Wednesday, November 25, 2009

EAT, PRAY, LOVE



ORANG Amerika bisa menulis hal-hal remeh dengan sangat panjang. Dan, asemnya, memikat. Elizabeth Gilbert menceritakan kisah hidup dan perjalanannya mengunjungi Italia, India, dan Bali selama setahun pada 2003. Sebuah perjalanan yang ia namakan "penyembuhan diri". Ceritanya ini sedang dibuat filmnya dengan bintang Julia Robert, Javier Bardem, dan Brad Pitt.

Gilbert seorang yang tak tahu apa yang menimpa dirinya. Ia mencintai suami yang sudah hidup bareng denganya selama delapan tahun, enam tahun di antaranya terikat perkawinan, tapi sekaligus ingin meninggalkannya tapi ia dan kita tak tahu kenapa. Ia tak membuka masalahnya itu, juga penyebab kenapa ia jadi sama asing dengan lelaki yang dikenal dan digilai sejak masih kuliah itu. Hanya, katanya, mungkin problem tak adanya anak dalam perkawinan itu.

Kita hanya tahu bahwa ia bermasalah dengan dirinya sendiri. Secara samar-samar, barangkali, masalahnya adalah kecukupan hal ihwal di usia sangat muda, hidup di New York dengan sebuah rumah besar dan apartemen di Manhattan, dan sudah menulis beberapa buku. Ia menikah muda setelah pacaran yang penuh gelora dan luber romantisme dengan calon suaminya. Praktis, Gilbert tak memerlukan apa-apa lagi di usia belum genap 30. Dan ia terperangkap dalam keberlimpahan itu hingga perlu lari dari hidupnya yang lama, mencari "keseimbangan baru".

Gilbert ke Italia, belajar Yoga dan filsafat Hindu ke India, lalu ke Bali yang sudah dikunjunginya dua tahun sebelumnya saat ia diutus majalahnya meliput liburan yoga. Ia bertemu Ketut Liyer, keturunan kesembillan dukun Bali, dan diramalkan hidupnya bakal habis tak lama lagi lalu menemukan hidupnya kembali jika mengunjungi lagi Bali. Dan ia datang kembali, setelah proses perceraian yang alot dan emosional. Di Bali ia bertemu pria Brazil setengah abad yang memikat hatinya, pandai memuja, dan memanjakannya di ranjang. Gilbert pun menemukan hidupnya yang baru, menuliskan kisahnya itu, dan bukunya laris di mana-mana.

Tapi yang paling menarik dari buku ini adalah pernak-pernik kecil tentang Bali, hal-hal yang tak banyak diketahui bahkan oleh orang Indonesia sendiri. Misalnya, soal pengobatan kemandulan yang memakai jasa para sopir angkutan umum jika yang bermasalah para suami. Penyembuh akan mengatakan istri-istri itu perlu terapi khusus yang tindakannya tak boleh ditemani para suami. Atau, tutorial bersenggama untuk pasangan yang frigid. Juga hal-hal kecil lain tentang urusan tanah dan kepercayaan di sana.

Wednesday, November 18, 2009

PEJABAT JEPANG



DIA seorang laki-laki yang sudah 34 tahun jadi diplomat. Jabatannya kini Sekretaris Utama merangkap juru bicara Kementerian Luar Negeri. Sebagai orang yang sudah melanglang buana, Pak Kodama tak sungkan bersalaman ketika pertama bertemu, tak seperti orang Jepang kebanyakan yang hanya membungkuk jika bertemu dan berpisah untuk mengucapkan salam. Kami makan malam di sebuah restoran tradisional Jepang di kawasan Akasaka yang tak pernah tidur. Akasaka adalah satu kawasan supersibuk di Tokyo karena di sini mangkal pusat hiburan dan gedung-gedung menjulang.

Kodama-san seorang yang hangat. Dia bisa ngobrol ngalor ngidul tentang apa saja. Dan dia hapal dari mana saja kami berasal. Ketika satu persatu 11 wartawan Asia-Pasifik bertanya kepadanya, Kodama-san menyebut negara kami dan menceritakan kenangan-kenangannya ketika berkunjung, di sela tempura, udon, dan bir Asahi yang klasik. Ceritanya unik dan lucu-lucu.

