Wednesday, January 12, 2005

KUTA, SUATU MALAM



Saya ke Kuta juga. "Daripada bengong," kata seorang teman. Bengong di Nusa Dua memang seperti terperangkap dalam sunyi. Nusa Dua adalah pantai untuk istirahat.

Kesepian itu berbanding terbalik dengan Kuta. Pinggir pantai itu seakan tak pernah sunyi dari lalu lalang turis. Turis-turis Jepang bergandeng tangan dengan para mosquito yang legam dan berambut kuning. Begitu memasuki jalanan kecil itu, taksi yang kami tumpangi segera disergap kemacetan yang panjang.

Dan kemacetan itu bermuara di tugu peringatan bom Bali. Tepatnya di bekas reruntuhan Sari Club--sebuah kafe yang menjadi sasaran pengeboman Amrozi dan kawan-kawannya pada 12 Oktober 2002 silam.

Di tempat itu kini sudah dibangun sebuah tugu peringatan dengan air mancur dan lampu-lampu. Di sana tertulis 200-an nama korban ledakan itu. Para turis, lokal maupun asing, datang membaca nama-nama dan memotret.

Sebagian lagi tekun menyimak sejumlah doa dan "makian kepada siapa saja yang dengan tega mengebom tempat itu" yang ditulis di sebentang spanduk. Lokasi kafe Sari itu kini dibiarkan kosong.

Berbeda dengan Sari, Paddy's Cafe yang juga jadi sasaran bom kini makin ramai saja. Turis-turis berdesak-desakan dalam siraman warni-warni lampu disko dan dentam-dentam house music.

Jalanan kian macet. Saya kini berjalan setelah menengok sebentar ke tugu peringatan--juga membaca nama-nama, mencari kalimat duka yang paling menyentuh, dan memotret.

Pangkal macet ternyata sebuah taksi yang teronggok di tengah jalan. Ia diberhentikan seorang turis perempuan. Taksi hampir jalan ketika si turis itu minta lagi berhenti. Dengan pintu yang masih terbuka ia berteriak-teriak ngobrol dengan temannya yang masih duduk di dalam sebuah kafe.

Keruan saja, kemacetan bertambah-tambah. Si turis tak peduli jeritan klakson yang dibunyikan pengendara di belakangnya. Mereka terus saja saling teriak. Seorang penjaga keamanan kemudian melerai dan meminta turis dan supir taksi itu menjalankan mobilnya.

Kini si teman perempuan itu yang keluar kafe menghadang jalan. Ia menghentikan setiap mobil dan menggedor para pengendara agar membuka kaca mobilnya. Setelah itu ia memaksa memencet klakson setiap mobil yang lewat. Jalanan itu semakin riuh. Orang-orang hanya menengok dan tersenyum kecut. "Biasalah, turis Australia," bisik Wayan Saka, seorang teman.

Maka jalanan kian macet saja. Seorang turis bertelanjang dada memepet jalan kami. Ia berjalan cepat dan harus turun ke badan jalan sebab trotoar tak cukup menampung tiga baris orang berjalan. Tiba-tiba, "Teeeet." Ia hampir saja tercium bemper sebuah sedan. "F*** off!" jeritnya. Koper besar yang dipanggulnya hampir jatuh.

Jeritannya mengagetkan kami. "Jauh-jauh ke Bali cuma jadi kuli panggul," teman saya menggerutu. Kami ngakak. Sejurus kemudian tercekat. "Ngomong apa lu?" si turis berbalik.

Ha-ha-ha. Ini hanya gurauan imajinasi kami saja. Kenyataannya turis itu terus berjalan memanggul koper besarnya.

Sunday, January 09, 2005

HALLO, MIKAIL...



Hallo, Mikail...



Tak terasa ya, kamu sudah jalan enam bulan sekarang. Tubuhmu makin liat dan kuat kalau menggerinjal dari pangkuanku. Rasanya, tiap kali kupangku beratmu kian bertambah saja. Aku bersyukur kamu tumbuh sehat. Juga agak-agak nakal.

Kamu lebih suka main dibanding menghabiskan susu dalam botolmu. Kamu lebih suka memain-mainkan botolnya dibanding menyesap isinya. Kamu juga lebih memilih mengobrol dibanding makan biskuitmu. Kalau ada orang omong sementara kamu sedang memegang piring biskuit, kamu lebih memilih menumpahkan biskut cair itu dan menatap orang yang omong itu.

