Wednesday, November 26, 2014

#KELASELASA

Telah terbit ‪#‎kelaSelasa‬: kumpulan Twit tentang Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulia Berita. Versi digital bisa diunduh di store.tempo.co/buku. Pesan versi cetak ke cs@tempo.co.id.



RINGKASAN

Catatan-catatan, atau kuliah lewat Twitter yang populer disebut kultwit, tak terasa sudah tiga tahun lebih. Isinya mencakup banyak segi, seperti terlihat dari urutan pembagian dalam buku ini: bahasa, teknik menulis hingga detail-detail dan tip membuat kalimat, sampai pengetahuan umum tentang media di zaman yang berubah sangat cepat ini. Agar tak rancu dan lebih umum, tanda setiap twit berubah menjadi #kelaSelasa.

SECARA mikro, “Kelas Selasa” dengan sendirinya merupakan cermin semangat “demokrasi” di Tempo, yaitu semangat untuk merawat kebersamaan di dalam keberagaman.

Amarzan Loebis, Wartawan Senior

MENJADI wartawan adalah sesuatu yang melekat pada tubuh dan pikiran; bukan sekadar label. Karena itu keinginan untuk memperbaiki kemampuan liputan, melontarkan pertanyaan hingga menulis harus selalu membara. Mereka yang datang pada hari Selasa di kantor Tempo untuk mendengarkan evaluasi isi Tempo adalah wartawan yang sesungguhnya, yang selalu ingin memperbaiki mutu karyanya. Buku ini juga akan dibaca dan dipelajari dengan seksama oleh mereka yang tahu bahwa proses belajar tak pernah berhenti.

Leila S.Chudori, (Leila S. Chudori) Penulis novel “Pulang” dan kumpulan cerita “9 dari Nadira”

LEBIH dari sekadar meliput dan melaporkan, jurnalisme adalah proses meragukan fakta, menguji hipotesa: sebuah ikhtiar mencari kebenaran. Menulis adalah upaya menyampaikan fakta jurnalistik itu: bahasa diolah sedemikian rupa agar paragraf demi paragraf sedapat mungkin merepresentasikan fakta, bukan imajinasi penulis. Inilah yang membedakan karya jurnalistik dan prosa dalam karya sastra. #kelaSelasa adalah catatan atas proses jurnalistik itu: petunjuk tentang apa yang boleh dan sebaiknya dihindari. Buku ini adalah buah ketekunan penulis dalam mengikuti kelas kelas jurnalistik di sekolah bernama Tempo.

Arif Zulkifli, (Arif Zulkifli), Pemimpin Redaksi Majalah Tempo

Saturday, November 22, 2014

INTERSTELLAR


Jika kita tua karena tak cukup cepat mengimbangi gerakan waktu dalam dunia tiga dimensi, siapakah yang menciptakan masa depan?

Christopher Nolan tak hendak menjawab pertanyaan pokok yang purba ini di Interstellar. Ia hanya menggambarkan dengan sangat telak apa yang sudah umum diinsyafi ilmu pengetahuan: tentang dimensi, tentang waktu, tentang ketakmungkinan menyentuh masa lalu.

Ketika Cooper terperangkap dalam dunia lima dimensi, ia bisa melihat dirinya hidup di dunia tiga dimensi. Secara logika mereka yang hidup di dimensi lebih tinggi akan bisa memasuki dunia dengan dimensi lebih rendah tanpa bisa memasuki konsep waktunya. Maka dunia ini tiga dimensi + waktu. Kita bisa menyentuh cicak tanpa bisa memasuki dimensi waktu yang merungkupnya.

Di dunia lima dimensi yang memerangkap Cooper itu, ruang terlipat dan waktu tertinggal. Ketika ia melihat ia berpamitan kepada anaknya hendak melesat ke luar galaksi dalam misi mencari planet pengganti bumi, di titik yang sama di dunia tiga dimensi peristiwa itu sudah terjadi 30 tahun lalu. Saat Cooper melihat mereka bercengkrama, anaknya sudah berusia 37 tahun menurut waktu tiga dimensi.

Waktu terbentuk oleh gravitasi yang menyebabkan bumi layak dihuni. Semakin jauh kecepatan kita dan ruang tempat kita berada terhadap kecepatan cahaya, semakin lambat waktu yang melingkupinya, demikianlah Einstein bersabda. Karena Cooper berada di dimensi yang sangat cepat terhadap waktu relatif di bumi, hidupnya baru beberapa hari sementara di bumi sudah berpuluh tahun.