Dan sewaktu pulang, kami masih mengobrol di depan restoran. Di bahu jalan ngejogrok Honda hitam besar. Saya pikir itu mobilnya. Ternyata bukan. Pak Kodama pamit duluan dan berjalan cepat menuju stasiun subway di seberang jalan. Sendiri meneteng tas tanpa pengawalan. Kata seorang stafnya, setiap hari dia memang pulang balik naik subway ke kantornya. Dua direkturnya juga pulang sendiri-sendiri ke arah berlawanan.

Lagi-lagi ini memang soal transportasi publik yang nyaman. Para pejabat sudah biasa berjalan kaki atau naik sepeda ke kantor. Birokrasi juga jadi efesien karena uang pajak tak perlu keluar untuk menggaji dua-tiga pengawal untuk melayani para pejabat ini. Juga tak banyak biaya untuk mobil dinas. Para pejabat publik, seperti juga bentuk kantor-kantornya, tak berbeda rupa dengan manajer toko atau pekerja swasta. Sama-sama berjas dan dasi.

Menurut seorang direktur transportasi di Pemda Tokyo, selama enam tahun terakhir jumlah mobil pribadi berkurang 10 persen. Pemakainya beralih ke transportasi massal seperti kereta atau bus atau sepeda atau berjalan kaki saja, selain karena harga mobil mahal minta ampun. Pemerintah memang sedang gencar berkampanye mengurangi emisi karbon. Apalagi Perdana Menteri Hatoyama sudah mencanangkan mengurangi emisi karbon hingga 25 persen tahun depan. Target yang berat mengingat Jepang satu dari lima negara yang paling banyak menyumbang karbon dioksida.

Dan sebelum rakyatnya tergerak mengikuti program pemerintah, para pejabat memberi contoh langsung dengan jalan kaki ke kantor. Seperti Kodama-san yang segera lenyap masuk ke stasiun bawah tanah...

Tuesday, November 17, 2009

KOTA YANG TAK TIDUR DALAM KESUNYIAN



SEORANG Jepang berkata kepada seorang Indonesia, di stasiun Kyoto pada jam sibuk, ketika orang berjubel dan kami hampir tak bisa ke Tokyo karena pintu Shinkansen menutup sedetik kemudian. "Saya selalu suka orang Indonesia," katanya. Seorang Indonesia, teman saya ini, sambil nyengir menjawab. "Oh, terima kasih. Suka apanya?" "Selalu telat dan apapun bisa dibikin lucu." Teman saya ini, dan saya, keterusan ngakak. "Tentu saja, dan kalian menjadikan apapun sangat serius."

Karena itu mungkin Jepang jadi negeri maju meski minim sumberdaya alam. Mereka serius dengan apapun. Jadwal kereta tak bergeser barang semenit. Yang telat berlari sudah pasti ketinggalan karena pintu otomatis menutup dan gerbong beringsut begitu sampai pada jadwal. Dan kami hampir ketinggalan karena si teman itu masih memaafkan dirinya yang masih bingung memilih cenderamata. Kami berlari di antara ribuan orang yang bergegas [anehnya, tak satupun yang tabrakan]. Dalam engah kami masih bisa ngakak. Masih untung bisa ngejar.

Kita punya untung yang tak pernah habis. Untung ini untung itu bahkan ketika sudah celaka keliwat-liwat. Orang Jepang yang tak punya banyak persediaan untung mengerjakan banyak hal dengan kecepatan yang tak mungkin kita kejar, alih-alih mengimbanginya. Time is money tanpa time tak akan dapat honey. Tapi gerak gegas dan serba tertib itu melahirkan kota-kota yang sunyi. Orang berjalan, duduk, atau berlari dalam diam di bawah lampu-lampu yang tak pernah tidur. Di Tokyo atau Osaka, di Hiroshima atau perbukitan Kitakuwada, kota-kota berwajah sama.

