Di Australia, sangat sedikit wartawan yang berminat menekuni liputan investigasi. Soalnya, tanpa bersusah-susah menjadi wartawan jenis ini, penghasilan wartawan di sana sudah jauh lebih dari cukup. Dalam setahun, seorang wartawan digaji 50 ribu dolar Australia, sekitar Rp 400 juta--sepuluh kali lipat gaji wartawan Indonesia.
Wartawan Australia, ini cerita Wendy Bacon, bisa memiliki saham perusahaan medianya untuk tujuan ekonomi. Mereka berhak memperoleh dividen setiap kali rapat umum pemegang saham. Baiklah, saya cerita dulu siapa itu Wendy Bacon.
Ia sudah menjadi wartawati lebih dari 30 tahun. Wendy menulis laporan mendalam soal korupsi pejabat Australia untuk The National Times, The Sun Herald, Channel Nine, SBS, dan Sydney Morning Herald. Ia mendapat penghargaan bergengsi Walkley atas perannya mengungkap korupsi seorang pejabat di New South Wales.
Wendy sedang ada di Jakarta dalam pekan-pekan ini karena mengajar liputan investigasi untuk beberapa wartawan karena undangan Media Development Loan Fund. Dan ia mampir ke kantor untuk berbicang soal liputan investigasi. Ia seorang yang murah senyum. Kerut-kerut ketuaan sudah nampak di kulit tangan dan wajahnya. Rambut sebahunya yang lurus kelabu dipotong poni di atas alis. Ia mengaku sudah separuh jalan mengerjakan laporan penyelewengan bantuan dana kemanusiaan. Sebuah stamina yang liat. Di Indonesia, wartawan seusianya sudah pensiun, atau menjadi bos, paling banter mengurusi nonkeredaksian.
Wendy bersemangat menceritakan bagaimana membongkar kasus korupsi dan kolusi pejabat Australia. Satu kasus yang meledak adalah terbongkarnya ulah Menteri Pembangunan Queensland, Russ Hinze. Hinze terbukti menerima pinjaman 30 ribu dolar Australia lewat perusahaannya dari sejumlah pengembang. Pinjaman itu sebetulnya suap terselubung karena tak ada perjanjian pengembalian. Kasusnya menarik karena Hinze kemudian membuat sejumlah peraturan yang diinginkan para kontraktor itu.
Hinze meninggal sebelum masuk penjara. Terbongkarnya kasus ini mendorong pemerintahan setempat membentuk lembaga pengusut korupsi. Pemerintahan Queensland jatuh dan banyak korupsi diusut.
Sudah 50 kali Wendy digugat ke pengadilan karena tekun membongkar skandal. Dan, rupanya, ini taktik baru dari para penjahat menusuk balik para wartawan seperti Wendy. Mereka membuat jaringan agar publik tak percaya dengan liputan Wendy, lalu menggugatnya ke pengadilan. Juga pembunuhan karakter. Cara seperti ini juga sudah muncul di Indonesia, sejak Orde Baru runtuh.
Jika dulu sensor dilakukan lewat kekuasaan, menghindar dari kejaran wartawan agar tak ada asas konfirmasi, kini gugatan ke pengadilan mulai lazim ditempuh mereka yang merasa dirugikan oleh sebuah berita. Dalam demokrasi ini sehat. Tapi menjadi tidak sehat ketika jalur di luar pengadilan juga dilakukan dengan cara menyerang wartawan, baik secara fisik maupun pembunuhan karakter lewat media lain. Jika dulu bedil yang bicara, kini kekuatan modal lebih berperan.
Masalah utama dalam liputan investigasi, kata Wendy, adalah modal. Kejahatan kini kian lintas negara. Perlu ongkos menguber bukti-bukti kejahatan hingga ke luar negeri. Juga tenggat. Seringkali, cerita baru diperoleh separuh, tenggat mendesak-desak. Hal lainnya soal etika.
Ia banyak bertemu dengan mereka yang menjadi saksi kunci penyuapan. Tapi, dengan alasan keamanan mereka menolak menceritakan apa yang mereka tahu, apalagi namanya muncul di media sebagai bukti sebuah kasus korupsi dan kolusi terjadi. Ini memang berat. Apalagi, di Indonesia, belum ada Undang-Undang Perlindungan Saksi. Liputan investigasi kerap mentok jika menghadapi kasus suap dan mencari aliran duit. Suap biasanya dilakukan dengan cara tunai untuk menghindari jejak jika lewat rekening bank.
Kesaksian, karena itu, menjadi penting dalam kasus semacam ini. Ada beberapa saksi yang tahu penyuapan itu, tapi mereka menolak ceritanya, apalagi namanya, dimuat karena alasan keselamatan keluarga. Sebab, dialah satu-satunya orang yang menyaksikan penyuapan itu. Tak sedikit mereka menerima ancaman pembunuhan jika mau bersaksi. "Ini memang sulit karena terkait etika," kata Wendy.
Ia mengusulkan agar Undang-Undang Keterbukaan Memperoleh Informasi segera disahkan. Sehingga data pemerintah bisa diakses leluasa oleh wartawan. Swedia punya undang-undang ini sejak tiga abad silam. Seorang wartawan yang menanyakan suatu data wajib diberikan dalam 2 x 24 jam. Dahsyat! Ini usul yang baik. Keterbukaan, bagaimanapun, bisa menekan kejahatan dan korupsi.
Tapi, apa sih ukuran sukses tidaknya sebuah liputan invetigasi. Menurut Wendy kesuksesan bukan terletak pada dampak, tapi seberapa jauh para wartawan membuktikan kebenaran ceritanya. Pemerintah dan publik mungkin tak segera--malah tidak sama sekali--merespon investigasi wartawan. Ia sendiri baru girang setelah seorang perempuan tak bersalah yang sudah mendekam 10 tahun di penjara dibebaskan enam tahun setelah laporannya terbit. Tapi, mengharapkan liputannya berdampak bukan tugas utama para wartawan.
Ini berbeda dengan di Guatemala yang totaliter. Jose Zamora harus turun ke jalan setelah korannya menyiarkan bukti korupsi pejabat pemerintahan, tentara, dan parlemen. Ia dan teman-temannya menyebarkan pamflet dan selebaran yang memuat foto-foto para tersangka. Agaknya, sistem yang dengan hormat disebut demokrasi itu memang membedakan bagaimana wartawan harus berbuat.