Monday, December 19, 2016

JARAK


BAHASA telah menciptakan budaya, kebiasaan-kebiasaan manusia sejak zaman purba. Atau budaya yang mendorong manusia merumuskan bahasa. Apa yang menimpa kita hari-hari ini tak lepas dari cara kita merumuskan masalah lalu mencarikan solusinya. Dan di antara proses itu terjadi pergulatan—atau ditentukan oleh—cara kita berbahasa.

Macet kini tak hanya masalah Jakarta. Kota-kota di sekitarnya, bahkan di pelosok, kini telah mengalami apa yang Jakarta alami lima tahun lalu. Di Bogor, hari Sabtu adalah neraka jalanan. Orang Jakarta yang sudah libur kerja tetirah ke sini, bertemu di persimpangan dan perempatan dengan orang Bogor yang masih masuk kantor dan sekolah.

Pertumbuhan ekonomi yang melahirkan kelas menengah—dengan sepeda motor dan mobil—tak diimbangi dengan ketangkasan birokrasi membangun panjang jalan. Tapi ulasan semacam ini sudah banyak. Saya ingin tambahkan problem utama yang mungkin lebih mendasar, yakni sikap dan cara berbahasa kita melihat macet.

Macet berhubungan dengan jarak. Kita memahami jarak sebagai ruang antara dua titik. Jarak tak akan berubah meski kita menempuhnya dalam waktu lama atau sebentar dari titik satu ke titik lain. Jarak Jakarta-Surabaya tetap saja 784 kilometer, meski kita menempuhnya dengan jalan kaki, naik sepeda motor, mobil, atau pesawat. Yang membedakan adalah waktu tempuh dari setiap moda itu.

Maka macet abadi karena kita menghadapinya, atau menciptakan solusinya, dari variabel yang statis apapun moda transportasinya. Dua atau tiga hari tak masalah karena jauh jarak dari Jakarta ke tempat tujuan mudik tetap sama. Di Jepang, jarak diukur dengan waktu. Mereka terbiasa mempercakapkan jarak dengan ukuran lama atau sebentar mencapainya, bukan jauh dalam ukuran metrik.

Jika kita bertanya kepada orang Jepang, berapa jarak Osaka-Kyoto, orang itu akan menjawab “satu jam”. Artinya, jarak dua kota di Kansai itu ditempuh memakai kereta dalam keadaan normal. Atau “15 menit” jika memakai Shinkansen, bukan 40 kilometer atau 50 kilometer. Maka orang Jepang terdorong untuk terus meringkas jarak itu dengan menciptakan kendaraan yang bisa memangkasnya.

Setiap moda transportasi adalah revolusi atas moda transportasi sebelumnya. Setelah ditemukan sepeda motor, lalu kereta. Kereta pun berganti terus dari cepat hingga supercepat. Orang Jepang menciptakan moda transportasi agar mereka bisa menjangkau dua titik tanpa banyak kehilangan kesempatan lain saat mencapainya.

Maka dalam kebudayaan masyarakat itu lahir peribahasa “waktu adalah uang”. Waktu didefinisikan sebagai sesuatu yang berharga sehingga harus dipakai seefesien mungkin.

Di Indonesia, peribahasa yang muncul dalam soal jarak dan kecepatan adalah “alon-alon asal kelakon” atau “biar lambat asal selamat”. Kita tak mementingkan waktu, kita mementingkan hasil akhir. Peribahasa itu menyiratkan bahwa apapun yang terjadi di jalan bukan sesuatu yang penting, karena yang utama adalah “selamat sampai tujuan”.

Kita pun menjadi bangsa yang tabah di jalan. Konsep “tepat waktu” telah berubah sangat melar. Jika kita membuat janji bertemu dengan seseorang pada pukul 8, kita akan menghitung waktu tempuh + waktu perkiraan macet. Waktu tempuh standar mungkin tak berubah, macet tak bisa diperkirakan kendati ada mesin penunjuk waktu tempuh berupa Waze atau Google Maps.

