Menolak dibeli di sebuah keadaan tanpa harapan adalah sebuah harapan. Goenawan Mohamad mengatakan kalimat gawat ini ketika merumuskan masa depan pers Indonesia. Ia cemas terhadap tren para pemodal yang kian tertarik menguasai media massa dewasa ini. Ia cemas membayangkan tak ada lagi suara alternatif yang datang dari pers yang bebas.
Sejak Orde Baru hancur, sensor media tak lagi datang dari kekuasaan. Negara tak lagi ikut terlibat menentukan mana yang perlu dan tidak perlu disiarkan para wartawan. Jurnalis bebas memilih apa yang ingin mereka tulis. Tapi, para juru warta kini menghadapi sensor yang lebih mengerikan, yakni publik sendiri. Mereka marah jika wartawan menyiarkan informasi yang tak mereka inginkan.
Elemen jurnalisme tentang informasi yang diingikan publik barangkali perlu direvisi. Para wartawan tak lagi bebas menentukan mana informasi publik dan mana informasi private. Ketika mereka menyiarkan penindasan terhadap kaum Ahmadiyah, ada pihak lain yang marah dan menuding pers memihak ajaran sesat. Ketika para wartawan menyiarkan korupsi seorang pengusaha, mereka digugat ke pengadilan. Publik, dalam soal ini, menjadi definisi yang sangat kabur.
Kini muncul lagi tren baru yang lebih mengkhawatirkan, yakni sensor yang datang dari modal.
Dalam sepuluh tahun terakhir, peran media cetak praktis menyusut. Tak ada lagi media massa cetak yang memimpin dan mengalahkan pengaruh televisi. Tabung gambar itu begitu membius dan menciptakan pasar baru dalam hal berita dan hiburan. Ke sanalah, para pemodal dan pebinis, kini mengarahkan investasinya.
Hari Tanoe, seperti pengakuannya kepada majalah Tempo, dengan sadar mengalihkan duitnya dari bisnis keuangan ke media. Dalam media, kata pengusaha yang tadinya bikin bisnis manajemen investasi, ada unsur strategis. Benar sekali. Dalam pers yang bebas, media sangat berperan sebagai suara alternatif. Setelah modal masuk ke sana, masihkah adakah yang alternatif itu?
Ada sebuah cerita yang tak bisa diverifikasi, tapi layak disimak karena hikmah di dalamnya. Syahdan, sebuah koran di Polandia, yang getol menulis kasus korupsi pejabat negara, yang menolak membebek omongan para politisi, hampir kolap karena tak bisa bersaing dengan televisi. Seorang pengusaha datang dengan segepok uang. Pemilik dan wartawan koran itu menolak. Mereka tahu konsekuensinya.
Pengusaha itu lalu membuat media baru. Ia menawari wartawan media yang miskin itu pindah dengan gaji tiga kali lipat. Bedol desa pun terjadi. Koran itu kian besar dan menyalip tiras "kakak" tertuanya itu. Si kakak, apa boleh buat, akhirnya tutup sama sekali. Namanya tinggal legenda, sebagai sebuah koran yang penuh idealisme namun keok karena miskin.