Tuesday, April 13, 2004

RUMAH SAKIT



Saya jadi tahu, sekarang, begitu bisanya orang yang dulu bikin kata rumah sakit. Kata majemuk ini benar-benar menunjukan arti sekaligus fungsinya yaitu rumah orang sakit sekaligus rumah yang bikin sakit. Begitulah. Saya terbaring seminggu di kamarnya, dan hampir saja bertambah sakit seandainya tak cepat pulang.

Di kamar 5x5 meter itu, serba krem bukan putih seperti yang diilustrasikan para pencerita dalam kisah-kisahnya, saya tergolek bersama tiga orang pesakitan lainnya. Yang satu merintih sepanjang malam dan terbatuk karena jantungnya hampir copot ditambah paru-parunya yang hampir jebol. Dia bapak tua sekira 70 tahun. Renta dan keriput. Matanya hijau-tajam jika memandang orang pada tengah malam. Sepertinya ia belum rela jika Izrail datang tiba-tiba. Ia tertatih menuju toilet dengan selang infus yang menancap di pangkal lengan kanan jika malam telah larut. Dia terbatuk di sana, dengan darah dan ringis, lalu keributan anak-anaknya memanggil suster.

"Saya tak pernah merokok, tapi kenapa paru-paru ini jebol," katanya setengah mengutuk pada pagi sehabis sarapan. Orang-orang sakit itu bercengkrama tentang kesakitan-kesakitannya. Pada setiap pagi itu, ketika para suster yang tak ramah datang dengan lap dan obat, yang boleh tinggal dalam kamar hanya orang-orang sakit. Para penunggu diminta meninggalkan kamar. Obrolan kadang-kadang juga diselingi nasihat agar tabah. "Ini cobaan," kata si sakit yang lain, bapak setengah baya yang tergolek di samping saya.

Dia dibopong ke rumah sakit ketika pada suatu sore jantungnya akan berhenti berdetak. Dokter di rumah sakit itu tak sanggup menangani bilik kiri jantungnya yang tak bisa memompa darah. Bilik itu harus "dibalon" dan ia bingung mendapat biaya untuk pengobatan itu. Ia pulang dengan kebingungannya.

Seseorang yang lain, di seberang saya, anak muda 23 tahun. Renta dan gondrong. Paru-parunya tak terdeteksi oleh sinar X karena terhalang air yang menggenangi. Dadanya harus dibor dan ditancapkan selang untuk menyedot air-air itu. Ia suka begadang. Para penjenguknya anak-anak muda, teman-teman tongkrongannya yang datang dengan mulut mengepulkan asap rokok. Suster menghardik para penjenguk tak tahu tempat itu.

Sementara saya berbaring menahan demam yang datang malam-malam. Virus dengue ini telah menghajar ketahanan tubuh. Seumur-umur baru kali itulah tangan saya ditusuk jarum infus hingga dua kali karena selalu lepas plus setiap pagi jarum pengetes darah bolak-balik menusuk lengan kanan dan kiri.

Orang-orang itu merintih dalam diam pada malam yang jadi sunyi dan panjang. Menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang selalu terjaga, membayangkan yang mungkin dan tak mungkin, tentang kesakitan, umur dan kadang-kadang Tuhan. Maka saya memutuskan pulang sebelum dokter mengizinkan. Kamar itu sudah menambah beban kesakitan.