Monday, April 26, 2004

ANGKOT



Datanglah ke Bandar Lampung. Kau akan tahu ada klab jalan-jalan di siang hari. Sejak pertama mengunjungi kota ini lalu menetap dua tahun silam, angkot-angkot di sana selalu bikin saya takjub.

Jika kebetulan lewat sana, sesekali naiklah angkot dari Plaza Artomoro. Ke jurusan apa saja dan naik angkot warna apa saja. Ingat, tak tak ada nomor di kaca depannya. Kau yang buta warna, akan kesulitan membedakan warna ungu dan merah marun. Itu dua angkot dengan dua jurusan yang jauh berbeda.

Masuklah ke dalamnya. Kondektur akan memukul pintu dengan keras dan angkot akan berjalan lagi. Lalu nikmatilah perjalanan dalam klab jalan-jalan.

House music--ah, apa pula bahasa Indonesianya?, semacam musik pengantar triping--akan berdentam-dentam. Saya pernah mendengar sebuah lagu yang hanya ditemui di Stadium, Kota, semacam "Hey, DJ, tolong dong matiin lampunya sedikit! Tol...tol..tol...tol..tolong dong matiin lampunya sedikit! Kak-kak-kak-kak."

Hati-hati bagi yang lemah jantung. Kakimu mungkin bergetar akibat dentam itu. Suara itu datang dari spiker yang dipasang di ujung menghabiskan jatah dua penumpang. Angkot jadi terasa sempit. Ditambah pula dengan kain yang dipasang di atap dengan rumbai-rumbai yang menjuntai. Kain bendera sebuah klub sepak bola Inggris, atau Italia, atau bendera Amerika. Saya belum menemukan ada angkot ditempeli bendera Indonesia. Juga lampu yang berkerlap-kerlip hijau atau kuning atau merah.

Jika jok penumpang belel-belel, tidak begitu halnya dengan kursi sopir. Kursi itu dipasang serupa kursi mobil balap. Tinggi dan nyentrik dengan aneka warna cerah. Si Sopir memegang stir yang begitu mungil dengan perseneling yang tinggi sehingga mirip tongkat atau pemukul beduk. Di atas kepalanya, ya ini dia, tempat kaset musik ruangan itu diputar. Masuk akal juga, karena dari sana sopir dengan mudah mengecil atau membesarkan volume atau mengganti kaset.

Dash board tak utuh lagi. Kabel-kabel menyembul. Yang tinggal kini amplifier selebar bangku "ulang tahun" (kau mungkin juga pernah mendudukinya, itu, bangku yang di pasang dekat pintu, sehingga kaududuk menghadap penumpang lain). Di atas ampli itu ada jam, boneka, serangkaian huruf yang disambungkan benang, tempat kaset atau CD dan foto angkot itu dengan pintu depan yang dibuka dan si sopir bersedekap di sampingnya. Kaca depan tertutup dengan korden berenda. Dari foto itu kau akan tahu bagaimana rupa angkot yang sedang kau tumpangi. Ada tulisan besar-besar di kacanya semisal EROR, EMBER, dll.

Angkot bisa saja berhenti mendadak atau berjalan dengan gas yang tiba-tiba. Kenek itu akan berteriak, "Simpang, ya!" Jangan salah, itu kalimat tanya. Jika tak ada penumpang yang bilang "Simpang" juga, kenek itu akan memukul pintu lagi, "Kosong, ya!" Kau harus berteriak jika akan turun, karena dentam musik itu akan menelan suaramu. Jika tak cukup, pukullah kacanya atau tepuk pundak si kenek.

Sudah cukup nikmat? Jangan menggerutu, karena seorang penumpang akan dengan santai mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Asap mengepul. Lampu kerlap-kerlip. Angkot berjalan sedut-sedut. Musik jedur-jedur. Kurang apa lagi, kalau bukan sebutir-dua butir ekstasi. "Mabok, geh!"

Thursday, April 22, 2004

WARTAWAN



[Artikel yang menggoyahkan cita-cita jadi mantri kehutanan, heheh]

HARI ini saya menerima surat dari anak saya. Ia bercerita tentang pilihan masa depannya.

"Bapak, saya tidak akan jadi wartawan. Saya bukannya takut kepada kemiskinan. Saya tahu bahwa masa sulit kehidupan pers sudah bisa dikatakan telah berlalu di Indonesia. Saya tak ingin jadi wartawan karena saya takut kepada kata-kata.

"Saya takut bahwa di tanah air -- tanah air yang sangat Bapak cintai, tanah air yang dulu pernah Kakek perjuangkan kemerdekaannya -- kata-kata semakin sering mengalami metamorfose menjadi sesuatu yang aneh, ganjil, tidak menjadi dirinya sendiri lagi.

