub.
Tapi sejarah sepak bola telah menunjukkan bahwa kekacauan "tanah air" itu tak menimbulkan chaos. Hiddink masih bisa pulang dan ditawari pula menukangi Belanda kembali. Kemarahan orang Polandia tak sampai membuat Podolski takut mengunjungi neneknya. Dan di Senayan, 24 Mei lalu, penonton Indonesia lebih banyak memakai kostum Internazionale Milan ketimbang kaus merah. Mereka bersorak tiap kali para pemain klub Italia itu membuat gol.
Kita pun menyambut Piala Eropa atau Piala Dunia selalu dengan antusias. Rela begadang untuk menonton tim dukungan kita, membela amat serius di Twitter atau Facebook. Padahal tak ada tim Indonesia dalam kejuaraan-kejuaraan itu. Kita sudah bosan bertanya mengapa tak ada 11 saja di antara 240 juta orang Indonesia yang jago menggocek bola hingga bisa tampil di kejuaraan dunia.
Hiddink dengan enteng mengatakan dirinya seorang profesional. Mungkin benar. Nasionalisme barangkali tak tepat benar dirumuskan dalam sepak bola modern. Toh, kita bisa mendukung kesebelasan Belanda tanpa harus repot mengingat pelajaran sejarah tentang penjajahan.
Suatu saat, tim sepak bola barangkali hanya perlu meminjam nama sebuah negara. Atau, negara nanti hanya perlu menyewa sebuah tim untuk berlaga. Negara hanya hadir sebagai nama, sekadar penanda dan pembeda.
Dimuat Koran Tempo edisi Euro 2012 edisi Kamis, 28 Juni 2012