Thursday, April 27, 2017

TOLERANSI DI GUNUNG KAWI


Jalan masuk pasarean Mbah Djoego.
JIKA berkunjung ke Gunung Kawi, di Jawa Timur, keinginan para demagog agama yang sedang populer lewat demo-demo besar di Jakarta, rasanya sulit diterapkan. Di makam Mbah Djoego dan Mbah Iman Sudjono ini toleransi antar manusia begitu tinggi.


Masjid Iman Sudjono bersebelahan dengan kelenteng dengan lilin-lilin setinggi dua meter. Puji-pujian dalam bahasa Arab di masjid diiringi karawatian. Orang-orang Tionghoa berkalung salib berdoa di makam berisi dua jasad pengikut Pangeran Diponegoro itu.

Atau di masjid dekat makam, mereka yang datang berdoa bersama perempuan-perempuan yang memakai jilbab atau laki-laki berpeci. Juga anak-anak yang dibawa ibu-bapak mereka. Dan kedua jenazah yang terbaring di sana semasa hidup adalah para ulama, kyai yang menyebarkan ajaran Islam hingga ke luar wilayah Mataram di Yogyakarta.

Mbah Djoego adalah Kyai Zakaria II, penasihat spiritual Diponegoro. Ia lari ke Timur setelah Diponegoro ditangkap pasukan Belanda seusai makan malam dengan Gubernur Jenderal de Kock di Magelang pada 1830. Djoego menolak takluk. Sampai di Malang ia menetap di desa yang ia beri nama Dusun Djoego.

Kemudian ia mendirikan padepokan di lereng Gunung Kawi karena ingin dikubur di sana ketika meninggal. Salah satu murid kepercayaannya adalah Iman Soedjono. Mereka meneruskan ajaran anak Sultan Hamengkubuwono III yang menolak jadi raja dan lebih senang mengembangkan pesantren itu. Siar Islam pun berkembang di bekas wilayah kekuasaan Ken Arok ini.

Kedua jasad itu dikubur dalam satu liang lahat. Mbah Djoego meninggal pada 1871 dan Iman Soedjono lima tahun kemudian. Pada 1954 kuburan di bukit setinggi 800 mdpl itu tak terawat hingga datanglah Ong Hok Liong. Pengusaha klobot di Malang ini sedang rungsing karena usahanya menurun. Ia pun menenangkan diri dengan tidur di dekat makam karena di sini hawanya sejuk.

Suatu kali ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang memintanya menjual talas jika ekonominya ingin kembali menggeliat. Hok Liong bingung karena ia tak punya pengalaman menjual hasil kebun. Tapi, ia tak kurang akal, ia ubah merk klobotnya dari namanya menjadi "Bentoel", nama lokal untuk talas. Sejak itu, hingga tiga generasi kemudian, Hok Liong menjadi orang terkaya di Indonesia lewat dagang rokok tersebut.

Sejak itu makam Kyai Zakaria jadi tempat ngalap berkah orang-orang dari seluruh Indonesia untuk memohon rejeki. Orang asing juga banyak yang datang untuk berwisata. Dan agaknya mereka yang memohon kesejahteraan lumayan berhasil. Menurut Nur Aji, seorang pemandu, kini kompleks makam tertata rapi dibanding sepuluh tahun lalu. Lantainya konblok dan jalan kampung dilapisi aspal. "Ini semua sumbangan dari mereka yang pernah datang ke sini dan berhasil," kata dia. Aji menyebut nama pemilik sebuah salon terkenal di Jakarta dan Om Liem. Liem Sioe Liong alias Sudono Salim.

Keluarga Salim pula yang kemudian membangun kelenteng dan masjid. Adapun Bentoel pengembang pertama kompleks seluas 1 hektare ini yang dilanjutkan keluarga pemilik Gudang Garam.


