Monday, June 29, 2009

PERKAWINAN

DIA menelepon sambil tersedu. Perempuan yang merungkupkan syal ke kepalanya untuk menahan hembusan angin mesin pendingin, yang duduk di sebelah saya dalam sebuah bus yang membawa kami ke Bandarlampung.

Dia menelepon sambil tersedu, dalam isak yang tertahan, dan bicara yang dipelan-pelankan. Bus sudah mau masuk pelabuhan Merak. Artinya, itu hampir jam 00. Saya sempat tidur sebentar tadi, karena playlist mp3 sudah melewatkan tiga lagu yang tak saya ingat: Sad Song, Try Not to Remember, dan Breaking The Habit, lalu terbangun karena grasak-grusuk perempuan itu mencari teleponnya.

Tak jelas benar apa yang dia obrolkan. Lagipula, telinga saya penuh oleh lagu-lagu unplugged Nirvana. Saya mencoba tidur lagi, mengingat kejadian yang sudah lewat, membayangkan kejadian yang akan datang, peristiwa berkelebatan saling susul, yang sedih, yang lucu, yang konyol, yang bikin dongkol, kenangan-kenangan masa kecil, masa setengah besar, masa besar, betapa hidup penuh kejutan, selalu ada benang merah dari setiap peristiwa, dan di luar skenario manusia ("Tuhan itu pelawak ulung," kata seorang tokoh dalam A Father's Affair, sebuah novel dari Karel Glastra van Loon, yang mengisahkan pencarian seorang ayah mencari ayah anaknya).

Saya hampir memasuki alam bawah sadar [ini istilah hipnoter Rommy Rafael yang sebelum ia terkenal, istilah itu saya temukan dalam biografi Sigmund Freud], ketika perempuan itu tiba-tiba bilang, "Maaf ya, kalau saya tadi mengganggu." Dalam rembang pikiran dan ingatan, saya menduga itu bukan suara untuk si peneleponnya. Itu maaf untuk orang lain.

Saya buka mata dan menoleh, dia melihat saya, mengangguk. Jadi jelas, itu maaf untuk saya. Daripada disebut tak sopan, saya copot earphone lalu balas mengangguk dan bilang "Oh, tak apa..." Saya menduga percakapan basa-basi itu akan berakhir sampai sana, meskipun agak aneh juga. Saya belum pernah menemukan sopan-santun Timur semacam itu: meminta maaf kepada orang asing dalam kendaraan umum karena takut mengganggu setelah bertelepon sambil menangis.

Dan percakapan itu tak berhenti sampai di sana. Dia--sampai sekarang saya tak berhasil mengingat wajahnya--bilang lagi, "Tak ada perkawinan yang sempurna." Ha? Jadi itukah yang bikin dia menangis? Apakah di telepon itu suaminya atau orangtuanya atau anaknya atau adiknya atau selingkuhannya atau ... Saya tak mau menduga-duga. Dia menunduk. Dan tentu saja saya tak menanggapi kalimat terakhir itu. Saya betulkan duduk, memeriksa sandaran kepala, memastikan tas ada di tempatnya. Jelas saya tak sedang bermimpi.

Saya tak memasang lagi earphone, kalau-kalau dia bicara lagi. Dalam kepala saya bilang, tentu saja tak ada perkawinan yang sempurna, yang ada adalah perkawinan yang disempurnakan. Dan sempurna adalah definisi yang paling absurd, untuk sebuah hubungan antar manusia. Bagaimana dua orang yang berbeda isi kepala bisa saling menaut dan mengait lalu menempuh satu tujuan yang sama. Dan perkawinan adalah hasil peradaban manusia yang paling lucu, lagi-lagi ini kutipan dari Karel van Loon. Di sini kita terbiasa berusaha melucu dengan membedakan perkawinan dan pernikahan.

Tapi sampai bus masuk kapal, sampai pikiran saya capek menduga-duga, dia diam saja dan terus menunduk. Ujung syal menghalangi mukanya dalam temaram lampu bus malam. Mungkin dia menyesal kelepasan ngomong, kepada orang asing yang duduk bersebelahan sekitar 6-7 jam. Mata saya yang belum terkatup dua malam mulai berat. Ketika alam atas-sadar terkumpul lagi, bus sudah hampir masuk stasiun Tanjungkarang. Saya buru-buru turun dan lupa berpamitan kepada perempuan yang bertelepon sambil tersedu.