Kita pun berada dalam ketidakpastian jika berada di jalan. Terlambat adalah sesuatu yang biasa dan termaafkan karena setiap orang mafhum jarak kini menjadi sesuatu yang sulit ditentukan. Dan ketidakpastian itu merembet pada kebiasaan lain.

Jika kita membuat sebuah acara pada pukul 7 di undangan, realitasnya acara dimulai sejam kemudian. Kita mafhum belaka di luar sana ada undangan yang berjibaku dengan macet sehingga tak bisa tiba sebelum pukul 7, kendati sudah memperkirakan waktu tempuh dan lama menempuh kemacetan. Atau kebiasan baru: membuat undangan pukul 7 untuk acara yang dimulai pukul 8.

Konsep “tepat waktu” pun jadi berubah, dan mungkin akan terus mengalami pergeseran definisi. Soalnya, barangkali, karena jarak tetap dipahami sebagai rentang antara dua titik itu, bukan rentang antara dua waktu. Dari situ muncul anggapan terburu-buru digolongkan ke dalam perbuatan yang sembrono.

Maka kemacetan di jalan tak gampang terurai dan Jepang terus menerus menciptakan mobil dan sepeda motor baru. Kita menadahnya tanpa memikirkan cara menampungnya.

Bahasa menentukan siapa kita. Meski setiap kata punya definisi yang dihimpun kamus, pengertian dan makna di baliknya bergantung cara kita bersepakat memakainya untuk faedah hidup sehari-hari.

Diterbitkan di rubrik Bahasa! majalah Tempoe edisi 12-18 Desember 2016.

Monday, October 24, 2016

BAHASA GADO-GADO



Bagja Hidayat *)

MEGAWATI Soekarnoputri menyentil Badan Research and Rescue Nasional sebagai lembaga negara yang memakai nama dengan bahasa gado-gado. Dalam penandatangan kerjasama Basarnas dengan PDI Perjuangan pada 24 Agustus 2016 itu, ia meminta nama dan logo Basarna diganti dengan penamaan Indonesia.

Apa sebetulnya nama Indonesia? Sejak dulu bahkan nama orang memakai bahasa campuran. Nama saya merupakan campuran bahasa Sunda dan Arab. Anak-anak sekarang tak lagi memakai nama Joko atau Asep, tapi nama-nama lain yang dicomot dari bahasa lain yang diakrabi oleh orang-orang tua mereka. Ada teman bernama Tectona Grandis, bahasa Latin untuk pohon jati karena ayahnya seorang administratur Perhutani di Sumedang.

Bagi bukan orang Melayu, bahasa Indonesia adalah bahasa asing, yang harus dipelajari dengan susah-sungguh. Dan ada banyak lembaga resmi yang memakai nama asing tanpa disadari keterasingannya, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi atau Sekretariat Kabinet.
Bahkan Basarnas itu sepenuhnya asing, bukan campuran dengan bahasa lokal, karena berasal dari bahasa Arab (Badan), Inggris (Search and Rescue) dan Belanda (Nasional). Sentilan Megawati mungkin lebih cenderung pada keinginan Basarnas memakai nama dengan kata-kata yang sudah diserap kamus, seperti “badan” dan “nasional” itu.

Sebab, sejatinya bahasa Indonesia adalah bahasa gado-gado karena dibentuk dari serapan pelbagai bahasa daerah dan bahasa asing lain di luar kepulauan ini. Karena sering dipakai dan jadi akrab, sebuah kata akan kian fasih digunakan dan mendekam dalam ingatan kolektif banyak orang lalu diakui sebagai bahasa nasional.

Mahkamah Agung merupakan campuran Arab dan Minang, sementara Sekretariat Kabinet sepenuhnya bahasa Belanda. Dua nama lembaga ini tak punya masalah dan dipermasalahkan. Basarnas terasa asing terus menerus kendati nama ini sudah dipakai sejak 1972. Search dan rescue tak kunjung terasa lokal kendati sudah jadi nama lembaga selama empat dekade. Problemnya bisa karena nama ini tak kunjung akrab di telinga pengguna bahasa Indonesia atau karena kata ini sudah punya padanan yang tepat yakni "mencari" dan "menolong".