Saya berkunjung ke Gunung Kawi, 35 kilometer ke Barat dari Kota Malang, menemani napak tilas Amarzan Loebis pada Ahad pekan lalu. Ia pertama ke sini tahun 1987 lalu 1997. "Jadi kunjungan ketiga ini tetap dalam interval, 2017," katanya.

Dalam kunjungan kali ini, ia mengunjungi tempat-tempat yang dulu didatanginya. Restoran Djakarta masih ada. Juga penginapan Indah Jaya. Warung-warung kian padat. Sayangnya, para peramal di kios-kios tutup karena kami datang terlalu malam. Padahal Amarzan ingin menemui orang yang dulu meramalnya sebagai "kuda lepas dari kandang", yang sekali lepas tak akan kembali.

Sejak usia 22, Amarzan ke Jakarta untuk kuliah di UI tapi batal karena menjadi wartawan Harian Rakjat Minggu dan menjadi penyair anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat. Usia produktifnya habis di Pulau Buru bersama 1.000 tahanan politik lain seusai huru hara G30S pada 1965.

Kembali ke Jakarta pada 1978 ia bergabung dengan majalah Tempo yang dipimpin Goenawan Mohamad, penandatangan Manifesto Kebudayaan, kubu seniman yang bentrok dengan Lekra. Amarzan tak pernah kembali ke kota kelahirannya di Tanjung Balai di Asahan, Sumatera Utara, sejak itu. Amarzan dan Goenawan kini bersahabat.

Sepulang dari Buru, Amarzan melihat dunia dengan kacamata canda. Berkawan dengan dia penuh dengan cerita-cerita yang memantik gelak tawa. Yang faktual dan fiktif jadi lebur dalam cerita-ceritanya. Mendengar Pulau Buru dari dia, kita jadi membayangkan pulau di Maluku itu bukan gulag penyiksaan tapi sekadar tempat singgah pelesiran.

Kepada Nur Aji, misalnya, ketika pemandu ini menerangkan apa yang boleh dan tak boleh dibawa, Amarzan berseloroh tentang nasib pistolnya. "Perlu dititip?" katanya. Aji belingsatan karena tak ada tempat penitipan pistol di Gunung Kawi. Kami tertawa mendengarnya karena, tentu saja, Amarzan tak punya pistol.

Pada 1987, penujum di sini meramal Amarzan tak akan pernah pensiun. Di usia 79 ia memang masih mengajar para penulis menulis artikel dengan baik, benar, dan hidup. Jabatannya kini Redaktur Senior di Tempo. Amarzan ingin bertemu lagi dengan peramal itu untuk bertanya kapan kira-kira ia mati. Sebab tahun 1987, penujum itu meramal ia akan mati di atas usia 70.

Pada 1997, Amarzan mengenang, warung-warung di sini terbakar hingga ludes. Empat mobil branwir didatangkan hingga api padam. Namun, ketika mobil-mobil itu akan turun sopirnya tak bisa mengemudikannya. Gangnya terlalu sempit sehingga empat rumah harus dirobohkan untuk jalan pulang. "Itu satu kejadian aneh di Gunung Kawi," kata Amarzan. "Betul itu, aneh sekali, kenapa mereka bisa naik tapi tak bisa turun," timpal Nur Aji.

Di makam Mbah Joego orang antri. Mereka mendatangi juru kunci, anak buyut Kyai Djoego, membawa kembang dan hio. Mereka menyampaikan doa dan permintaan. Bagi yang bernazar, mereka membawa daging ayam atau kambing sebagai tanda syukur sudah dikabulkan doanya.

Menurut Amarzan, dulu dinding makam tak terlihat karena tertutup jam. Orang yang berhasil setelah berdoa di sini membeli jam dinding sebagai ucapan terima kasih karena barang ini paling gampang dibeli dan sebagai simbol waktu pencapaian usaha mereka. Kini jam masih ada di sekeliling dinding tapi rapi karena berupa jam berdiri. Dindingnya juga kaca dengan kusen kayu yang diukir kokoh. Ruang makam ini mirip masjid yang disangga delapan tiang kayu.

