Wednesday, November 16, 2005

BOLA



Bola...
Bola gayamu mempesona

[Bola | Ona Sutra]

Sepak bola mungkin tak selamanya menyangkut nasionalisme. Permainan ini lintas batas, kata Albert Camus. Kita bisa mendukung kesebelasan sebuah negara walaupun secara politik pernah dan sedang bermusuhan dengan negara kita.

Setiap kali pertandingan sepak bola piala dunia, entah kenapa, saya selalu menjagokan Belanda. Kesebelasan lain, semisal Prancis atau Brasil, bermain sangat bagus. Tapi saya selalu berharap Belanda-lah yang terus bermain hingga final, meski tak harus jadi juara. Padahal, Belanda pernah menjajah kita. So wot gitu loh?

Dalam pertandingan Uruguay-Australia tadi sore saya bersorak untuk kesebelasan asuhan Guus Hiddink itu. Orang sebelah berteriak, kenapa mau mendukung Australia padahal negara ini selalu ikut campur urusan Indonesia.

Australia memang menjengkelkan untuk beberapa hal. Di Kuta, Bali, bule Australia petantang-petenteng serasa di negaranya sendiri. Mereka bisa tertawa sekerasnya di bandara, padahal banyak orang lain yang menunggu pesawat dalam diam. Atau kepala negara mereka yang hanya mau menjawab pertanyaan wartawan negaranya sendiri padahal jumpa pers digelar di Istana Negara. Mereka juga terkenal rasis kepada orang kulit berwarna.

Tapi pertimbangan ini tak muncul dalam adu rebutan bola itu. Saya tak tahu apa yang mendorong saya berpihak pada Australia. Mungkin karena, di atas kertas, Australia kalah dibanding Uruguay. Simpati selalu saja datang untuk pihak kelas dua. Dan sejak piala dunia di Jerman Barat 1974 tim sepak bola Australia tak pernah merumput di kejuaran ini.

Tapi mungkin karena kesebelasan Australia bermain cemerlang. Di lapangan itu, 11 pemain Socceroos berhasil membuat 11 pemain Uruguay kerepotan menghadang di lini belakang. Hasilnya 1-0 untuk Australia sampai dua kali perpanjangan waktu berakhir. Untuk menentukan siapa yang berhak maju ke putaran piala dunia di Jerman tahun depan harus diundi lewat adu penalti--karena Uruguay pernah menang dalam pertandingan sebelumnya. Dan saya bersorak setiap kali Mark Schwarzer menepis bola dari kaki pemain Uruguay. Saya berteriak makin keras ketika John Aloisi melesakkan bola penentu ke gawang Gustavo Adolfo.

Kemungkinan lain, saya orang yang tak pernah punya jagoan dari negara sendiri setiap kali menonton haru-biru piala dunia sepak bola. Sehingga dukungan selalu ditumpahkan ke tim-tim kecil yang ajaib jika menang. Dalam sepak bola, alasan nasionalisme mungkin tak tepat benar.