Friday, March 12, 2004
SESEORANG DI KURSI DEPAN
Seseorang di kursi depan sebuah bus yang melaju di Jalan Sudirman. Seseorang naik dari halte Ratu Plaza. Tak ada yang mencurigakan pada seseorang hingga bus tiba di halte Komdak. Penampilannya, saat naik, tak membetot mata untuk memandangnya lama-lama. Seseorang duduk begitu saja di kursi depan, dua baris diagonal di depanku. Hanya itu saja, tak lebih, sungguh, hanya itu saja.
Seseorang menarik perhatianku ketika bus masuk terowongan jembatan Semanggi. Rambut seseorang serasa kukenal. Pekat dan kriwil-kriwil tak kenal sisir. Seseorang memakai kemeja tentara dengan bordir beraneka gambar. Lambang Nazi segala di pangkal lengan kanan. Jins seseorang juga kumal. Mendekap ransel Alpina kumal dan robak-robek di jahit-jahitannya. Gaya seseorang mengingatkanku pada Jonggi, seseorang lain di masa lalu, aktivis partai yang teriak paling depan saat demo sebelum rusuh. Tapi Jonggi sudah "insyaf". Dia sudah pulang kampung. Dia hampir bersumpah tak akan singgah ke Jakarta lagi jika tak kucegah. "Siapa tahu kau jadi caleg," begitu kuingatkan.
Seseorang memang bukan Jonggi. Badan seseorang terlalu tegap untuk orang seperti Jonggi yang merokok tak henti-henti tanpa olahraga. Jonggi tak setinggi itu jika duduk. Lagipula untuk apa dia ke Jakarta musim kampanye begini. Dia sudah benci partai kini. Tapi siapa tahu dia berubah pikiran lagi dan bergabung dengan salah satu partai di kampungnya. Aku meyakinkan diri, Jonggi tak akan mau ke Jakarta. Seseorang bukan Jonggiku.
Sikap duduk seseorang mengingatkanku pada seseorang yang lain, juga dari masa lalu. Ada sikap Coki pada duduk tegap yang angkuh seperti itu. Membusung dada dan selalu menganggap remeh pada orang lain. Orang lain dianggapnya cupet meski aku tahu dia juga sering berpikir sempit terutama jika sedang jatuh cinta. Ia kerap tak bisa membedakan mana pujian mana cacian jika ada perempuan yang berhasil membuatnya kepayang, dan tentu saja, menolak cintanya.
Tapi ia bukan Coki yang bapaknya menurunkan gen rambut keriting lidi alias lurus atawa jocong. Coki di Jakarta dan kini sudah perlente jadi pekerja sebuah bank yang mulai pulih. Ia kini wangi dan mainannya ke kafe kalau tak nongkrong di mal mencuci mata untuk melihat belahan dada dan bokong abg. Coki jadi seorang metronis dengan gaji yang lebih dari cukup. Sudah tentu seseorang di kursi depan sebuah bus yang melaju di Sudirman bukan Cokiku.
Ingatanku melayang pada Gimbal, seseorang lain yang bernama asli Muhamad Zaki. Bentuk rambut seseorang mirip benar terlihat dari belakang ketika terakhir kami bertemu. Kudengar Gimbal pulang ke Aceh dan entah jadi apa. Kami tak ketemu kontak lagi. Ia juga tak tersambung internet, mungkin dia sendiri tak menyukai peranti itu. Gimbal ke Jakarta? Mungkin juga. Untuk apa? Ini yang perlu kutanyakan. Bus makin padat dan tersendat karena iring-iringan rombongan simpatisan partai. Ah, bagaimana membayangkan sebuah pertemuan dengan kangen yang mendadak?
Aih, tiga pengamen Batak naik pula berdesak-desakan. Seseorang satu menenteng gitar dan langsung menyanyikan Sajojo. Tiga suara berbeda, bergetar di setiap ujung nada, bertimpang tindih jadi harmonisasi yang enak didengar. Tiga lagu medley: semuanya berbahasa Batak. Sampai selesai mengumpulkan receh dari tiap penumpang. Mataku kini menubruk kepala seseorang di kursi depan lagi. Harus kulihat wajahnya agar penasaranku lenyap.
Dua orang penumpang berdiri hendak turun di halte Mid Plaza. Aku menggeser lutut. Seseorang di kursi depan berdiri juga, he. Aku juga ikut berdiri. Penumpang di belakang bilang permisi mau turun juga. Aku menggeser lagi. Pintu sudah terbuka, seseorang di kursi depan turun, aku mendesak tiga penumpang yang berjalan lelet. Sekilas kulihat wajah seseorang di kursi depan. Heh, dia Marko! Aku bersegera loncat dari bus yang terus melaju pelan. Marko, Marko, kapan kau tiba di Jakarta dan untuk apa?
Aku berdiri di trotoar di luar halte. Marko, seseorang berambut gimbal, telah lenyap.
: nama-nama disamarkan
Subscribe to:
Posts (Atom)