Dupa mengepul dari makam tapi tak bikin pengap karena ruangannya diatur sedemikian rupa agar tak menyesakkan pengunjung. Orang-orang menunggu upacara nazar yang dipimpin juru kunci pada pukul 11 malam.

Beberapa yang lain duduk di bawah pohon Dewa Ndaru (Eugenia uniflora) di samping makam menunggu daunnya jatuh. Daun ini dipercaya pembawa rezeki. "Malam ini agak longgar," kata Nur Aji. "Jumat malam kemarin sampai susah berjalan kaki karena Jumat legi. Penuh."

Longgar ini pun dua tempat parkir yang luas penuh oleh mobil. Kamar hotel dekat makam juga sudah dipesan orang sejak Sabtu kemarin. "Ini mulai ramai lagi setelah 3-4 bulan sepi," kata Endro, pemilik Omah Kopi Gayatri. Menurut dia peziarah banyak tapi mereka menginap di Batu atau Malang karena tempat hiburan lebih beragam.

Menurut Nur Aji mereka yang datang ke Gunung Kawi pasti orang-orang baik. Mereka datang ke sini dengan harapan dan permintaan tentang keselamatan dan kesejahteraan. Mereka berdoa tanpa dipisahkan suku dan agamanya. Dan mereka dibebaskan berdoa sesuai agama dan kepercayaannya.

Rasanya Indonesia akan berusia lama jika melihat para peziarah di makam Kyai Zakaria di Gunung Kawi ini...

Tuesday, April 18, 2017

COLDPLAY DAN MACET BANGKOK



Jalan Sukhumvit 31
DI Bangkok jarak 6 kilometer tercapai dalam waktu satu jam. Durasi itu bisa bertambah jika pagi atau sore pada jam ketika orang-orang pergi dan pulang kerja. Apalagi pada Jumat sore antara pukul 16-20. Dan kecepatan itu adalah perhitungan laju sepeda motor.

Maka pada 7 April 2017, ada kombinasi yang mengerikan di jalanan Ibu Kota Thailand itu. Hari Jumat dan Coldplay akan pentas pada pukul 21 di Stadion Nasional Rajamangala. Pintu masuk dibuka sejak pukul 17. Jalanan di sekujur Bangkok pun macet total mulai pukul 16 hari itu.

Di Jalan Sukhumvit, mobil dan sepeda motor sama sekali tak bergerak di kedua arah. Para sopir taksi tertawa sambil mengibaskan tangan ketika ada penumpang yang meminta diantar ke Rajamangala. Mereka buru-buru menutup kembali kaca mobil begitu ada orang yang membungkuk dan baru setengah jalan mengucapkan “Rajamangala”.

Pada Google Maps semua jalan menuju stadion ini merah saga. Lebih sial lagi karena tukang ojek juga menolak mengantarkan penumpang ke sana. Mereka menggelengkan kepala ketika disebut nama stadion ini. Bus-bus juga penuh sesak dan tak ada yang membuka pintu naik.

Hari itu, trotoar jalanan kota Bangkok dipenuhi anak-anak muda berkaos hitam bertuliskan “A Head Full of Dreams Tour Coldplay”. Band populer paling terkenal dari Inggris itu sedang berkeliling Asia menggelar konser. Anak-anak muda itu tak bisa menuju tempat konser karena tak ada transportasi umum yang bisa mengantar mereka ke stadion berkapasitas 65.000 orang itu.

Beberapa yang lain berjalan kaki. Saya melihat iring-iringan mereka dari atas sepeda motor karena tertolong oleh kebaikan Bain Bond—begitulah seorang pengojek yang lancar berbahasa Inggris mengenalkan namanya. “Call me Bond, like James Bond,” katanya. Saya duga awalnya ia bercanda. Tapi ketika lihat wajahnya yang serius, saya ragu ia tak serius dengan namanya.