Friday, November 13, 2009

TIP



MEMBASMI korupsi bisa dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, jangan memberi tip kepada pramusaji sehabis makan, kepada petugas hotel, kepada tukang parkir. Di Jepang, urusan tip menjadi urusan sangat serius. Memberi tip adalah dosa dan harus dihukum. Di bandara, di restoran dan hotel, tertera jelas aturan yang melarang memberi tip. Yang ketahuan memberi akan didenda 10 persen dari harga yang kita bayar. Kalau ketahuan memberi tip kepada pramusaji, harga akan dinaikkan sebesar 10 persen, begitu juga harga kamar.

Memberi tip memang mendorong orang untuk korup. Ini bentuk suap halus atas nama jasa. Tip membuat uang yang beredar tak masuk hitungan karena itu lolos dari pajak. Di negeri tertib seperti Jepang, ekonomi bawah tanah seperti ini bisa mengganggu stabilitas. Dengan tak masuk pajak, pemerintah kesulitan mengetahui pendapatan setiap warga. Dengan begitu pemerintah jadi susah memprioritaskan program apa yang paling mendesak. Sebab pajak bisa mendorong orang sadar tentang hak berwarga negara.

Di Jepang, pajak adalah instrumen menegakkan keadilan. Uang pajak yang menjulang itu dikembalikan ke warga berupa kebijakan dan pelbagai fasilitas publik yang bikin hidup jadi nyaman. Ketika emisi karbon dioksida kian mencemaskan karena kebutuhan energi untuk industri dan rumah tangga kian tinggi, pemerintah harus punya program menguranginya. Tentu butuh uang. Maka pemerintah pun berencana memungut pajak perubahan iklim kepada industri dan setiap penduduk.

Tentu saja rencana ini ditentang. Industri tak setuju. Tapi sebuah survei oleh Kementrian Lingkungan menunjukkan warga tak keberatan jika pemerintah memungut uang setara scangkir kopi [1.800 yen] per bulan. Seorang guru bahasa Inggris warga Chiyoda yang saya tanya juga mengaku tak keberatan. "Sebab ini menyangkut hidup kita di depan," katanya.

Dengan adanya aturan pajak linkungan ini [karena itu banyak program mengurangi emisi bisa memakai uang ini], sanksi juga bisa diterapkan. Yang menghasilkan CO2 banyak akan membayar pajak banyak pula. Maka orang terdorong dengan sendirinya mengurangi emisi karbon dengan, antara lain, beralih ke teknologi ramah lingkungan atau hidup hemat energi. Daripada beli mobil yang bisa kena sepuluh jenis pajak, mending naik sepeda atau kereta saja. Industri juga jadi kreatif membuat teknologi baru karena banyak orang membutuhkannya.

Ini terbalik dengan di Indonesia. Kita justru memberi insentif kepada mereka yang mau melaksanakan program pemerintah yang manfaatnya untuk kita-kita juga. Barangkali ini beda negeri kaya sumberdaya alam dengan yang cekak. Orang Jepang dituntut kreatif karena tak banyak yang bisa mereka manfaatkan. Sementara kita tak perlu susah mikir: keluar rumah bisa metik daun untuk makan malam.

Sama halnya dengan tip atawa uang bawah tanah itu. Kita mati-matian ingin bebas dari korupsi, tapi kultur dan mekanismenya tak disiapkan. Konon underground economic semacam ini mencapai 70 persen rasio seluruh ekonomi Indonesia. Jadi, pajak yang hampir Rp 1.000 triliun itu hanya 30 persen dari uang beredar yang tercatat atau dilaporkan. Tak mengherankan karena di Jakarta setiap orang mensubsidi rakyat Rp 5.000 per hari [untuk parkir gelap, pengemis, pengamen, pak ogah].

Tarulah ada 5 juta orang di Jakarta yang begini, uang tak resmi yang beredar sudah mencapai Rp 25 miliar per hari! Jika pajak penghasilan 30 persen, berarti pemerintah kehilangan peneriman Rp 7,5 miliar. Edan.

So, mulai sekarang jangan kasih tip, plis...

Tuesday, November 10, 2009

TOKYO



TOKYO tak bisa menghindarkan diri dari kejumudan metropolitan. Di bawah jembatan layang di jalan Chiyoda, seorang pengemis tidur dekat parkir umum sepeda. Kepalanya disanggah majalah-majalah bekas yang tebal. Kantong tidur birunya sudah lusuh dan robek di jahit-jahitannya. Hanya kepalanya yang menyembul tertutup komik yang mungkin baru selesai dibaca. Tokyo pada November lumayan dingin. Angin menghembus 20 derajat.