Sebelum Megawati menyentil, majalah anak-anak Si Kuntjung sudah mencoba mengenalkan istilah yang lebih “lokal” yakni “rilong”, akronim dari “pencarian dan pertolongan” sejak 1976. Sehingga Basarnas bisa menjadi Badan Pencari dan Pertolongan Nasional, yang disingkat Barilongnas atau Bacarnas jika ingin sedikit mempertahankan akronim lama.

Barangkali karena Basarnas ingin mempertahankan nama asli dengan mencantumkan frase search and rescue (SAR). Nama ini dipakai secara internasional sehingga singkatan "sar" seolah menjadi kata yang telah merasuk dalam ingatan kolektif setiap orang dengan merujuk pada arti "mencari dan menolong".

Bahasa adalah sebuah alat menyampaikan pengertian. Jika "sar" telah dipahami sebagai "mencari dan menolong" apa masalahnya jika dipakai sebagai nama? Toh "satpam" dan "hansip" telah menjelma menjadi nama dan kata sendiri dengan makna yang langsung kita pahami dibanding pengertian panjangnya sebagai "satuan pengamanan" dan "pertahanan sipil" yang tak merujuk pada subjek dan orangnya.

Rupanya, karena bahasa terkait identitas dan formalitas. Meski kita paham dengan pengertian dan definisi serta tugas dan fungsi Basarnas, dalam kata ini mengandung unsur yang tak mudah dikompromikan yakni keanggotaan kata dalam kamus. Apalagi Basarnas adalah lembaga resmi yang bisa dijadikan yurisprudensi penamaan lembaga lain yang pengertiannya dikandung bahasa lain.

Jika demikian masalahnya, kata-kata yang dipakai untuk penamaan itu mesti diakui secara resmi dalam kamus sebagai kata serapan terlebih dahulu. Bagaimana pun kamus adalah patokan dan kesepakatan kita dalam berbahasa. Sehingga Kementerian Reformasi Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tak harus diubah menjadi Kementerian Pendayagunaan Pegawai Negeri dan Perubahan Sistem Pemerintahan.

Dengan lalu-lintas dan perjalanan antar wilayah kian mudah, juga makin gampangnya ilmu pengetahuan tersebar, manusia akan semakin lentur dalam saling serap bahasa sebagai alat tutur. Secara alamiah, bahasa pun akan kian menjadi “gado-gado”.

*) Wartawan Tempo
Dimuat di majalah Tempo edisi 19 September 2016.

Tuesday, August 30, 2016

HANTU KOMUNIS



Ketakutan sering tak masuk akal, termasuk takut pada komunisme. Menteri Pertahanan dan para jenderal memburu buku-buku tentang komunisme, membakar simbol-simbol komunis, membubarkan diskusi yang membicarakan soal itu, termasuk konon akan menginterogasi Patung Pak Tani di depan Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat.

Para jenderal menyerukan agar masyarakat waspada akan kebangkitan ideologi komunis dan Partai Komunis Indonesia, yang telah runtuh 51 tahun lalu. Artinya, PKI sudah tak ada dan dunia membuktikan bahwa komunisme sebagai ideologi, sistem politik dan ekonomi, telah melapuk, dan bangkrut, setelah Rusia pecah dan Cina serta Vietnam terbuka pada modal luar.

Dalam manifestonya, Karl Marx menulis sejak kalimat pertama bahwa komunisme adalah hantu. Ada hantu berkeliaran di Eropa-hantu komunisme, demikian tulis Marx. Jelas sekali perumusnya sendiri menyatakan bahwa komunisme tak riil. Ia hantu. Maka mereka yang ketakutan pada komunisme sesungguhnya takut pada yang tak ada, tak terlihat.