Ia bersedia mengantar saya ke stadion berjarak 8 kilometer itu. Tentu saja ia tak mau dibayar dengan tarif normal 30 baht. Ia bersedia mengantar jika ongkosnya 150 baht atau Rp 60.000. “Macetnya parah tak ada kendaraan yang mau mengantar ke Rajamangala,” katanya. Bond tak tahu jika di stadion akan manggung Coldplay.

Bond makin terkejut ketika mulai melaju di antara mobil-mobil yang parkir berjamaah di jalanan kota Bangkok sepanjang 8 kilometer itu. “Ya, Tuhan, saya tak pernah melihat macet seperti ini,” katanya. “Ini macet yang sungguh sangat gila, tak bergerak sama sekali,” katanya. Pada Jumat biasanya, kata Bond, jalan memang macet tapi masih bisa diharapkan terurai mulai jam 8 malam.

Di Bangkok, ojek sepeda motor adalah transportasi umum resmi, seperti kereta, bus, taksi, bemo, kereta bawah tanah, perahu, dan kapal di sungai Chao Phraya. Agak aneh bahwa transportasi yang sudah terintegrasi itu tak membuat Bangkok bebas macet. Setiap bulan, orang Bangkok menghabiskan 64 jam di jalanan, paling tinggi di Asia. Dibanding Jakarta yang baru 47 jam. Ini karena panjang jalan Bangkok hanya cukup menampung 2 juta mobil sehari. Sementara jumlah mobil mencapai 5 juta. Dar!



Maka ojek jadi salah satu pilihan jitu menghindari macet. Tukang ojek mangkal di tempat-tempat keramaian dengan memakai rompi oranye. Harganya bisa ditawar. Tak banyak yang bisa berbahasa Inggris. Bond mengaku belajar bahasa Inggris dari penumpang-penumpangnya. “Saya tak belajar resmi di sekolah,” katanya.

Umumnya tukang ojek tak menyediakan helm untuk penumpang. Sewaktu saya meminta helm kepada Bond, dia bilang penumpang tak perlu memakainya. “Lagipula ini macet, pasti tak bisa cepat,” katanya. Baiklah. Sewaktu saya tanya lagi apakah tak akan kena tilang jika bertemu polisi? Bond terdengar tertawa. “Tak akan!”

Dalam macet yang parah itu memang tak ada polisi terlihat di jalan mengatur lalu lintas. Empat hari di Bangkok hanya sekali saya bertemu polisi di perempatan. Naik motor berboncengan. Mereka tak peduli para ojekers membawa penumpang tanpa helm. Agaknya itu hal biasa saja. Bahkan polisi itu tak menegur tukang ojek yang membawa dua penumpang.

Di jalanan Bangkok, tukang ojek boleh membawa dua penumpang tanpa helm. Dan mereka melaju dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Wuedan.

Semua kegilaan itu terbayar oleh Chris Martin dan kawan-kawan di Rajamangala. Selama tiga jam, mereka memukau dengan 24 lagu. Pencahayaan panggung, kata teman yang menonton konser mereka di Singapura dan Manila sepekan sebelumnya, lebih bagus. Rajamangala malam itu banjir cahaya merah-hijau-kuning khas band paling populer asal Inggris saat ini.

Sebelum konser, langit mendung malah sempat gerimis. Penonton dari Vietnam di depan saya sudah memakai jas hujan. Tapi bulan perlahan-lahan nampak dan Bangkok berpesta bersama Coldplay. “Terima kasih,” kata Chris di panggung. “Malam yang luar biasa. Terima kasih untuk Anda semua yang sudah datang meski harus menempuh macet....” Rupanya, ia memantau jalanan juga.

Tak ada beda konser-konser Coldplay dengan negara-negara lain yang bisa ditonton di YouTube. Coldplay tampil prima. Musik dan vokal Chris Martin nyaris sama dengan suaranya di pita kaset. Dan lagu paling heboh, menurut saya, adalah “Hymn for The Weekend” dan “Something Just Like This”—single mereka bersama The Chainsmokers.