Biarlah kamu nakal. Aku senang. Itu tandanya kamu cepat merespon sekelilingmu. Mungkin kamu sudah mengerti apa yang aku omongkan, tapi belum bisa menjawabnya dengan bahasa. Suatu saat kamu akan tahu bahwa kita punya bahasa. Bukankah ibumu sudah mulai mengajari kamu membaca?

Seringkali aku kangen menggendongmu. Keluar rumah saat embun masih menggumpal di ujung-ujung daun bambu di depan rumah kita. Kamu suka betul melihat angkot yang hilir mudik di jalanan itu. Juga kicau burung kakeknya Lala yang sudah menjerit-jerit membangunkan orang-orang. Kamu suka ketawa kalau mendengarnya. Mungkin aku berdosa sering kangen seperti itu.

O, ya. Ini tentang namamu. Aku dulu mencarikan nama untukmu begitu kesusahan. Setiap dapat satu nama ibumu kurang setuju. Aku cari nama lain. Akhirnya dapat Mikail dan ibumu setuju. Mikail adalah nama yang bagus. Itu nama malaikat pemberi rizki. Aku berharap nanti kamu seperti malaikat itu. Jadi orang dermawan dan tak kikir.

Lalu Randu. Aku ingat aku dan ibumu dulu bertemu di bawah pohon randu di depan kampus kami. Itu taman kenangan bagi kami. Di sana, di bawah pohon randu yang gugur kapuknya, kami duduk-duduk dan mengobrol. Kapuk-kapuk yang berjatuhan itu tersebar memenuhi taman, seperti salju yang sedang turun. Pohon randu itu telah meneduhi setiap orang yang datang dengan lelah dan menghasilkan ribuan sarjana karena mahasiswa belajar dan mendiskusikan laporan praktikum di sana, tentu saja sambil pacaran :-)).

Ke taman itu orang-orang datang dan ketemu dan membuat janji. Aku sendiri mendapat pelajaran jauh lebih banyak di taman itu dibanding di ruang-ruang kuliah yang apak. Aku tak juga bisa cepat memahami penjelasan guru biologi yang ruwet tentang anatomi tumbuhan. Seorang guru yang hanya ingin tahu bagaimana mahasiswa menjawab setiap pertanyaannya dalam lembar-lembar ujian sesuai teks, bukan bagaimana sebuah jawaban disusun.

Tapi pohon randu itu kini terancam punah. Orang-orang di sana mau bikin mal, yang katanya: sebuah pusat bisnis pertanian yang mewah. Kudengar, pembangunan gedung itu telah bikin banjir ruang-ruang kuliah dan mengusir mahasiswa yang sedang praktikum. Semoga Tuhan mengampuni dosa para pembuat gedung mewah itu.

Tega benar mereka. Taman yang rindang dibabat jadi bangunan yang tak sedikit pun mengesankan bagus. Kampus tua itu, kampus yang tak bisa lekang dari ingatan kami itu, sedikit-demi-sedikit bakal hilang. Yang lebih berat, bagaimana aku mempertanggungjawabkan namamu jika sudah besar nanti?

Kamu pasti akan bertanya apa arti "randu" pada namamu. Duh, bagaimana menjelaskannya sementara pohonnya nanti sudah tak ada. Bagaimana menjelaskan rindang dan besarnya pohon itu hingga setiap mahasiswa betah duduk berlama-lama. Bagaimana aku menjelaskan di taman itu dulu orang-orang datang dan ketemu dan membuat janji. Juga membaca puisi atau menggunjingkan sebuah buku. Bagaimana aku melukiskan pertemuan pertama aku dan ibumu di sana lalu cinta kami berjatuhan dalam siraman gugur bunga randu.

Aku bukan ingin menelusupkan riwayat hidupku ke dalam hidupmu. Aku hanya ingin mengenang cerita kami--aku dan ibumu--lewat kamu. Toh, namaku atau nama ibumu tak menempel pada namamu. Kamu bisa jadi diri kamu sendiri. Kami hanya ingin mengabarkan kepadamu bahwa kamu ada karena pohon randu itu. Mudah-mudahan saja, pohonnya masih ada ketika kamu bertanya nanti.