Ketakutan sering tak masuk akal, termasuk takut pada
komunisme. Menteri Pertahanan dan para jenderal memburu buku-buku tentang
komunisme, membakar simbol-simbol komunis, membubarkan diskusi yang
membicarakan soal itu, termasuk konon akan menginterogasi Patung Pak Tani di
depan Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat.
Para jenderal menyerukan agar masyarakat waspada akan
kebangkitan ideologi komunis dan Partai Komunis Indonesia, yang telah runtuh 51
tahun lalu. Artinya, PKI sudah tak ada dan dunia membuktikan bahwa komunisme
sebagai ideologi, sistem politik dan ekonomi, telah melapuk, dan bangkrut,
setelah Rusia pecah dan Cina serta Vietnam terbuka pada modal luar.
Dalam manifestonya, Karl Marx menulis sejak kalimat pertama
bahwa komunisme adalah hantu. Ada hantu berkeliaran di Eropa-hantu komunisme,
demikian tulis Marx. Jelas sekali perumusnya sendiri menyatakan bahwa komunisme
tak riil. Ia hantu. Maka mereka yang ketakutan pada komunisme sesungguhnya
takut pada yang tak ada, tak terlihat.
Mereka para pengidap "phasmophobia", demikianlah
bahasa manusia menamainya. Ini istilah yang dilahirkan dalam ilmu kejiwaan
untuk menyebut orang-orang yang takut pada hantu, meski bisa saja mereka belum
bertemu dengan hantu. "Phasmophobia" adalah salah satu jenis ketakutan
pada yang tak terlihat, sama seperti "philophobia" untuk menyebut
ketakutan jatuh cinta.
Takut hantu adalah ketakutan paling tua, tapi istilahnya
baru ditemukan pada abad ke-20. Bahasa Indonesia bahkan tak punya padanan dan
istilah lokal. Kita menyerap "phasmophobia" begitu saja atau
menunjukkan faktanya dengan frasa "takut hantu".
Sama seperti bau-bauan. Meski manusia menyukai bau tanah
kering tersiram hujan pertama, istilahnya baru muncul pada 1964 ketika dua
ilmuwan lingkungan, Isabel Joy Bear dan Roderick G. Thomas, menyebutnya dengan
"petrichor". Mereka mengambilnya dari bahasa Yunani: petra
(batu), dan ichor (cairan yang mengalir di dalam pembuluh para dewa).
Sejak itu, harum yang menyenangkan itu memiliki nama.
Indonesia belum merumuskan padanan atau menamainya dengan
bahasa lokal. Kita masih memakai petrichor, sebuah nama asing sehingga
belum masuk kamus, padahal kita punya "ampo". Ini nama kue lempung
yang dibuat orang-orang di sekitar perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di
sana orang menjemur lempung hingga kering lalu menyangrainya di gerabah
kemudian memakannya sebagai camilan. Bau kue itu persis dengan harum petrichor.
Bahasa Indonesia belum sudi menjadikan hampo atau ampo
sebagai padanan petrichor. Padahal ampo merujuk pada bau kue itu
yang diterima saraf penciuman ketika dikunyah di dalam mulut. Kita, terutama
para ahli di Pusat Bahasa, belum menyepakatinya untuk menamai harum tanah
tersiram hujan pertama itu. Di kamus, "ampo" baru merujuk pada
bendanya.
Bahasa menuntut kesepakatan para pemakainya karena terbentuk
oleh saling serap antarpenutur bahasa lain. Bahasa yang terbuka biasanya bahasa
yang dengan mudah menyerap bahasa lain tanpa ketakutan kehilangan
identitas-betapapun ganjilnya kata ini. Toh, menurut Remy Sylado, sembilan dari
sepuluh kata dalam bahasa Indonesia adalah asing. Dan bahasa daerah, selain
Melayu, adalah bahasa asing.
Sebelum 1976, kita tak punya nama untuk menyebut "bebas
dari rasa ketegangan", yang dinamai "relax" oleh orang berbahasa
Inggris. "Bebas dari ketegangan" masih berwajah indo dengan pemadanan
begitu saja dengan "rileks", sampai Bur Rasuanto mulai mengenalkan
"santai" melalui majalah Tempo. Sejak itu pula keadaan
"bebas dari rasa ketegangan" itu mendapat wajah baru dalam bahasa
Indonesia. "Santai" adalah bahasa Komering di Sumatera Selatan, asal
Bur.
Atau nama musik "dangdut", seperti sudah dibahas
Bandung Mawardi di lembar ini. Putu Wijaya memakai "dangdut" untuk
menyebut musik yang diserap dari musik India dengan kendang dan ketipung,
sementara Remy memakainya untuk menamai kegiatan bersenang-senang secara
seksual. Definisi yang dibuat Putu Wijaya yang kemudian lebih diterima.
Dari dua contoh di atas jelas sekali bagaimana bahasa
bekerja sebagai alat ucap dan komunikasi manusia. Kesepakatan-kesepakatan
itulah yang membentuk definisi dan pengertian baru atas sebuah situasi, benda,
keadaan, keinginan, dan sesuatu yang nyata dan tak kasat mata, kecuali istilah
"takut hantu". Kita belum memikirkannya atau belum membuat dan
menyepakati nama yang pas untuk menyebut perasaan itu.
*) Dimuat kolom Bahasa Tempo, 20 Juni 2016