"Jangan marah. Bapak juga pasti tahu tentang itu. Kata-kata, di masyarakat kita, sering berhenti jadi perumus kenyataan. Karena kenyataan itu sendiri ingin ditolak. Jika saya katakan bahwa tukang becak itu miskin dan Pak Tintin kaya, kata-kata "miskin" dan "kaya" itu akan segera mengalami metamorfose, lebih dahsyat ketimbang ketika ulat menjadi kupu-kupu. Kata-kata itu tak lagi hanya suatu statemen tentang kenyataan, melainkan sesuatu yang lebih besar: jadi hantu, setan gergasi. Serba menakutkan.

"Masyarakat kita adalah masyarakat yang masih percaya bahwa 'kata kamu harimau kamu, mengerkah kepala kamu'. Memang, pepatah itu mengajarkan kearifan, agar kita berpandai-pandai mengucapkan sesuatu, agar tak mencelakakan diri kita. Tetapi pepatah itu juga, jika diletakkan dalam latar belakang sosial kita, mencerminkan rasa takut, rasa tidak pasti, ancaman yang terus-menerus, kepada kata-kata.

"Dan dalam keadaan itu, kata-kata hanya akan bisa lahir melalui proses negosiasi yang terus-menerus.... Saya tak yakin, Bapak, bahwa kata yang lahir seperti itu akan merupakan kata yang tak berselimut, tak bertopeng, tak berbedak. Sesuatu yang setidaknya 50% palsu atau tersamar.
"Terutama jika yang berkata-kata adalah mereka yang sebenarnya orang yang tak punya pelindung, atau orang-orang yang sewaktu-waktu bisa dikorbankan, atas nama apa saja. Dalam keadaan seperti itu, hanya mereka yang punya kekuatan, punya kekuasaan, yang bisa melontarkan kata-kata dengan bengis atau keras atau sedikit tak sopan. Selebihnya sepi.

"Jurnalisme, dalam perkembangannya kini, kemudian juga menyebabkan kata-kata menjadi satu industri. Kata-kata menempel pada gerak bisnis, usaha jual-beli, dan akhirnya juga penghimpunan modal. Dalam posisi itu, kata-kata -- sebagai usaha bisnis -- pun dicurigai, karena kata-kata, dalam sejarahnya yang lama, tak pernah demikian. Kata-kata dulu merupakan bentuk lain dari sabda: sesuatu yang terhormat, bahkan agung dan luhur dan suci. Bagaimana yang biasanya agung, luhur, dan suci itu kini diperjualbelikan? Bukankah itu jadi noda? Dan tidakkah di dalamnya kemudian terkandung kepentingan-kepentingan?

"Kecurigaan itulah, Bapak, yang menyebabkan kata-kata (yang sudah 50% disamarkan karena rasa takut), menjadi hanya puing-puing yang berserakan. Puingpuing dari sebuah usaha komunikasi yang ambyar. Yang gagal.

"Saya coba mengerti pekerjaan kewartawanan. Saya membayangkan sejumlah wartawan yang terus menulis, dan mengkhayalkan kata-katanya -- bagaikan rama-rama yang berwarna-warni -- beterbangan menuju para pembaca. Ada yang cemerlang. Ada yang lucu. Ada yang tajam. Ada yang menggugah dan menyebabkan orang merenung. Tetapi apa daya: dalam kenyataannya, apa yang dibayangkan sebagai rama-rama itu segera rontok berjatuhan. Di depan ada tembok-tembok tebal yang bertuliskan: 'Dilarang Masuk'.

"Mungkin sang wartawan akan mencoba menembus. Frappez, frappez toujours!

"Saya telah memilih satu fungsi," demikian ia mungkin akan mengatakan. "Saya memang dapat nafkah, dapat kekayaan- dan dapat kemasyhuran. Tapi apakah dengan itu saja saya harus dianggap tak bisa dipercaya? Apakah dengan itu hak saya untuk bicara diragukan dan, dengan kata lain, sebenarnya saya lebih baik diam? Bukankah kata-kata saya pada akhirnya akan punya sumbangan juga bagi kehidupan bersama? Bagi kecerdasan berpikir? Bagi kemerdekaan manusia seutuhnya? Bagi hilangnya purbasangka-purbasangka dan kepicikan?

"Ah, Bapak. Betapa naifnya sikap yang berada di balik pertanyaan itu. Saya tidak ingin memilih kenaifan ini. Ada saatnya orang mengatakan, 'Kita perlu pers yang bisa berbicara dengan kata-kata yang tidak bergincu. Kita ingin mendengar tentang kenyataan-kenyataan.' Tapi segera ada saatnya orang akan mengatakan, 'Persetan. Sayalah yang menentukan mana yang kita perlukan dan mana yang tidak kita perlukan.'

