Tuesday, December 02, 2003

CARTI




Namanya Carti. Hanya itu. Tak ada nama kedua atau nama panjang. Di kampung kami nama kedua atau nama panjang hanya akan membebani hidup si anak kelak. Karena dia lahir Kamis maka namanya harus berawal huruf "C" atau "K". Jika tidak keduanya, hidup si anak akan sengsara atau sakit-sakitan. Maka bapaknya memberi nama Carti setelah nama Casinah tak cocok bagi si anak. Nama Casinah hanya dipakainya sampai umur enam bulan, selama ia diserang demam tak henti-henti.

Carti baru lulus sekolah dasar dua tahun lalu. Waktu saya berangkat ke Bogor untuk sekolah, dia masih suka telanjang hujan-hujanan di halaman rumahnya. Waktu mudik lebaran kemarin saya lihat ia sudah jadi gadis yang berparas bersih waktu ketemu halal bi halal dengan tetangga. Kini, Carti bukan anak yang pemalu lagi. Ia menyapa saya duluan dan menjelaskan bahwa ia Carti yang dulu kepergok mengambil jambu air di depan rumah saya; karena saya pangling melihatnya.

Baju yang dipakai Carti bisa dibilang modis untuk ukuran gadis seusianya. Ia juga pakai bedak dan sedikit lipstik. Sandalnya berhak tinggi. Gerak-geriknya sedikit ganjen. Kami terlibat obrolan. Katanya, ia baru tiba dua hari menjelang lebaran. Di kampung saya, jika orang mengatakan pulang, itu berarti baru datang dari Jakarta atau kota lainnya. Dan Carti baru pulang dari Jakarta.

Jadi pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga di Ibukota. "Kerja saya hanya memberi makan anjing," katanya. Anjing tuannya ada 10 dan yang paling dikenalnya hanya anjing herder. Dari pagi hingga malam, ia harus tak luput memastikan anjing-anjing itu sudah diberi makan. Selain itu tidak, karena pekerjaan rumah tangga lainnya sudah ada pembantu lain yang menanganinya. Pembantu di rumah tuannya Carti ada lima yang mengurus seluruh pekerjaan utama rumah tangga, tidak lagi membantu seperti julukannya.

Dari raut dan intonasi bicaranya Carti sepertinya senang sudah bisa bekerja. Ia jadi kebanggan keluarga. Tiap bulan separo gajinya ia weselkan ke orang tuanya. Setiap bulan ia menerima 200 ribu rupiah. Sisanya ia simpan. Jika ada keperluan mendadak, bapaknya datang ke rumah tuannya untuk meminta duit. Carti sudah jadi kepala rumah tangga urusan duit sejak setahun lalu, sejak ia pertama kali ke Jakarta.

Carti menjadi gadis kormod atau korban mode. Di kampung saya anak-anak perempuan sedang gandrung kerja di Yayasan (para tetangga selalu menjawab kerja di Yayasan jika bekerja sebagai pembantu) setelah lulus sekolah. Maksudnya, ikut mendaftar ke sebuah yayasan penyalur pembantu rumah tangga. Mang Arif, seorang yang punya kenalan dengan pekerja Yayasan bertindak sebagai makelar. Ia sudah mengirimkan puluhan anak gadis ke Jakarta. Dan rata-rata "berhasil".

Untuk lebaran tahun ini Carti membawa uang tunai 1 juta rupiah dari tabungannya. Dan semuanya ia serahkan ke orang tuanya. Baju-baju lebaran yang dipakainya merupakan baju bekas anak tuannya yang sudah tak terpakai lagi meski terlihat masih baru di tubuh Carti. Uang kerjanya itu utuh tanpa belanja apapun. Menurut sahibul cerita (di kampung tak pernah ada rahasia), uang itu akan dipakai merenovasi rumah.

Carti belum mau pacaran, kendati pada malam hari para jejaka kampung ramai-ramai berkunjung ke rumahnya. Mungkin ia akan bertahan dua tahun pada keteguhannya. Setahun ia mungkin luluh dan menjadi pacar seorang anak muda yang belum punya pekerjaan tetap. Tahun kedua rencana pernikahan dan mengundang penghulu sudah dirancang.

Lalu kemodisan Carti hilang. Wajahnya dan tubuhnya kembali ke asal: kelelahan gadis-gadis desa mengurus rumah tangga pada usia belia. Ini kronologis yang lazim bagi gadis desa yang sudah dianjangi jejaka desa. Seperti juga Minah, Emun, Een, dan banyak gadis-gadis lain senior Carti

Carti adalah sebuah cerita bagaimana kemiskinan terpelihara. Ada banyak ribuan Carti di desa-desa di Indonesia. Seusai pensiun jadi pembantu, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Keahlian Carti yang tertinggal dari bekerja, ya, memberi makan anjing itu. Lainnya tidak. Para tuan itu tak pernah memikirkan bagaimana jika Carti sudah tak bekerja lagi di rumahnya suatu saat. Mereka tidak pernah diajari mandiri dengan diberi keahlian khusus selain jadi pembantu.

Pulang dari Jakarta, Carti dkk. itu hanya membawa selepit uang yang bisa dihabiskan dalam waktu seminggu. Kesenangan dan kebanggaan itu hanya dinikmati sampai rumah direnovasi. Setelah itu hidup kembali sempit dan pendek, sependek nama Carti, yang tak punya arti apapun selain hanya sepenggal nama.