Wednesday, November 28, 2007

UNTUK MARIANE



Budi Primawan, seseorang dari Jakarta, bertanya kepada Mariane Pearl: "Apakah pandangan anda terhadap Islam berubah setelah suami anda terbunuh?" Mariane menjawab tidak. "Saya tumbuh dalam lingkungan Islam, saya sangat kenal agama ini," katanya. Ia menganggap para pembunuh Daniel Pearl, wartawan The Wall Street Journal yang diculik anggota kelompok Al Qaidah di Pakistan tahun 2002, "adalah para penculik yang hidup dalam keyakinan mereka sendiri." Dengan kata lain, pembunuh ayah anaknya itu, bukan orang Islam yang ia kenal.

Saya terharu membaca jawaban Mariane ini. Mariane seorang Yahudi yang nenek moyangnya orang Kuba, Cina, Latin, dan Afrika. Ia lahir, tumbuh, dan menjadi wartawan lepas di Paris. Mariane seorang penganut Budhisme-Nichiren yang ajarannya mengedepankan kedamaian. Saya terharu karena jawaban itu datang dari seseorang yang menjadi "korban" oleh mereka yang mengatasnamakan Islam. Saya terharu karena jawaban itu menjadi anomali di tengah begitu banyak orang yang salah menyangka terhadap Islam, mereka yang tak pernah hidup dan mengerti bagaimana keyakinan Islam yang sesungguhnya. Mariane telah adil sudah sejak dalam pikiran--ciri mereka yang hidup dalam peradaban modern, kata Pramodeya Ananta Toer.

Dalam film A Mighty Heart yang dirilis Juni lalu kita melihat betapa runtuhnya ia sejak memastikan suaminya hilang, tahu siapa para penculiknya, hingga video yang menayangkan bagaimana kepala suaminya dipenggal. Ketika itu ia sedang hamil tua (perannya dimainkan Angelina Jolie). Ia lelah memburu secuil informasi melacak keberadaan suaminya yang hilang selama 10 hari. Ia senewen karena pemerintah Pakistan justru menyalahkan suaminya menempuh jalan sulit mewawancarai pentolan Al Qaidah untuk melacak jaringan seorang peledak bom bunuh diri. Mariane berkesimpulan, "Pemerintahan Musharraf tak cukup punya kekuasaan seperti yang kita kira sebelumnya."

Sikap Mariane ini penting di zaman ini, ketika orang bisa seenaknya mengklaim diri mengatasnamakan agama setelah melakukan serangkaian pembunuhan. Ketika agama kian mencemaskan, menakutkan, dan membingungkan. Ketika agama tak lagi punya masa depan. Mariane bisa mengalahkan dirinya sendiri dengan tidak menyamaratakan semua hal. Pasca 11 September 2001, kita tergoda kembali ke abad 20, ketika dunia terbagi berdasarkan keyakinan dan ideologi, ketika dunia dipenuhi kecurigaan karena pandangan sempit dan satu arah. Kita terharu dan optimistis masih banyak orang seperti Mariane.

Tuesday, November 27, 2007

GENERASI INTERNET



Internet mengkhawatirkan karena ia memudahkan hal ihwal. Internet membuat cemas karena telah membuat kita malas.

Seorang wartawan senior bercerita, dulu jika ia akan menulis praktis mengandalkan bahan-bahan yang dicetak. Ia harus berkutat di perpustakaan, membaca banyak buku--tentu saja tidak dengan sambil lalu--hanya untuk mencari perspektif dari apa yang akan ia tulis. Ia menandai bahan-bahan penting lalu menyusunnya agar mudah ditemukan ketika proses menulis dimulai. Pendeknya, menulis adalah sebuah kerja yang militan.

Kini kita hanya perlu koneksi. Google akan menjawab semua pertanyaan wartawan tua itu. Tak perlu membaca buku dari daftar isi hingga bab penutup, cukup klik "search" untuk mencari kata atau topik yang ingin dilihat. Wikipedia memuat segala hal dengan jaringan yang tak putus-putus. Orang bisa mendapat bahan dengan mudah dan cepat. Tapi betapa mengkhawatirkan.

Paling tidak bagi teman saya ini. Ia mengeluh kini tak ada lagi para penulis dari generasi sekarang yang bisa menulis sejernih para penulis zaman dulu. Setiap pekan orang mengirimkan buah pikirannya untuk kolom-kolom media massa. Tapi buah pikiran itu belum menjadi buah pikiran, baru sebatas buah bibir. Tak perlu ditulis, buah pikiran cukup bisa diucapkan. Yang muncul kemudian adalah kita tetap hidup dalam budaya tuturan. Padahal, orang menulis karena "kata tak cukup untuk berkata". Orang menulis karena lisan tak cukup menampung percikan permenungan.

Teman itu memberikan kesimpulan yang agak ganjil. Bahwa ketiadaan para penulis yang mahir mengolah kata dan bahasa karena tak ada seleksi lagi. Para penulis itu tak belajar di mana kekurangan-kekurangan dalam menulis. Dari soal elementer sampai soal pokok gramatikal. Ada penulis yang namanya malang melintang dalam dunia perkoloman, banyak melahirkan buku, sudah karatan sebagai ahli di bidangnya, tapi masih belepotan membedakan "di" sebagai imbuhan dan "di" sebagai kata depan. Ia tak bisa membuang kata-kata yang sudah jadi klise. Bagi dia, yang penting adalah isi.

Padahal isi bisa dituang di mana saja. Sementara bentuk lahir dari pengalaman para penulis itu bergulat dengan rahsia dan keajaiban bahasa. Bentuk itulah yang pertama menyapa kita, sebelum menikmati isinya. Kini kita menghadapi serangkaian isi seperti kita melihat-lihat celana jins di sepermarket. Tak ada keunikan. Dengan kata lain, teman saya itu sedang menyoal apa yang disebut pasar tulisan.

Celakanya, pasar itu tak membentuk orang menjadi penulis sungguhan. Kini kita bisa mencemplungkan tulisan kapan dan di mana saja kita mau. Kini kita langsung menguji buah permenungan kita ke hadapan publik yang lebih luas, bukan seorang editor yang bertindak sebagai algojo bagi tulisan itu. Saya teringat kembali Milan Kundera yang membuat istilah ajaib semacam "grafomaniak". Dan saya kini mengerti kenapa ia ngotot membedakan "penulis" dan "novelis".

Saya masih menganggap kesimpulan teman saya itu ganjil. Karena zaman ini menjawab pertanyaan dan perjuangan tentang kebebasan. Zaman ini menyuguhkan pertarungan pasar para penulis yang sesungguhnya. Hanya mereka yang bandel dan keras kepalalah yang keluar sebagai menyandang gelar "penulis". Dalam sebuah artikelnya di New Yorker, Orhan Pamuk mengatakan bahwa "modal penulis bukan inspirasi, melainkan kebandelan dan sikap keras kepala." Ia sendiri menentang nasib yang akan mengarahkannya menjadi juru gambar, dengan terus menulis, memperbaiki, menulis, memperbaiki, hingga membuat novel-novel yang teruji ketika lahir.

Tulisan ini sendiri bukan lahir dari sikap keras kepala semacam itu. Tulisan ini mungkin masih lahir dari ego seorang grafomaniak dengan memanfaatkan apa yang ia khawatirkan: Internet--betapapun kekhawatiran itu kian menemukan alasan.