"Demikianlah, Bapak, saya tak ingin menjadi wartawan. Bukan lantaran saya takut akan ketidakpastian, melainkan karena saya tak mengerti apa yang sebenarnya diharapkan oleh masyarakat kita dari kata-kata. Saya kira Bapak pun kini mulai menyesal. Where of one cannot speak, here of one must be silent, kata Wittgenstein. Sekian dulu."

Goenawan Mohamad

* Catatan Pinggir Tempo tanggal 27 Oktober 1990 yang dibukukan dalam Catatan Pinggir 4.












Saturday, April 17, 2004

PARTAI



Demokrasi memang tidak bisa menjawab banyak soal. Terutama ketika ia menyerah pada kekuatan jahat yang direstui banyak orang. Lalu kita ingat The Big Brother (oleh Landung Simatupang diterjemahkan menjadi Bung Besar) dalam novel George Orwell : 1984. Di sana yang jahat juga menjadi benar, karena diamini banyak orang, melalui partai--satu peranti dalam demokrasi. Novel gelap ini bercerita tentang hidup Winston Smith.

Ia seorang laki-laki 39 tahun, seorang suami dari istri yang terlihat lebih tua, dan menderita kelainan pembuluh darah yang kerap menyiksanya. Winston tinggal di Victory Mansions, London, yang merupakan bagian Oceania--negara yang dipimpin si Bung. Orwell membayangkan dunia terbagi menjadi tiga belahan: Oceania yang meliputi Inggris dan Amerika, Australia, Atlantik; Eurasia yang meliputi Eropa, Rusia dan Afrika Selatan. Orwell menyebut nama Indonesia bersama Timur Tengah, India, Cina dan daratan Asia lainnya masuk ke negara Eastasia. Meski tak disebut jelas karena nama dan tempat terlalu fiksi, Orwell tengah menggambarkan dunia yang dicekam Perang Dunia II, ketika Stalin dan Lenin sedang menancapkan ideologinya.

Winston, karena hidupnya selalu terluka, merindukan hidup tenang yang ia pikir ada dalam Persaudaraan yang tak lain hanya perangkap partai si Bung. Maka Winston mendaftar ke sana melalui seseorang yang ditemuinya di jalan, O'Brien, yang kelak menyelundupkan sebuah buku pintar tentang politik, The Theory and Practice of Oligarchical Collectivism. Buku itu, yang ditulis si Penjahat Masyarakat Emmanuel Goldstein mengajarkan bagaimana memutarbalikan soal-soal hidup. Dalam satu bab buku itu, misalnya, Goldstein merumuskan bahwa perang adalah kedamaian. Goldstein, seorang kanan yang merongrong pemerintahan partai si Bung dan punya acara televisi berjudul Dua Menit Benci, percaya bahwa kelanggengan dunia hanya bisa diwujudkan jika perang terus terjadi.

Winston percaya sepenuhnya pada pandangan hidup seperti itu karena didorong oleh keputus-asaannya menjalani hidup yang rudin (oleh Orwell orang-orang macam Winston di sebut kaum "proles", kaum bawah yang kurang lebih sama dengan "proletar" dalam rumus Karl Marx). Maka Winston terjebak dalam perangkap O'Brien yang kelak menyiksanya di kamar 101 Kementrian Cinta dan memaksakan pandangan-pandangan partai (membaca buku Goldstein adalah kejahatan yang tak terperi). Semacam cuci otak sebelum diterima jadi anggota. Winston, misalnya, dipaksa menerima 2+2=5 karena partai menghendaki demikian.

Winston tak menyangka jika langkahnya malah menjauhkan dari hidup tenang yang diimpikannya. Ia juga terpisah dari Julia, pekerja di Departemen Fiksi, si cuek-berambut hitam-26 tahun, selingkuhannya yang telah membangkitkan semangat hidupnya kembali. Ia dilarang melakukan hal-hal manusiawi oleh partai seperti menaruh minat pada guci antik karena itu bagian dari apresiasi seni. Bercinta dengan Julia semau keinginan mereka, bertelanjang di ranjang, atau mabuk jelewer di cafe Pak Charrington. Itu semua, menurut O'Brien si agen Polisi Pikiran, hanya akan menumpulkan semangat Persaudaraan saja. Winston takluk karena apapun yang dipikirkannya, apapun yang dilakukannya, akan diketahui oleh Polisi Pikiran dan wajah si Bung muncul memarahinya melalui layar-jauh-besar. Di Ocenia berlaku slogan yang kerap dinyanyikan setiap orang yang sekaligus jadi alarm hidup sehari-hari: "Big Brother is watching you", Big Brother is watching you, Big Brother...".