Mereka para pengidap "phasmophobia", demikianlah bahasa manusia menamainya. Ini istilah yang dilahirkan dalam ilmu kejiwaan untuk menyebut orang-orang yang takut pada hantu, meski bisa saja mereka belum bertemu dengan hantu. "Phasmophobia" adalah salah satu jenis ketakutan pada yang tak terlihat, sama seperti "philophobia" untuk menyebut ketakutan jatuh cinta.

Takut hantu adalah ketakutan paling tua, tapi istilahnya baru ditemukan pada abad ke-20. Bahasa Indonesia bahkan tak punya padanan dan istilah lokal. Kita menyerap "phasmophobia" begitu saja atau menunjukkan faktanya dengan frasa "takut hantu".

Sama seperti bau-bauan. Meski manusia menyukai bau tanah kering tersiram hujan pertama, istilahnya baru muncul pada 1964 ketika dua ilmuwan lingkungan, Isabel Joy Bear dan Roderick G. Thomas, menyebutnya dengan "petrichor". Mereka mengambilnya dari bahasa Yunani: petra (batu), dan ichor (cairan yang mengalir di dalam pembuluh para dewa). Sejak itu, harum yang menyenangkan itu memiliki nama.

Indonesia belum merumuskan padanan atau menamainya dengan bahasa lokal. Kita masih memakai petrichor, sebuah nama asing sehingga belum masuk kamus, padahal kita punya "ampo". Ini nama kue lempung yang dibuat orang-orang di sekitar perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di sana orang menjemur lempung hingga kering lalu menyangrainya di gerabah kemudian memakannya sebagai camilan. Bau kue itu persis dengan harum petrichor.

Bahasa Indonesia belum sudi menjadikan hampo atau ampo sebagai padanan petrichor. Padahal ampo merujuk pada bau kue itu yang diterima saraf penciuman ketika dikunyah di dalam mulut. Kita, terutama para ahli di Pusat Bahasa, belum menyepakatinya untuk menamai harum tanah tersiram hujan pertama itu. Di kamus, "ampo" baru merujuk pada bendanya.

Bahasa menuntut kesepakatan para pemakainya karena terbentuk oleh saling serap antarpenutur bahasa lain. Bahasa yang terbuka biasanya bahasa yang dengan mudah menyerap bahasa lain tanpa ketakutan kehilangan identitas-betapapun ganjilnya kata ini. Toh, menurut Remy Sylado, sembilan dari sepuluh kata dalam bahasa Indonesia adalah asing. Dan bahasa daerah, selain Melayu, adalah bahasa asing.

Sebelum 1976, kita tak punya nama untuk menyebut "bebas dari rasa ketegangan", yang dinamai "relax" oleh orang berbahasa Inggris. "Bebas dari ketegangan" masih berwajah indo dengan pemadanan begitu saja dengan "rileks", sampai Bur Rasuanto mulai mengenalkan "santai" melalui majalah Tempo. Sejak itu pula keadaan "bebas dari rasa ketegangan" itu mendapat wajah baru dalam bahasa Indonesia. "Santai" adalah bahasa Komering di Sumatera Selatan, asal Bur.

Atau nama musik "dangdut", seperti sudah dibahas Bandung Mawardi di lembar ini. Putu Wijaya memakai "dangdut" untuk menyebut musik yang diserap dari musik India dengan kendang dan ketipung, sementara Remy memakainya untuk menamai kegiatan bersenang-senang secara seksual. Definisi yang dibuat Putu Wijaya yang kemudian lebih diterima.

Dari dua contoh di atas jelas sekali bagaimana bahasa bekerja sebagai alat ucap dan komunikasi manusia. Kesepakatan-kesepakatan itulah yang membentuk definisi dan pengertian baru atas sebuah situasi, benda, keadaan, keinginan, dan sesuatu yang nyata dan tak kasat mata, kecuali istilah "takut hantu". Kita belum memikirkannya atau belum membuat dan menyepakati nama yang pas untuk menyebut perasaan itu.