Gravitasi membuat kita tua dengan sendirinya, meski di Interstellar tak digambarkan apa yang terjadi dengan massa benda dalam perbedaan waktu itu. Mengapa tubuh Cooper tetap berotot dengan wajah ganteng yang itu-itu juga. 

Para ahli yang terlalu serius menonton film ini telah banyak mengkritik Christopher Nolan jauh sebelum pertanyaan ini mengemuka: jangankan memasuki, benda-benda tak akan bisa mendekati lubang hitam—jalan pintas menuju dimensi lain. Bahkan masih jadi perdebatan apakah lubang cacing itu benar-benar berwujud. Cooper harusnya menjadi renik dan ruh ketika memasuki lubang hitam untuk hijrah ke dimensi lebih tinggi itu. Tapi memvisualkan ruh tentu tak menarik lagi dalam film sains.

Konon, setelah melewati lubang cacing di luar galaksi kita itu, waktu melepuh dan ruang menghilang. Adakah masa depan? Kitab-kitab suci hanya menyebut dunia ini fana dan dunia lain abadi. Barangkali demikianlah akal kita menakar sesuatu yang berada di luar nalar. Interstellar tak cukup punya waktu menjabarkan dan menjawabnya.

Jika dimensi lain abadi, dunia tiga dimensi sebaliknya. Sebab kita bergerak terhadap waktu dan waktu bergerak terhadap ruang yang melingkupinya. Tak akan ada ruang tanpa waktu, sama seperti tak ada waktu jika tak ada ruang. Kita mengisi di dalamnya, mengarungi peristiwa-peristiwa. Kita seperti anak panah dalam dimensi itu, yang terus maju. Cooper di dimensi lima hanya bisa melihat dirinya sendiri di dimensi tiga tanpa bisa menyentuhnya. Perbedaan dimensi itu yang menyekat ia dan ia di dimensi lain.

Kata “mengarungi” mungkin tak cukup tepat karena itu berarti peristiwa-peristiwa telah tersedia dan kita memasukinya akibat waktu yang bergerak lebih cepat dari gerak benda-benda. Sebab, konsekuensinya adalah kesimpulan bahwa sejarah yang menuntun manusia, bukan manusia yang menciptakan sejarahnya—perdebatan dan pertanyaan manusia sejak mulai mempertanyakan keberadaannya. Sebab waktu dan ruang bergerak dalam waktu yang stabil menuju pada ketiadaan.

Sampai sini, pertanyaannya adalah di manakah kehendak bebas manusia? Apakah kehendak-kehendak kita yang tak dipolakan itu tak menuntun kita sendiri memasuki peristiwa—bahkan menciptakan peristiwa—yang disediakan waktu di masa depan itu? Interstellar tak menjawabnya, dan mungkin akal manusia hanya menjangkau sejauh itu. Selalu ada jalan buntu membicarakan takdir. Barangkali karena itulah manusia menciptakan agama, cara akal mengorganisasikan iman untuk menjawab problem-problem di luar logika.

Sebelum ceracau ini kian mengacaukan akhir pekan, akibat deadline yang selalu menggoda beromong kosong, baiknya disudahi dengan satu testamen: tontonlah Interstellar agar tak menyesal sembari tua....


Sunday, November 16, 2014

TAKUT HANTU

Tuhan, mengapa kita bisa bahagia?
~ Goenawan Mohamad dalam Dingin Tak Tercatat

Dan, Tuhan, mengapa kita bisa takut? Pada apa yang belum kita temui, pada yang belum kita lihat. Mengapa takut selalu datang lebih dulu, tak seperti bahagia yang selalu datang belakangan dari pengalaman.


Saya punya anak, yang sejak bisa membaca, gemar sekali melahap novel-novel tentang hantu. Buku koleksinya, antara lain, Jakarta Penuh Hantu 1, 2, 3, 4. Nightmare 1, 2, Midnight Story, Ghost Stories... Ia bisa dengan suka cita menceritakan kisah-kisah itu kepada temannya lalu mereka histeris rame-rame.

Dan itulah masalahnya. Anak saya ketakutan sendiri ketika membaca, atau tak berani tidur sendiri (karena itu sering diledek adiknya yang belum sekolah), gamang jika melintas jalan gelap... Saya tidak tahu kapan ia mulai takut pada hantu.