Winston baru tersadar bahwa pandangan Julia selama ini yang tak lagi mempercayai partai maupun acara Dua Menit Benci adalah benar belaka (meski pandangan Julia tak seradikal pandangan Tomas dalam novel Milan Kundera, The Unbearable Lightness of Being). Tapi ia sudah kecebur. Apa boleh buat. Otaknya sudah tercuci. Ia ingin lari dari Goldstein malah terperangkap di ketiak si Bung--yang bahkan O'Brien pun tak pernah melihat tampang aslinya.

Orwell seperti sedang meramal bagaimana ideologi kiri dan kanan, yang sama bahayanya, akan berhadapan muka pada tahun 1984 . Dunia menunggu apa yang akan terjadi pada tahun itu. Yang terjadi memang tak segenting apa yang diramal Orwell. Tapi ia telah dengan telak menanggambarkan abad 20 sebagai suatu masa yang rusuh oleh ide-ide yang melahirkan totalitarianisme di mana-mana. Kecemasan Winston dan Julia adalah kecemasan setiap orang pada demokrasi yang ternyata tak bisa menjawab semua soal, dan langgeng, ada di setiap zaman. Seperti kecemasan kita hari-hari ini sambil menunggu hasil perhitungan suara pemilu lalu.

Tuesday, April 13, 2004

RUMAH SAKIT



Saya jadi tahu, sekarang, begitu bisanya orang yang dulu bikin kata rumah sakit. Kata majemuk ini benar-benar menunjukan arti sekaligus fungsinya yaitu rumah orang sakit sekaligus rumah yang bikin sakit. Begitulah. Saya terbaring seminggu di kamarnya, dan hampir saja bertambah sakit seandainya tak cepat pulang.

Di kamar 5x5 meter itu, serba krem bukan putih seperti yang diilustrasikan para pencerita dalam kisah-kisahnya, saya tergolek bersama tiga orang pesakitan lainnya. Yang satu merintih sepanjang malam dan terbatuk karena jantungnya hampir copot ditambah paru-parunya yang hampir jebol. Dia bapak tua sekira 70 tahun. Renta dan keriput. Matanya hijau-tajam jika memandang orang pada tengah malam. Sepertinya ia belum rela jika Izrail datang tiba-tiba. Ia tertatih menuju toilet dengan selang infus yang menancap di pangkal lengan kanan jika malam telah larut. Dia terbatuk di sana, dengan darah dan ringis, lalu keributan anak-anaknya memanggil suster.

"Saya tak pernah merokok, tapi kenapa paru-paru ini jebol," katanya setengah mengutuk pada pagi sehabis sarapan. Orang-orang sakit itu bercengkrama tentang kesakitan-kesakitannya. Pada setiap pagi itu, ketika para suster yang tak ramah datang dengan lap dan obat, yang boleh tinggal dalam kamar hanya orang-orang sakit. Para penunggu diminta meninggalkan kamar. Obrolan kadang-kadang juga diselingi nasihat agar tabah. "Ini cobaan," kata si sakit yang lain, bapak setengah baya yang tergolek di samping saya.

Dia dibopong ke rumah sakit ketika pada suatu sore jantungnya akan berhenti berdetak. Dokter di rumah sakit itu tak sanggup menangani bilik kiri jantungnya yang tak bisa memompa darah. Bilik itu harus "dibalon" dan ia bingung mendapat biaya untuk pengobatan itu. Ia pulang dengan kebingungannya.

Seseorang yang lain, di seberang saya, anak muda 23 tahun. Renta dan gondrong. Paru-parunya tak terdeteksi oleh sinar X karena terhalang air yang menggenangi. Dadanya harus dibor dan ditancapkan selang untuk menyedot air-air itu. Ia suka begadang. Para penjenguknya anak-anak muda, teman-teman tongkrongannya yang datang dengan mulut mengepulkan asap rokok. Suster menghardik para penjenguk tak tahu tempat itu.

Sementara saya berbaring menahan demam yang datang malam-malam. Virus dengue ini telah menghajar ketahanan tubuh. Seumur-umur baru kali itulah tangan saya ditusuk jarum infus hingga dua kali karena selalu lepas plus setiap pagi jarum pengetes darah bolak-balik menusuk lengan kanan dan kiri.

Orang-orang itu merintih dalam diam pada malam yang jadi sunyi dan panjang. Menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang selalu terjaga, membayangkan yang mungkin dan tak mungkin, tentang kesakitan, umur dan kadang-kadang Tuhan. Maka saya memutuskan pulang sebelum dokter mengizinkan. Kamar itu sudah menambah beban kesakitan.