Wednesday, March 19, 2003

DI MANA LETAK DUNIA DALAM SELEMBAR KORAN?




"Jika saya harus memutuskan, memilih pemerintahan tanpa koran atau koran tanpa pemerintahan, saya tak akan ragu memilih yang kedua."

Thomas Jefferson, 17 Januari 1787, dalam sebuah surat untuk Kolonel Edward Carrington.

Menulis tentang diri sendiri kerap kali membosankan. Tapi, saat ini, saya kepingin benar membicarakan diri sendiri.

Setiap wartawan tahu, dunia tak selebar selembar koran. Ada banyak hal yang belum terungkap dan diungkap oleh kerja jurnalisme. Ada banyak hal, lebih banyak lagi malah, yang luput dari mata dan telinga juru warta. Lalu di mana letaknya dunia, dalam selembar koran?

Seorang teman yang berpindah profesi jadi birokrat setuju dengan saya. Sewaktu ia masih bekerja dengan bisnis kata-kata, ia merasa ada banyak hal yang bisa ia temukan saat menulis suatu berita. Dunia tiba-tiba saja menjadi terbuka, setelah terkukung dalam apek ruang-ruang kuliah. Tapi, dunia itu kembali menutup.

Ia mengangguk bahwa ada banyak hal yang belum ditulis wartawan yang kini ia ketahui dalam departemen tempatnya bekerja. Ia merasa hal-hal yang diketahuinya itu juga harus diketahui orang banyak. Tapi, ia bingung dengan cara apa ia memberitahu wartawan. Tiba-tiba saja, dunia jadi benang kusut.

Koran hanya menulis sesuatu yang muncul di permukaan, katanya. Koran hanya memberitakan apa yang ingin ditulis para wartawannya. Kadang-kadang juga koran-koran menulis apa yang tak ingin diketahui orang. Tapi, menulis banyak hal juga membikin hal ihwal menjadi tidak fokus.

Kerja wartawan sama halnya dengan kerja lain yang menuntut berpikir: kerja mencari kebenaran. Goenawan Mohamad kerap mengingatkan setiap wartawan tentang itu. "Kebenaran ada di mana-mana," saya kutip dari orang kedua, "termasuk di tempat-tempat yang tidak kita suka." Karena itu kerja wartawan kerap menelusup ke tempat-tempat yang mereka benci, menakutkan, mengerikan. Karena mereka tahu, informasi adalah hak setiap orang.

Karena misinya mencari kebenaran, kerapkali media berbuat salah, meski narasumber juga belum tentu benar. Seperti orang sedang belajar naik sepeda, berbuat salah adalah pintu utama menemukan kebenaran. Menuliskan fakta dengan akurat adalah pertaruhan setiap kerja jurnaslime. Karena akurasi itulah yang akan diuji untuk menemukan kebenaran-kebenaran itu. Pembaca, tentu saja, bukan sekumpulan orang goblok yang hanya menelan begitu saja informasi yang ia terima. Ia akan menguji dengan sendirinya informasi fakta-fakta yang disampaikan para wartawan itu..

Bad news is good news, konon begitu rumus kerja wartawan. Tapi, saya kira, itu hanya satu sisi saja. Berita yang buruk tidak hanya ingin menonjolkan sensasi. Karena berita buruk diharapkan bisa mengingatkan orang agar, misalnya saja, tak mengulangi perbuatan yang menyebabkan berita jadi buruk itu. Berita korupsi, contohnya, adalah berita untuk mengingatkan agar orang berhati-hati mengelola uang yang bukan haknya.

Menjadi wartawan kadang harus punya penjelasan lebih ekstra. Orang kerap menyangka pekerjaan wartawan bisa cepat mendatangkan uang. Ini adalah buah dari ulah wartawan yang menulis berita karena diberi uang oleh narasumber. Dan si sumber juga yang menganggap budaya setelah diwawancarai harus menyediakan amplop. Mereka berharap, si wartawan mau menulis yang baik-baiknya saja, sehingga harus menyogok dengan sejumlah uang. Korupsi, di negeri ini, memang sudah merasuk ke segenap aspek. Saya tidak tahu, apakah narasumber yang seperti ini pernah mendengar Thomas Jefferson.

Jefferson tahu bahwa rakyat harus dilibatkan untuk memutuskan apa yang diinginkannya. Dan pemerintah mendengar lalu menyusun kebijakan yang direstui orang banyak. Pers adalah salah satu jembatan paling efektif untuk kerja itu. Pasar ide-ide itulah kemudian disebut orang sebagai demokrasi.