Sebelum ia sekolah, lima tahun lalu, ia belajar mengaji setiap lepas magrib. Suatu ketika listrik satu perumahan mati, jadi jalan gelap, ia dan teman-temannya pulang dari rumah guru ngajinya tanpa ketakutan, kecuali satu orang. Teman-temannya ini menghibur anak yang ketakutan itu dengan mengingatkan pesan gurunya: jika takut hantu melafalkan Quran saja. Anak itu menurut dan ia membaca bagian akhir juzz amma--kitab alfabet Arab yang baru mereka pelajari: alif, ba, ta, tsa, jim, kha, kho, sepanjang jalan....

Barangkali di situlah titik balik anak saya takut kepada hantu. Pesan "jika takut hantu" begitu menghantuinya sehingga ia percaya bahwa hantu perlu ditakuti. Sebab, rasanya, saya tak penah menanamkan ia takut pada hantu--karena konsep ketakutan seperti itu yang ditanamkan orang tua dulu sangat keliru. Di kampung dulu, orang tua melarang anak-anak menyelinap ke tempat gelap dengan mengatakan di sana ada genderuwo, atau menyuruh anak masuk rumah ketika magrib dengan bilang, "nanti dibawa kelongwewe".

Seperti umumnya orang tua zaman sekarang, penjelasan saya kepada anak soal hantu adalah bahwa ia mahluk juga, hanya tak terlihat, dan ada di sekitar kita. Jika roh-roh itu mewujud berarti ia roh sakti karena bisa mengumpulkan energi sangat besar untuk menunjukkan diri.

Penjelasan seperti itu jadi terasa sia-sia kini. Anak saya tetap takut hantu untuk alasan yang tak bisa ia jelaskan, dan kapan mulai punya ketakutan semacam itu. Mengapa ketakutan itu berwujud bulu kuduk yang berdiri, menjerit, bahkan terkencing-kencing, padahal ia tak melihat sesuatu yang menyeramkan. Konon, anak-anak bisa melihat mahluk tak kasat mata. Tapi ketika saya tanya melihat apa sewaktu ketakutan, ia bilang tak lihat apa-apa. Hanya takut saja: takut kalau hantu yang ia bayangkan menyeramkan itu benar-benar menampakkan diri dan akan mencelakainya.

Sebab di Toraja pikiran anak-anak tak dibentuk takut pada hantu. Di sana orang yang meninggal bisa terbaring di kamar dua bulan jika ada anak yang belum pulang karena melaut. Anggota keluarga lain melakukan keseharian yang rutin seperti biasa di antara mayat itu. Jika mereka makan, ada satu piring yang disediakan untuk roh yang meninggal. Mayat itu baru dikuburkan jika sanak-saudara sudah melihatnya, dan suatu kali mayat itu digali lagi untuk diganti bajunya. Anak-anak bisa turut serta dalam upacara Ma'nene itu. Tak ada konsep takut pada mayat atau hantu dari mayat itu.

Ma'nene, membersihkan mayat dan mengganti bajunya di Toraja
Jadi, seorang Toraja di kantor saya merasa aneh dengan film-film tentang hantu yang marak belakangan ini. Hantu digambarkan sedemikian menyeramkan, jahat, dan bisa membunuh dengan tangannya sendiri. Ia sendiri tak kenal rasa takut pada hantu karena sejak kecil tak pernah diajarkan soal hantu yang bisa menakutkan. Orang-orang tua di sana, kata dia, mengajarkan takut pada yang terlihat. Misalnya, pada orang yang kemungkinan punya teluh sehingga sebaiknya menghindari berpapasan dengannya agar tak celaka.

Film-film itu membuat pemahaman akan hantu di benak anak-anak pun kian kacau. Dan, agaknya, saya belum bisa mengembalikan konsep ketakutan dan hantu pada anak saya seperti sebelum ia takut hantu.

Friday, November 14, 2014

RUMAH


Film yang bagus, kata orang, tak hanya diingat alur cerita dan adegan-adegannya setelah selesai ditonton. Ia juga “meneror”.