Pengemis kita ini tidur begitu nikmat, tak peduli di sekelilingnya orang bergegas dengan jas dan overcoat. Di seberang sana, seorang tukang semir duduk di pinggir kaki lima yang lebar, yang juga dipenuhi orang-orang dengan gerak gegas yang murung. Jalanan macet di setiap tikungan lampu merah. Panjangnya tak jauh beda dengan macet di Jalan Sudirman di Jakarta pada pukul 3 atau 4 sore. Tapi tak ada jerit klakson. Mobil dan motor antri jauh di belakang garis stop. Tak ada yang nyalip tak terlihat sepeda yang menyelip. Tak ada deru, sonder debu, meski merk mobil dan motor dan sepeda itu sama dengan yang kita pakai di Jakarta.

Tapi Tokyo bukan Kyoto. Di Ibukota zaman Edo itu, tak ada satupun puntung rokok atau bungkus kacang tercecer. Di Tokyo, trotoarnya lumayan kotor, oleh bekas makanan dan daun yang gugur. Bahkan di sungai Chiyo airnya dipenuhi gulma yang tak habis-habis kendati dua motor but menyapunya bolak-balik. Di selter-selter tempat merokok puntung masih saja terjungkal ke lantai ketika penghisapnya berniat melemparnya ke asbak umum.

Di tempat ini selalu saja banyak orang mengepul sambil menunggu lampu menyeberang menyala hijau. Dua tiga hisap, seteguk dua teguk minuman ringan. Laki perempuan, tua muda, berhenti sejenak menghisap tembakau. Saya ikut di barisan mereka. Di hotel tak boleh merokok sehingga atase pers Kementerian Luar Negeri yang mengundang saya ke sini berkali-kali minta maaf karena "menghambat kebiasaan saya merokok." Astaga. Saya bilang, justru ke Tokyo ini saya berharap bisa mengurangi menghisap barang laknat ini.

Atase ini seorang perempuan dengan bahasa Inggris yang bagus karena sudah bisa menghilangkan sengau Nihonggo. Ia serius menjelaskan bagaimana aturan merokok di tempat umum di Jepang. Dia sendiri tak merokok, tapi terasa benar bahwa ia menghormati orang yang memilih jalan hidup memenuhi paru-parunya dengan nikotin. Alih-alih membenci dan menjauhi para ahli hisab ini.

Barangkali, itulah yang disebut orang sebagai peradaban...

Wednesday, November 04, 2009

INDONESIA



NEGERI ini memang tak pernah kekurangan drama. Prosa manapun tak ada yang bisa melampaui kejijikan dan ketidakmungkinan yang terjadi di Indonesia. Drama-drama [nyata] di Indonesia menempatkan prosa [yang khayali] ke gradasi paling rendah. Di negeri ini, yang khayali itu kalah dengan yang nyata-nyata dilakukan para aktornya. Maka benarlah Chernishevsky: dunia lebih indah [sekaligus lebih bejat dong, Tuan Nikolai] ketimbang karya seni.

Anda mungkin nonton Inglourious Basterd yang sedang diputar di bioskop-bioskop itu. Kita jijik melihat kelakukan Kolonel Hans Landa, pemimpin SS yang pintar itu, yang selalu bisa mengorek keterangan paling tersembunyi dalam setiap hati manusia. Kita jijik melihat Letnan Aldo Reine membalas kekejian Nazi dengan membelek kulit kepala setiap Nazi yang berhasil dibunuh anak buahnya, meski Aldo bukan seorang Yahudi atau punya saudara seorang Yahudi.

Tapi Inglourious hanya film Quentin Tarantino. Keluar dari bioskop kita bisa kembali makan ayam goreng kering yang diimpor Kolonel Sanders dengan lahap dan nikmat. Inglourious hanya film. Sama fiktifnya dengan The Departed yang bercerita tentang perselingkuhan polisi dengan pemimpin bajingan di Boston. Tarantino dan Martin Scorsese barangkali perlu ke sini segera: menonton drama nyata paling menjijikan yang pernah ada di dunia. Persekongkolan para bajingan.