Lagu yang ditunggu-tunggu tentu saja “Fix You”. Tapi Chris tak membawakannya dengan sendu lewat intro piano. Ia memulai bernyanyi sambil tiduran sehingga pasangan di depan saya tak menyadari itu lagu romantis yang mereka nantikan.  Maka alih-alih berpelukan, mereka mengangkat tangan sambil bernyanyi histeris.

Ada dua panggung tempat mereka bernyanyi. Panggung di tengah penonton lebih kecil. Mereka memainkan “In My Place”—lagu pertama yang membuat mereka terkenal—“Dont Panic” dan “Till Kingdom Come” secara akustik. Di panggung itu, Chris mengenalkan tiga anggota bandnya: Jonny Buckland pemain gitar, basis Guy Berryman, dan drumer Will Champion. “Kami sudah 21 tahun bersama dan saya bersyukur kami masih jadi teman baik,” katanya.

Sepanjang konser di bangku penonton nyaris tak terdengar bahasa lain selain bahasa Indonesia. Juga saat mengantri di loket penukaran tiket. Orang Indonesia banyak sekali. Seorang teman mengatakan Bangkok mirip Lebaran hari itu. Di jalanan, di kereta, mal, atau pasar kaget, selalu ketemu dengan orang yang bercakap memakai bahasa gaul Indonesia.

Orang Indonesia sudah terdeteksi sejak di pesawat dan saat antri panjang melewati meja imigrasi di bandara Dong Mueang. Mereka berbincang dan saling menyapa dengan pertanyaan menembak, “Jamaah Coldplay Indonesia, ya?”

Agak aneh bahwa penyelenggara konser tak melampirkan Jakarta sebagai tempat persinggahan tur Asia dengan antusiasme penonton Indonesia seperti itu. Sebelum Singapura dan Manila, Coldplay konser di Australia. Sebab di Rajamangala malam itu setidaknya ada Rp 100 miliar yang tumpah ke sini. Dari penjualan tiket, souvenir, hingga makanan di sekitar stadion. Belum lagi tiket pesawat, hotel, dan jajanan, serta oleh-oleh.

Konon karena di Indonesia masih banyak pelanggaran hak asasi manusia yang belum terselesaikan, seperti syarat umum yang diajukan band-band asal Inggris. Aneh juga, karena Thailand dan Filipina kurang apa dalam soal kebebasan dan perlindungan hak asasi manusia dibanding Indonesia.

Menurut seorang teman, alasan hak asasi itu gimmick promotor saja. Coldplay selektif memilih promotor dan negara tempat konser karena tuntutan mereka sangat tinggi, terutama soal tata panggung dan pencahayaan yang rumit. Gelang bercahaya yang dipakai penonton yang dikendalikan dari jauh jadi ciri khas konser mereka. Gelanggang juga butuh yang luas karena penontonnya selalu membludak.

Syarat terakhir seharusnya bisa dipenuhi. Gelora Bung Karno di Senayan berkapasitas 80.000 orang. Syarat lain bisa dipenuhi karena teknologi toh bisa mereka bawa. Jadi mungkin ini hanya soal kemahiran melobi dan bernegosiasi promotor dari Indonesia.

Di lihat dari penonton Indonesia yang datang, penggemar Coldplay punya rentang usia yang panjang. Dari 16 hingga 50 tahun. Seorang penonton datang berombongan 15 orang bersama keluarga besarnya. Satu keluarga yang menggendong bayi dan bendera Indonesia tersorot kamera ketika di Rajamangala. Seorang kawan punya teman yang datang bersama mertuanya.

Maka ketika Chris Martin dkk undur diri dan lampu-lampu padam menjelang tengah malam, stadion Rajamangala mirip GBK. Dan jalanan penuh oleh orang Indonesia yang berduyun jalan kaki karena tak ada taksi atau ojek yang bersedia mengantar mereka pulang ke penginapan. Dan jalanan masih macet...