Entah mengapa, setelah menonton Fury saya merasa film ini bercerita tentang kerinduan, kegalauan, kesepian, ketakutan, akan rumah dan kampung halaman. Sebagian besar film ini menceritakan apa yang terjadi di tank Sherman yang dihuni lima tentara Amerika dengan latar Perang Dunia II tahun 1945. Mereka terjebak pertempuran melawan 300 tentara SS Jerman karena roda tank hancur terkena granat ranjau.



Teror Fury kian menjadi karena lagu Cedarwood Road, yang saya dengarkan tak sengaja setelah menonton film itu. Ini lagu U2 di album terbaru, Song of Innocence, dan bukan lagu pengiring film. Bono, yang menyanyikan dan menulis lagu ini, sedang mengenang kampungnya di Irlandia Utara. Ia lahir dan tumbuh di Cedarwood Road 10, perkampungan dengan jalan lurus dan sungai yang lebar, juga bunga ceri yang mekar di kiri-kanannya. Cedarwoord Road sukses merekam deskripsi dan suasana yang tertampung maupun tak tertampung adegan dan ucapan tokoh-tokoh Fury. Kesamaan pinus dalam Fury dan pinus yang terbayang dalam Cedarwood barangkali karena syuting film di Inggris.

Cedarwood Road, Dublin

Dengan nada agak murung, Bono mengenang sungai yang mengalir di sepanjang jalan pinus: “Menyeberang dari sisi Selatan ke Utara, sungguh perjalanan yang jauh.” Di Fury, menyeberangi sebuah persimpangan yang hanya lima meter butuh perjuangan yang amat keras karena terlebih dulu harus mengalahkan dan membunuh puluhan musuh, juga teman yang jadi korban.

Sebagaimana umumnya tempat lahir, hubungan dengan orang-orangnya lebih dari sekadar kampung halaman. Tempat, peristiwa, dan lanskapnya berkait dengan kenangan dan pengalaman hari ini yang rumit dijelaskan hubungan-hubungannya. Bono melihat Cedarwood Road sebagai “zona perangnya” di masa remaja—wilayah yang membentuknya menjadi ia hari ini. “Saya masih berdiri di sini, di jalan ini. Saya masih butuh seorang musuh.”

Musuh, kata pesan bijak Sun Tzu, kita perlukan untuk menjadi cermin agar kita paham kelemahan dan kelebihan kita sendiri. Musuh tak harus orang yang bersiap membokong ketika kita lengah. Ia bisa juga tantangan, untuk mendewasakan.

Cedarwood Road 10

Seperti Don Wardaddy (Brad Pitt) di Fury. Ia masih saja di zona perang sesungguhnya, setelah bertempur di pelbagai perang di Afrika. Hidupnya seperti selalu membutuhkan seorang musuh, untuk menegaskannya bahwa ia masih hidup. “Ini rumahku,” katanya, menunjuk tank itu, ketika empat anak buahnya hendak lari dari pertemuan dengan 300 tentara SS itu.

Kata “rumah” barangkali tak terlalu menggetarkan dalam bahasa Indonesia. Dalam kalimat Wardaddy itu ada nuansa yang tak tertampung dalam padanannya, yakni sebagai sebuah tempat kembali, tempat hidup, tanah air.

Seperti kata Bono, kita selamanya tak akan bisa melepaskan kampung halaman, seberapa jauh pun kita meninggalkannya, seberapa keras dan sengit pun kita berkonflik dengannya, cause it’s never dead, it’s still my head. Pada Wardaddy, ia memilih tinggal di tank meski tahu hanya ada satu pilihan, yaitu mati. Kemana juga ia akan lari? Perang tak menyediakan jalan kembali. “Wars are not going anywhere, Sir.”

If the door is open it isn’t theft, you can’t return to where you’ve never left.

Bono selamanya terkenang Cedarwood Road karena jejak hidupnya ada di sana. Wardaddy tak bisa keluar dari medan perang karena selama hidup ia mengukir peninggalannya di medan yang keras itu. Maka ia memilih bertahan di tank, menyongsong akhir hidupnya, di tempat yang ia sebut “rumah” itu. “Kamu pikir saya tidak takut?” katanya kepada Norman Ellison, pengemudi tank, yang mengkeret. “Kadang-kadang ketakutan menyergap di tempat yang kita sebut rumah,” kata Bono.


Betapa heroik dan mengharukan jalan cerita dan hidup seperti itu. Barangkali karena itu Fury meneror setelah ditonton….


CEDARWOOD ROAD :