Monday, October 24, 2016

BAHASA GADO-GADO



Bagja Hidayat *)

MEGAWATI Soekarnoputri menyentil Badan Research and Rescue Nasional sebagai lembaga negara yang memakai nama dengan bahasa gado-gado. Dalam penandatangan kerjasama Basarnas dengan PDI Perjuangan pada 24 Agustus 2016 itu, ia meminta nama dan logo Basarna diganti dengan penamaan Indonesia.

Apa sebetulnya nama Indonesia? Sejak dulu bahkan nama orang memakai bahasa campuran. Nama saya merupakan campuran bahasa Sunda dan Arab. Anak-anak sekarang tak lagi memakai nama Joko atau Asep, tapi nama-nama lain yang dicomot dari bahasa lain yang diakrabi oleh orang-orang tua mereka. Ada teman bernama Tectona Grandis, bahasa Latin untuk pohon jati karena ayahnya seorang administratur Perhutani di Sumedang.

Bagi bukan orang Melayu, bahasa Indonesia adalah bahasa asing, yang harus dipelajari dengan susah-sungguh. Dan ada banyak lembaga resmi yang memakai nama asing tanpa disadari keterasingannya, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi atau Sekretariat Kabinet.
Bahkan Basarnas itu sepenuhnya asing, bukan campuran dengan bahasa lokal, karena berasal dari bahasa Arab (Badan), Inggris (Search and Rescue) dan Belanda (Nasional). Sentilan Megawati mungkin lebih cenderung pada keinginan Basarnas memakai nama dengan kata-kata yang sudah diserap kamus, seperti “badan” dan “nasional” itu.

Sebab, sejatinya bahasa Indonesia adalah bahasa gado-gado karena dibentuk dari serapan pelbagai bahasa daerah dan bahasa asing lain di luar kepulauan ini. Karena sering dipakai dan jadi akrab, sebuah kata akan kian fasih digunakan dan mendekam dalam ingatan kolektif banyak orang lalu diakui sebagai bahasa nasional.

Mahkamah Agung merupakan campuran Arab dan Minang, sementara Sekretariat Kabinet sepenuhnya bahasa Belanda. Dua nama lembaga ini tak punya masalah dan dipermasalahkan. Basarnas terasa asing terus menerus kendati nama ini sudah dipakai sejak 1972. Search dan rescue tak kunjung terasa lokal kendati sudah jadi nama lembaga selama empat dekade. Problemnya bisa karena nama ini tak kunjung akrab di telinga pengguna bahasa Indonesia atau karena kata ini sudah punya padanan yang tepat yakni "mencari" dan "menolong".

Sebelum Megawati menyentil, majalah anak-anak Si Kuntjung sudah mencoba mengenalkan istilah yang lebih “lokal” yakni “rilong”, akronim dari “pencarian dan pertolongan” sejak 1976. Sehingga Basarnas bisa menjadi Badan Pencari dan Pertolongan Nasional, yang disingkat Barilongnas atau Bacarnas jika ingin sedikit mempertahankan akronim lama.

Barangkali karena Basarnas ingin mempertahankan nama asli dengan mencantumkan frase search and rescue (SAR). Nama ini dipakai secara internasional sehingga singkatan "sar" seolah menjadi kata yang telah merasuk dalam ingatan kolektif setiap orang dengan merujuk pada arti "mencari dan menolong".

Bahasa adalah sebuah alat menyampaikan pengertian. Jika "sar" telah dipahami sebagai "mencari dan menolong" apa masalahnya jika dipakai sebagai nama? Toh "satpam" dan "hansip" telah menjelma menjadi nama dan kata sendiri dengan makna yang langsung kita pahami dibanding pengertian panjangnya sebagai "satuan pengamanan" dan "pertahanan sipil" yang tak merujuk pada subjek dan orangnya.

Rupanya, karena bahasa terkait identitas dan formalitas. Meski kita paham dengan pengertian dan definisi serta tugas dan fungsi Basarnas, dalam kata ini mengandung unsur yang tak mudah dikompromikan yakni keanggotaan kata dalam kamus. Apalagi Basarnas adalah lembaga resmi yang bisa dijadikan yurisprudensi penamaan lembaga lain yang pengertiannya dikandung bahasa lain.

Jika demikian masalahnya, kata-kata yang dipakai untuk penamaan itu mesti diakui secara resmi dalam kamus sebagai kata serapan terlebih dahulu. Bagaimana pun kamus adalah patokan dan kesepakatan kita dalam berbahasa. Sehingga Kementerian Reformasi Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tak harus diubah menjadi Kementerian Pendayagunaan Pegawai Negeri dan Perubahan Sistem Pemerintahan.

Dengan lalu-lintas dan perjalanan antar wilayah kian mudah, juga makin gampangnya ilmu pengetahuan tersebar, manusia akan semakin lentur dalam saling serap bahasa sebagai alat tutur. Secara alamiah, bahasa pun akan kian menjadi “gado-gado”.

*) Wartawan Tempo
Dimuat di majalah Tempo edisi 19 September 2016.