*) Dimuat kolom Bahasa Tempo, 20 Juni 2016

Sunday, June 12, 2016

IMAN YANG CEMAS

SETIAP menjelang Ramadan ada perdebatan perlu-tidaknya warung makan tutup selama umat Islam berpuasa. Dan pemerintah, paling tidak di Serang, Banten,  meresponsnya dengan melarang warung makan buka dengan merazianya. Razia ini konon untuk menegakkan toleransi untuk menghormati mereka yang sedang berpuasa.

Soal hormat-menghormati dalam ibadah ini kian menunjukkan bahwa kita tak kunjung dewasa dalam beragama. Selama Orde Baru kita dicekoki dengan indahnya toleransi tapi kekuasaan 32 tahun itu ditutup dengan kerusuhan rasial. Kita diajari sejak kecil tentang bagaimana hidup rukun dan saling menghormati antar pemeluk iman, tapi sebagian besar kita ingin kelompok Ahmadiyah dan Syiah musnah dan disingkirkan.

Maka imbauan Menteri Agama agar warung makan tetap buka selama Ramadan pada tahun lalu dikecam sebagai kebijakan yang tak menghormati bulan yang mulia ini. Padahal, puasa seharusnya tak menuntut penghormatan dari siapapun, apalagi dari sesama manusia. “Puasa itu untukKu,” kata Allah dalam sabda Rasullullah yang diriwayatkan Imam Bukhari lalu dikonfirmasi Imam Muslim dan Abu Hurairah, “Aku yang akan membalasnya.”
Dalam hadis itu disebutkan bahwa semua amal dan ibadah anak Adam untuk kita sendiri, kecuali puasa. Allah menyebut secara khusus bahwa ibadah itu adalah pengabdian kita untukNya. Ia akan membalasnya secara langsung, dengan segala rahasia dan kemahabesaran-Nya. Maka patutkah kita menuntut orang lain menghormati puasa kita?


Islam menyediakan konsep ikhlas yang melampui segala pengertian tentang berserah diri. Dalam beribadah kita bahkan dianjurkan tak punya sedikit pun pengharapan akan pahala, alih-alih balasan yang bersifat duniawi. Misalnya, kita rajin salat hanya karena ingin diberi rejeki yang banyak. Ikhlas menyingkirkan itu semua.


Ridho Allah adalah pengharapan agung dalam ibadah yang terkandung dalam konsep ikhlas. Jika masih terbetik pikiran orang lain perlu menghormati ibadah kita, jangan-jangan kita masih egois dalam beribadah, jika bukan tergolong ke dalam orang-orang yang riya. Menuntut penghormatan dalam ibadah, juga menunjukkan bahwa iman kita begitu rapuh. Iman yang cemas.


Warung yang buka itu, dan yang tak berpuasa bebas makan, dianggap mereka yang berpuasa tindakan kurang ajar dan mengundang jalan setan membuka pintu godaan. Konon ketebalan iman ditentukan oleh seberapa besar godaannya. Makin tinggi iman seseorang, makin besar godaan yang ia terima. Jika kita masih menganggap makanan di warung dan orang yang menyantapnya sebagai godaan, betapa tipis iman dan ibadah kita itu.


Dan setelah berbuka kita memang menjadi orang kalap. Selama 14 jam berpuasa kita hanya memupuk dan menabung rasa lapar dan haus untuk kita lampiaskan setelah azan Magrib. Maka Allah mengingatkan dalam firmanNya yang lain bahwa umat Islam kerap hanya mendapat lapar dan haus ketika berpuasa, karena puasa mereka tak sanggup menyucikan keinginan-keinginan tubuh dan duniawi.


Kita baru berpuasa menghentikan makan dan minum, belum sampai pada puasa batin untuk mencuci penyakit hati dan pikiran yang kerap mempengaruhi cara bertindak dalam hubungan sosial antar manusia. Menuntut orang lain menghomati ibadah kita, kian menegaskan bahwa kita belum sampai pada hakikat puasa dan untuk apa Allah memerintahkan kita menjalankannya sebulan penuh.


