Wednesday, December 14, 2005

LAGU DI ANGKOT



Saya masih tercengang-cengang oleh angkutan kota, terutama di Bandarlampung, meskipun sudah sedikit bisa berdamai. Berdamai dengan kebrisikan pengeras suara yang menyemburkan lagu-lagu house music. Bukan mulai suka, tapi mulai bisa tak peduli. Saya bisa cuek sambil menutup kuping.

Bunyi pengeras ternyata tak cuma dipasang untuk hiburan, tapi juga sebagai daya tarik bagi penumpang. Pantas saja, setiap angkot berlomba memperbesar pengeras suara yang sudah menghabiskan jatah duduk dua penumpang. Jika ada orang naik, para sopir akan mengeraskan bunyi lagu, tak peduli jantung penumpang di belakangnya berdegup karena getaran bunyi itu. Bagi pengidap lemah jantung, hati-hati memilih angkot di Bandarlampung.

Kini saya juga tak lagi bertanya-tanya kenapa para penumpang mau saja telinganya dijejali suara-suara aneh itu. Mereka ternyata juga doyan. Atau, seperti saya, tak peduli! Mungkin mereka juga pernah meminta suara diturunkan tapi dihardik sopir yang marah. Saya pernah.

Jam 13, terik memanggang. Saya naik angkot sambil menggendong Mikail yang tidur. Angkot ini saya pilih karena tak mengeluarkan bunyi lagu. Eeh, begitu kami masuk, si sopir langsung membunyikan tape kasetnya. Astaga, Mikail yang belum genap delapan bulan menjerit karena kaget. Istri saya minta suara dikecilkan, tapi kondektur itu bersungut-sungut. "Bung, apa Bung tak lihat saya bawa bayi?" Si kondektur cuek. Katanya, tanpa bunyi lagu ia bakal tak dapat penumpang. Saya mengalah. Kami turun mencari angkot yang lain.

Tapi jenis musik angkot kini mulai bergeser. Lagu-lagu untuk triping sudah agak jarang diputar. Ini zaman Peterpan dan Radja. Hampir semua angkot tak ada yang tak memutar lagu-lagu dua kelompok band ini. Kalau bukan Jujur pasti lagu-lagu album Taman Langit. Sepertinya, penumpang juga suka dengan lagu-lagu ini. Kaki-kaki, sepatu-sepatu, ikut bergoyang mengiringi ketukan setiap lagu. Ada juga yang lirih bernyanyi dengan gumam, meskipun suara lagu terdengar sember karena kalau bukan kaset bajakan, pengeras suara sudah pecah.

Para pengusaha rekaman harus berterima kasih kepada para sopir angkot. Setadinya saya pikir lagu Jujur atau Cinderela adalah sebuah lagu lama yang ngetop di daerah. Setahun kemudian, saya tahu itu lagu Radja yang sudah mengeluarkan empat album. Kini, oleh tabloid Bintang Indonesia mereka dinobatkan sebagai kelompok musik paling unggul tahun ini. Atau lagu Tak Bisakah yang sudah populer jauh sebelum iklan film Alexandria dipajang.

Para sopir bisa jadi tim pemasar yang efektif dan efesien. Lagu tak beda dengan merek: disukai bisa dengan dijejalkan setiap hari ke kuping orang. Sebuah lagu akan menyambar memori orang yang mendengar. Dan memori manusia jauh lebih besar dibanding MP3 dengan kapasitas berapapun. Kita akan tahu sebuah lagu setelah mendengar meskipun tak hapal atau samar-samar. Angkot juga bisnis yang tahan krisis. Para sopir menggerutu sejak harga bensin naik 2,5 kali lipat. Tapi mereka terus narik karena "rezeki bisa berserakan di setiap tikungan jalan".