*) Modifikasi kolom Ramadan di Koran Tempo, 2015

Tuesday, April 19, 2016

LEAD, PERTARUHAN PENULIS




Lead adalah pembuka tulisan. Ia, tak hanya paragraf pertama, banguan pengantar sebuah pokok soal. Jika judul seperti etalase pada sebuah toko, lead adalah pintu masuk ke dalam toko itu. Seorang calon pembeli, yakni para pembaca, akan tertarik membeli sebuah baju karena melihat etalase. Pemilik toko yang baik menyusun etalase sedemikian rupa hingga menggiring calon pembeli itu masuk ke dalam toko lewat pintu masuk yang tak terkunci.

Lead karena itu harus mudah dibuka, membujuk calon pembeli memasukinya, hingga mereka memilih sebuah baju dan bertransaksi di kasir. Setelah membayar, para pembeli harus dipaksa melihat-lihat barang lagi dan membeli lagi. Begitulah idealnya sebuah tulisan, sebuah toko, yang terus membujuk dikelilingi terus oleh para pembelinya. Begitu pula fungsi etalase, tujuan akhirnya membuat setiap orang bertransaksi di kasir.

Karena itu lead adalah pertaruhan para penulis. Jika ia gagal membujuk, pembaca tak akan memasuki keseluruhan tulisan, alih-alih mencerna, mengunyah, menerima atau menolak, ide/opini yang ingin disampaikan penulisnya. Maka lead harus dibuat semenarik mungkin.

“Menarik” memang terkesan klise, karena begitulah memang seharusnya sebuah tulisan. Agar tak abstrak, ukuran lead yang menarik jika ia menjadi setting sebuah tulisan. Pembaca tahu sejak paragraf pertama apa yang ingin disampaikan penulis dalam sebuah artikel. Karena ia sebuah pintu, lead menerangkan dengan jelas ide pokok yang akan dijabarkan oleh penulis itu.

Karena itu kegagalan lead  jika ia tak bisa menjadi tempat ide pokok dari sebuah tulisan. Para penulis seringkali membuat sebuah tulisan secara kronologis. Ini bagus karena pokok pikiran akan runut. Tapi cara seperti ini sering menjebak karena lead tak menjadi setting yang mendudukkan pokok soal sejak mula.

Karena itu, sebaik-baiknya menulis dimulai dari tengah. Lead menjadi semacam puncak atau klimaks dari sebuah tulisan yang membetot pembaca mencari awal dan akhirnya. Karena itu unsur sebuah tulisan adalah flashback. Lengkapnya sebuah tulisan mengandung unsur-unsur ini: narasi, deskripsi, kutipan, kilas balik, humor, opini.


Dengan narasi, sebuah ide dipaparkan. Dengan deskripsi sebuah ide dibumikan, barangkali dengan analogi. Kutipan membuat artikel punya wajah karena ia jadi memiliki tokoh. Kilas balik membuat cerita jadi berkonteks, humor agar tak garing, dan opini membuat sebuah tulisan jadi bernyawa dan bertenaga—sebab adanya sebuah ide menjadi alasan utama sebuah artikel ditulis.

Persoalannya, lead sering kali sulit disusun ketika kita sudah siap menulis. Kita tertubruk bahan sehingga bingung memilah dan memilih pokok soal mana yang akan dijadikan pembuka. Maka buatlah outline. Bagi mereka yang terbiasa menulis, outline seringkali terbentuk di kepala ketika menemukan sebuah ide yang layak ditulis atau melihat dan mendengar sebuah peristiwa yang memancing sebuah ide dan opini.

Sebaik-baiknya outline adalah dituliskan. Ketika membuat outline kita jadi tahu seberapa jauh bahan yang kita punya. Outline menuntut bahan diserakkan. Dan menulis pada dasarnya menyusun bahan yang terserak itu menjadi sebuah artikel yang berbentuk. Bagaimana menyusunnya? Kembalikan pada angle.

Angle adalah cara kita melihat masalah yang kita tulis. Sebuah tulisan mesti memiliki masalah karena ia alasan kita menulis. Ada banyak sudut padang kita menulis masalah itu. Pilih yang paling relevan dan dekat dengan pembaca. Menulis gempa besar Ekuador dan Jepang, salah satu anglenya adalah “gempa besar mengintai Indonesia”. Masalahnya: faktor-faktor geografi Ekuador dan Jepang yang mirip dengan Indonesia. Sehingga gempa Ekuador dan Jepang hanya sebagai peg (cantelan) kita menulis gempa di Indonesia.

Karena itu angle menjadi pijakan sebuah artikel. Dari situlah berangkatnya. Tentukan sebuah angle dengan pertanyaan berbekal 5 W 1 H. Kumpulkan bahan-bahan yang sudah ada itu untuk menjawab angle. Bahan yang tak relevan dan penting dengan angle itu disisihkan. Bahan paling relevan dan menarik disiapkan sebagai pembuka. Hasilnya adalah bahan yang fokus. Fokus membuat artikel menjadi ringkas dan jelas.

Ringkas dan jelas adalah unsur utama dalam tulisan. Ringkas beda dengan singkat. Ringkas menyangkut ide dan cara menulisnya. Ringkas menghindarkan penulis dari bertele-tele menyampaikan sebuah ide.

Maka sebuah tulisan akan terbentuk dari proses ini:

Ide --> Angle --> Riset/Wawancara --> Outline --> Penyusunan Bahan --> Menulis

Menulis pada dasarnya menyusun struktur ini:

Judul
--> Lead --> Jembatan --> Batang tubuh --> Penutup

Judul lebih baik dibuat terakhir agar ia mencakup seluruh ide dalam tulisan itu.

Karena lead sebuah setting ia mengandung dimensi waktu, ruang, dan tokoh. Tiga unsur ini (When, Where, Who) membuat setting menjadi jelas. Soal What, Why, dan How dijelaskan di sekujur tulisan karena itu adalah isi dari sebuah artikel. Narasi kita adalah menjawab enam pertanyaan dalam rumus klasik ini.
                                                                                                    
Jika setelah membaca paparan ini masih bingung, coba tips yang dibuat Putu Wijaya, wartawan Tempo yang lebih terkenal sebagai sutradara film dan teater serta penulis novel dan ratusan cerita pendek. Saya kutip ceritanya dari Amarzan Loebis, teman sekerjanya di majalah Tempo, yang kini menjadi redaktur senior di majalah itu.

Hampir semua tulisan Putu Wijaya dibuka dengan lead yang tak diduga-duga. Rupanya karena ketika menulis, Putu tak memikirkan lead atau strukturnya. Ia menuliskan apa saja sebagai pembuka lalu merangkainya terus sehingga tulisan menjadi utuh dan lengkap. Setelah selesai ia hapus aliena pertama.

Tentu saja cara ini dipakai bagi penulis yang kesulitan membuka tulisan dan baru lancar setelah masuk ke alinea kedua. Biasanya, memang, alinea pertama sulit dibuat, tapi kita lancar menulis berikutnya jika sudah melewati alinea dua. Sebab pada alinea ketiga biasanya kita baru memasuki keasyikan menulis.

Jika paragraf pertama dihapus, pembaca akan langsung memasuki tulisan dengan tahap yang sudah asyik dalam menulisnya itu. Dengan demikian sesungguhnya anda telah mulai menulis dari tengah.

Jika keranjingan, terus saja menulis sampai semua bahan masuk. Setelah selesai tinggalkan. Ketika kita kembali, kita berperan sebagai editor yang menyelaraskan ide, koherensi, menemukan salah logika, menyesuaikan jumlah karakter, menyelaraskan ide pokok dengan anglenya. Editor yang baik membuat sebuah tulisan menjadi kompak sejak judul, lead, batang tubuh, koherensi antar paragraf hingga penutup.

*) bahan kelas menulis di Forum Nulistik Tempo Institut, 15 April 2016